TUGAS TEORI SASTRA
Tugas : Cerpen
Nama : Herti Gustina
NIM : A1B112005
Sem/Kelas : 1/A
Prodi : Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Mencari
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sebuah cerpen.
PEREMPUAN BALIAN
Sebelum
peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai
perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan
tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada
ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang
menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”
Idang
memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di Pegunungan
Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan
seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke
hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku
banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya
kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia
perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa
kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita
kepadaku menirukan ucapannya. Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang
dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya
dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup
memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh.
Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong
saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang
dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan
hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam,
penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya,
maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular
dan ayahnya.
***
Balai Atiran terang benderang.
Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga
yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu
bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka
itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi
tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu
berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
Barisan-barisan tamu dari
bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang
dengan berpenerang obor, senter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas
jalan yang membelah hutan Pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.
Kaki-kaki tak beralas menapaki
jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua
muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil
kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan
dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang
telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam
sebuah kuali besar.
Para undangan sudah mulai memenuhi
ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang
balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang
menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah
balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan
sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun
terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya
tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah
damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu
mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang
Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi
pemimpin upacara aruh.
Segala berpusat pada lingkaran tari
di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin
limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata
menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang,
tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang
terus beringsut susut.
Tiga tubuh terus berputar-putar
dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan
denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak.
Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang
berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak
mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan
ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah
balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
Balai itulah cahaya benderang
satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi
perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si
sakit.
Tubuh kecil kurus anak usia empat
tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit
kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti
ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna
kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski
juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya
yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik
pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian.
Diisap buyu, penyakit menakutkan
yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap
buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan
air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan
kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi bernama
buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala manusia.
Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak
berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah
terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah
pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si
sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh
jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah
dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam,
bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin
tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai. Tiga
balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting
gelang yang tiada sepi.
Seorang ibu muda yang telah
kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya
menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan
dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di
awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat
lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah
yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka
didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah
mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah.
Seperti menyibak kegelapan malam,
meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan
muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal
mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan
diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti.
Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu,
ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus
berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat
di kedua tangannya yang kurus panjang.
Aduhai, Naik Kuda Sawang, saying Dibelai
angin *)
Tak ada seorang pun yang tergerak
menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu
tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu
pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan
bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang
semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir
air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning
kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya,
yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan
namun jelas.
Seketika saja, orang-orang
menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung
memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari
menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut.
Seolah tersadar, orang-orang
kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur
tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti
sekumpulan laron terperangkap dalam botol.
”Siapakah dia?”
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup
dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian tergerak
menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke
salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.
***
Orang sekampung tidak pernah
melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian,
menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan
menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun
laki-laki.
Tapi malam itu, Idang, seorang
perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara.
Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah
dibaca para balian.
”Ini menyalahi adat. Tidak pernah
ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi
seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di
warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku yang meski berseberangan meja
dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan
anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan
malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.
Dengan wajah agak memerah, orang tua
itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian
lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan
itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar
kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu,
”Celaka… celaka… celaka.”
Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang
dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu
menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”
Aku melakukan hirupan terakhir
kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan
penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.
Selama perjalanan meninggalkan
kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui
cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang
mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah, makna apa yang harus aku
pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan
dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.
*) Kutipan ”Syair Induang Hiling”
dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Lowenhaupt Tsing,
yang sekaligus mengilhami cerpen ini. http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/06/24/perempuan-balian/#more-1603
Unsur-unsur yang terdapat
di dalam cerpen:
1.
Unsur intrinsik
a.
Tema:
Seorang anak perempuan yang dianggap tidak waras ternyata adalah seorang balian.
Dalam
cerita ini dijelaskan tentang awal mulanya Idang dianggap kurang waras yaitu
pada paragraf 1, pada kalimat “Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras.
Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang
aneh.” Dan kenyataan bahwa si Idang adalah seorang balian terlihat pada akhir
cerita yaitu saat keberhasilannya menyembuhkan seorang anak laki-laki yang sakit.
Pembuktiannya terletak pada kalimat “Orang sekampung tidak pernah melupakan
malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi
dukun.”
b. Alur: Maju
-
Penulis pada awalnya menceritakan tentang latar belakang
Idang dan penyebab Ia di anggap tidak waras.
-
Kemudian pada suatu malam masyarakat mengadakan upacara
pengobatan seorang anak yang terkena penyakit diisap buyu.
-
Sudah tiga hari tiga malam upacara pengobatan dilaksanakan,
akantetapi anak tersebut tak kunjung sembuh hingga Idang berhasil
menyembuhkannya.
-
Terjadi pro-kontra tentang Idang yang menjadi balian
perempuan yang sebelumnya tidak pernah terjadi hal yang semacam itu.
-
Penelitian tokoh aku (penulis) di Pegunungan Maratus telah
selesai dilaksanakan.
c. Latar/setting:
-
Waktu:
Pada suatu malam
-
Tempat:
Di balai atiran, Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
-
Suasana:
Acara pengobatan ritual.
Dari
awal sampai terakhir cerita tersebut telah digambarkan latar dalam cerita
tersebut, akan tetapi dipertegas pada paragraf 11, yaitu “Balai itulah cahaya
benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya
tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual
untuk si sakit.”
d. Tokoh/penokohan:
-
Idang:
Tokoh utama, protagonis. Yaitu seorang anak perempuan yang dianggap kurang
waras, anak dari seorang dukun sakti yang ternyata adalah seorang balian
perempuan.
Tokoh
Idang merupakan tokoh utama yang mendukung tema cerita tersebut. Seorang tokoh
yang dipandang buruk oleh masyarakat, tetapi tetap berbuat baik dengan membantu
penyembuhan seorang anak laki-laki.
Pernyataan
tersebut dibuktikan dalam paragraf pertama yang merupakan pengenalan dari latar
belakang Idang dan pada kalimat “Idang, seorang perempuan muda yang dianggap
gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan
mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian” yang merupakan
pembuktian bahwa Idang diketahui adalah seorang perempuan balian.
-
Damang Itat: Tokoh protagonis. Seorang laki-laki tua yang merupakan
dukun besar.
Penggambaran
penokohan tokoh tersebut terdapat pada paragraf 7.
-
Aku:
Protagonis. Seseorang yang melakukan penelitian di desa tersebut.
Dibuktikan
dalam pernyataannya, “Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari
meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan
upacara balian, sudah berakhir.”
-
Anak laki-laki: Protagonis. Seorang anak laki-laki yang terkena penyakit
diisap buyu.
Penggambaran
tokoh tersebut dijabarkan pada paragraf 12 yang dipertegas pada kalimat: “Tubuh
kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air.”
-
Seorang ibu muda: Protagonis. Seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya dan
sabar dengan keadaan anaknya.
Digambarkan
pada paragraf 15: “Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk
lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan
tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak
jelantah.”
-
Seorang ayah: Protagonis. Seorang lelaki yang tegar mendampingi anaknya.
Dijelaskan
pada paragraf 15: “Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu
tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit tak
berampunan.”
-
Seorang lelaki tua: Antagonis. Orang yang kontra terhadap Idang sebagai
perempuan balian.
Dibuktikan
pada percakapannya: “Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan,
apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat
mendatangkan bencana.”
-
Dua lelaki muda: Wirawan, seorang tokoh pendukung tokoh protagonis.
Dibuktikan
pada percakapannya:
”Tapi
ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari
mengisap rokok.
”Betul,
Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk
kopi hitamnya.
e. Sudut
pandang: Orang
pertama
Terlihat
pada cerita tersebut yang banyak menggunakan kata ‘Aku’ yang penulis sendiri
terlibat dalam tokoh cerita tersebut. Penulis dalam cerita tersebut
menceritakan pengalamannya yang dalam penemuannya Ia menceritakan tokoh Idang.
Hal
ini dibuktikan pada kalimat: “Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan
nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras.”
f. Amanat: Janganlah memandang orang dengan
sebelah mata, karena setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Dan hendaklah menghargai apa yang seseorang bisa lakukan.
Dalam
paragraf 1 diceritakan bahwa masyarakat menganggap Idang sebagai orang yang
kurang waras, padahal dia mempunyai kelebihan dapat mengobati suatu penyakit
(dukun). Dan pada paragraf terakhir diceritakan bahwa seorang lelaki tua yang
tidak mau menerima kelebihan Si Idang sebagai perempuan balian dengan
mencelanya sebagai pertanda akan terjadinya bencana di daerah tersebut.
g. Gaya
bahasa: Yaitu
terdapat,
-
Majas perbandingan; alegori, contohnya: “Wajahnya yang penuh
kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan
terdalam.”
-
Majas hiperbola, contohnya: “Tubuh kecil kurus anak usia
empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air.”
Dan
masih banyak lagi gaya bahasa yang digunakan yang membuat cerita tersebut
menjadi lebih menarik untuk dibaca.
2.
Unsur ekstrinsik
a. Budaya: Masyarakat yang dalam pengobatan
suatu penyakit masih menggunakan upacara ritual adat.
Hal
ini dibuktikan dalam kalimat yang menyatakan: “Sebuah kampung kecil, yang malam
itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.”
b. Moral: Dalam cerita tersebut di atas Si
Idang dijauhi akibat orang mengiranya tidak waras dan dipandang buruk oleh
masyarakat sebagai pembawa kemalangan.
Dalam
suatu kalimat di paragraf 1 dikatakan “Idang dikenal sebagai perempuan kurang
waras. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai
pembawa kemalangan dalam hidup.”
c. Sosial: Dimana masyarakat di Pegunungan
Maratus, saling tolong menolong.
Yaitu
dalam cerita ini masyarakat berbondong-bondong datang dalam acara pengobatan
penyakit seorang anak laki-laki.
d. Keagamaan: Yaitu masyarakat pada cerita
tersebut masih mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan ghaib seperti adanya
mitos tentang akan adanya bencana yang akan terjadi jika ada seorang balian
perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar