Rabu, 14 Desember 2016

UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK CERPEN PEREMPUAN BALIAN



TUGAS TEORI SASTRA
Tugas              : Cerpen
Nama              : Herti Gustina
NIM                : A1B112005
Sem/Kelas      : 1/A                                   
Prodi               : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mencari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sebuah cerpen.
PEREMPUAN BALIAN
Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”
Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di Pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan ucapannya. Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya.
***
Balai Atiran terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
Barisan-barisan tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang dengan berpenerang obor, senter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas jalan yang membelah hutan Pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.
Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah kuali besar.
Para undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh.
Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang, tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang terus beringsut susut.
Tiga tubuh terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.
Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian.
Diisap buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala manusia.
Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai. Tiga balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang tiada sepi.
Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah.
Seperti menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus panjang.
Aduhai, Naik Kuda Sawang, saying Dibelai angin *)
Tak ada seorang pun yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan namun jelas.
Seketika saja, orang-orang menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut.
Seolah tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol.
”Siapakah dia?”
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.
***
Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun laki-laki.
Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.
”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku yang meski berseberangan meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.
Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.”
Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”
Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.
Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.
*) Kutipan ”Syair Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini. http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/06/24/perempuan-balian/#more-1603


Unsur-unsur yang terdapat di dalam cerpen:
1.      Unsur intrinsik
a.         Tema: Seorang anak perempuan yang dianggap tidak waras ternyata adalah seorang balian.
Dalam cerita ini dijelaskan tentang awal mulanya Idang dianggap kurang waras yaitu pada paragraf 1, pada kalimat “Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh.” Dan kenyataan bahwa si Idang adalah seorang balian terlihat pada akhir cerita yaitu saat keberhasilannya menyembuhkan seorang anak laki-laki yang sakit. Pembuktiannya terletak pada kalimat “Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun.”
b.      Alur: Maju
-          Penulis pada awalnya menceritakan tentang latar belakang Idang dan penyebab Ia di anggap tidak waras.
-          Kemudian pada suatu malam masyarakat mengadakan upacara pengobatan seorang anak yang terkena penyakit diisap buyu.
-          Sudah tiga hari tiga malam upacara pengobatan dilaksanakan, akantetapi anak tersebut tak kunjung sembuh hingga Idang berhasil menyembuhkannya.
-          Terjadi pro-kontra tentang Idang yang menjadi balian perempuan yang sebelumnya tidak pernah terjadi hal yang semacam itu.
-          Penelitian tokoh aku (penulis) di Pegunungan Maratus telah selesai dilaksanakan.
c.       Latar/setting:
-          Waktu: Pada suatu malam
-          Tempat: Di balai atiran, Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
-          Suasana: Acara pengobatan ritual.
Dari awal sampai terakhir cerita tersebut telah digambarkan latar dalam cerita tersebut, akan tetapi dipertegas pada paragraf 11, yaitu “Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.”
d.      Tokoh/penokohan:
-          Idang: Tokoh utama, protagonis. Yaitu seorang anak perempuan yang dianggap kurang waras, anak dari seorang dukun sakti yang ternyata adalah seorang balian perempuan.
Tokoh Idang merupakan tokoh utama yang mendukung tema cerita tersebut. Seorang tokoh yang dipandang buruk oleh masyarakat, tetapi tetap berbuat baik dengan membantu penyembuhan seorang anak laki-laki.
Pernyataan tersebut dibuktikan dalam paragraf pertama yang merupakan pengenalan dari latar belakang Idang dan pada kalimat “Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian” yang merupakan pembuktian bahwa Idang diketahui adalah seorang perempuan balian.
-          Damang Itat: Tokoh protagonis. Seorang laki-laki tua yang merupakan dukun besar.
Penggambaran penokohan tokoh tersebut terdapat pada paragraf 7.
-          Aku: Protagonis. Seseorang yang melakukan penelitian di desa tersebut.
Dibuktikan dalam pernyataannya, “Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.”
-          Anak laki-laki: Protagonis. Seorang anak laki-laki yang terkena penyakit diisap buyu.
Penggambaran tokoh tersebut dijabarkan pada paragraf 12 yang dipertegas pada kalimat: “Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air.”
-          Seorang ibu muda: Protagonis. Seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya dan sabar dengan keadaan anaknya.
Digambarkan pada paragraf 15: “Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah.”
-          Seorang ayah: Protagonis. Seorang lelaki yang tegar mendampingi anaknya.
Dijelaskan pada paragraf 15: “Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan.”
-          Seorang lelaki tua: Antagonis. Orang yang kontra terhadap Idang sebagai perempuan balian.
Dibuktikan pada percakapannya: “Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana.”
-          Dua lelaki muda: Wirawan, seorang tokoh pendukung tokoh protagonis.
Dibuktikan pada percakapannya:
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.
e.       Sudut pandang: Orang pertama
Terlihat pada cerita tersebut yang banyak menggunakan kata ‘Aku’ yang penulis sendiri terlibat dalam tokoh cerita tersebut. Penulis dalam cerita tersebut menceritakan pengalamannya yang dalam penemuannya Ia menceritakan tokoh Idang.
Hal ini dibuktikan pada kalimat: “Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras.”
f.       Amanat: Janganlah memandang orang dengan sebelah mata, karena setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan hendaklah menghargai apa yang seseorang bisa lakukan.
Dalam paragraf 1 diceritakan bahwa masyarakat menganggap Idang sebagai orang yang kurang waras, padahal dia mempunyai kelebihan dapat mengobati suatu penyakit (dukun). Dan pada paragraf terakhir diceritakan bahwa seorang lelaki tua yang tidak mau menerima kelebihan Si Idang sebagai perempuan balian dengan mencelanya sebagai pertanda akan terjadinya bencana di daerah tersebut.
g.      Gaya bahasa: Yaitu terdapat,
-          Majas perbandingan; alegori, contohnya: “Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam.”
-          Majas hiperbola, contohnya: “Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air.”
Dan masih banyak lagi gaya bahasa yang digunakan yang membuat cerita tersebut menjadi lebih menarik untuk dibaca.
2.      Unsur ekstrinsik
a.       Budaya: Masyarakat yang dalam pengobatan suatu penyakit masih menggunakan upacara ritual adat.
Hal ini dibuktikan dalam kalimat yang menyatakan: “Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.”
b.      Moral: Dalam cerita tersebut di atas Si Idang dijauhi akibat orang mengiranya tidak waras dan dipandang buruk oleh masyarakat sebagai pembawa kemalangan.
Dalam suatu kalimat di paragraf 1 dikatakan “Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.”
c.       Sosial: Dimana masyarakat di Pegunungan Maratus, saling tolong menolong.
Yaitu dalam cerita ini masyarakat berbondong-bondong datang dalam acara pengobatan penyakit seorang anak laki-laki.
d.      Keagamaan: Yaitu masyarakat pada cerita tersebut masih mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan ghaib seperti adanya mitos tentang akan adanya bencana yang akan terjadi jika ada seorang balian perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar