JEMBATAN
(Sutardji Calzoum Bachri)
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang
malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut
remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah
yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
NERACA
(Tema Keadilan. Herti Gustina)
Seluas-luasnya daratan dunia tak akan mampu
menandingi luka mereka.
Harapan telah tertumpah ruah dalam bayangan
fatamorgana
yang mulai terhapus massa. Maka kubuang muka untuk
tidak menatap wajah mereka.
Wajah yang permainkan tahta di balik luka mereka.
Wajah yang putar balikkan fakta
di depan meja. Tersimpan dalam jeruji istana.
Sementara mereka yang busung dipaksa dicegal
dalam pasal yang tak berujung. Dalam bisik mereka
mengeja
UU
KUHP
Pasal
Hukuman
tapi mereka tak mampu menyisir tafsir yang menyayat
mereka
terperangkap dalam neraca tak bermassa. Bagaimana
neraca itu dapat menimbang,
sementara satu di antara mereka dapat tertawa
bahagia?
di bising kota yang penuh cerita
mereka mendera tanya akan sebuah neraca
mengharap hiba si pemilik meja
pukul palu lalu maju untuk cerita orang yang tak
mampu
Mendalo, 05 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar