Rabu, 14 Desember 2016

PERMASALAHAN DALAM DEMOKRASI



Kelompok 3        :
1.         Herti Gustina
2.         Mesha Nita Sari
3.         Nova Ardiansyah
Prodi                     : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester/Kelas     : 1/A
Mata Kuliah          : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen                   : Drs. Irzal Anderson, M.Si
 

PERMASALAHAN DALAM DEMOKRASI
Pemilu merupakan sarana pengamalan demokrasi. Dapat dikatakan tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Walaupun begitu, pemilu bukanlah tujuan. Ia hanya sebagai sarana untuk memilih anggota  parlemen dan pemimpin eksekutif di pusat dan daerah. Adapun tujuan kita berbangsa dan bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.. Berkaitan dengan diskursus UU Pemilu, menjadi pertanyaan apakah produk UU Pemilu yang baru saja disahkan dapat membawa bangsa ini bangkit dan maju di masa depan?
Berikut adalah permasalahan besar yang dihadapi bangsa Indonesia  dalam berdemokrasi.
1.        Permasalahan Kemiskinan
Permasalahan pertama  yang dihadapi bangsa ialah kemiskinan. Para ilmuan sosial telah sepakat bahwa pada hakikatnya tidak ada demokrasi dikalangan orang-orang miskin.  Padahal jumlah orang-orang miskin di Indonesia masih besar jumlahnya.    BPS menyebutkan bahwa jumlah orang-orang miskin terus mengalami penurunan. Statistik kemiskinan 2 Januari 2012 menyebutkan jumlah orang miskin sekitar  29,89 juta orang (12,36 persen). Sementara posisi Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Akan tetapi para pengamat yang kritis melihat jumlah orang miskin dengan merujuk kepada jumlah panerima beras miskin (Raskin) yang dikemukakan BPS 2012 sebanyak 17,5 juta keluarga (70 juta orang). Selain itu, ada yang merujuk kepada  jumlah kepesertaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) 2012 yang diperkirakan sebanyak 19,1  juta keluarga (76,4 juta orang).
Sebenarnya untuk menetapkan jumlah orang miskin sangat ditentukan besar kecilnya batas miskin yang ditetapkan. Kalau batas miskin menggunakan standar Bank Dunia (World Bank) 2 Dolar Amerika Serikat, maka pasti jumlah orang miskin masih  besar jumlahnya. Akan tetapi, kalau menggunakan ukuran misalnya 1 dolar Amerika Serikat, maka orang-orang miskin, sudah pasti semakin berkurang jumlahnya.  BPS dalam mengukur jumlah orang miskin, menggunakan angka garis miskin sebagai batas untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang adalah sebesar Rp 243.729 perkapita per bulan. Artinya kalau seseorang berpenghasilan diatas Rp 8.124 per hari per jiwa, dianggap tidak miskin.
Pertanyaannya, UU Pemilu ini apakah juga mengatur pelaksanaan hak-hak demokrasi orang-orang miskin, sehingga pemilu tidak menjadi ajang pengamalan korupsi dalam bentuk “sogok atau suap” untuk meraih dukung pemilih orang-orang miskin dalam pemilu.

2.        Permasalahan Budaya
Mayoritas penduduk Indonesia adalah suku Jawa, dan budaya yang dominan adalah budaya Jawa. Budaya yang ramai diamalkan orang-orang miskin dalam berdemokrasi adalah budaya warung yang bercorak transaksional.  Artinya, siapa yang membeli barang dan membayar, dialah yang akan diberi barang. Dalam pengamalan demokrasi, siapa yang memberi uang dan sembako kepada mereka, dia yang dipilih.
Budaya semacam ini dalam praktik berdemokrasi telah menciptakan simbiosis mutualistik antara seorang calon dengan pemilih. Kedua belah pihak mendapatkan manfaat, yaitu  calon legislatif di semua tingkatan, begitu pula calon pemimpin eksekutif di pusat dan  di daerah (kabupaten, kota dan provinsi) yang  memerlukan dukungan suara, dan para pemilih yang memerlukan uang,  bertemu dalam satu kepentingan. Budaya semacam ini, sering juga disebut budaya patron-client, yaitu kedua belah pihak saling melayani dan saling  ketergantungan. Itu sebabnya dalam pengamalan demokrasi di Indonesia,  sangat ramai diamalkan politik uang (money politic) yang tidak lain merupakan pengamalan dari  budaya warung yang bercirikan transaksional.
Pertanyaan, apakah UU Pemilu sudah mengatur hal tersebut supaya politik uang tidak semakin merajalela. Persoalan lain yang berkaitan dengan  budaya dan faham agama dalam pengamalan demokrasi ialah mayoritas pemilih adalah orang Jawa yang sudah tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Masalah ini sangat penting  terutama dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden.  Kalau budaya yang dominan adalah budaya Jawa, maka pertanyaannya apakah calon Presiden dari luar Jawa  memiliki peluang untuk terpilih dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden?
Belum lagi kalau dikaitkan dengan stratifikasi sosial keagamaan di Indonesia, yang masih mendikhotomikan antara abangan dan santri, dapat disimpulkan bahwa golongan abangan lebih besar jumlahnya dibanding santri, yang pada umumnya  di Jawa. Masalah tersebut pasti tidak dirumuskan dalam UU Pemilu. Kita kemukakan hal itu  untuk mengingatkan bahwa bangsa ini  menghadapi persoalan besar setelah amandemen UUD 1945 dalam pengamalan demokrasi.

3.        Permasalahan Pendidikan
Pendidikan mayoritas bangsa Indonesia masih rendah. Dalam implementasinya dapat dikatakan gagal meningkatkan tingkat pendidikan mayoritas bangsa Indonesia. Walaupun dipopulerkan “pendidikan gratis,” dalam kenyataan tidak dapat diikuti oleh orang-orang miskin. Oleh karena yang gratis hanya pembayaran sekolah, sementara buku dan  alat tulis,  pakaian seragam, sepatu, uang transport, uang makan dan sebagainya harus ditanggung oleh orang tua yang mayoritas tidak sanggup.

4.        Permasalahan Kelas menengah
William Liddle pernah  mengatakan bahwa yang dapat menjadi penyokong tegaknya  demokrasi adalah  kelas menengah (middle class). Lebih lanjut Liddle mengemukakan  “jika demokrasi mau diamalkan maka kelas menengah harus kuat.” Dari pandangan Liddle tersebut dapat  dikatakan bahwa tidak ada demokrasi tanpa kelas menengah. Pertanyaannya, sudah berapa besar jumlah kelas menengah di Indonesia?
Kalau kita melihat struktur sosial (social structure) bangsa Indonesia yang berbentuk piramida sosial, dimana masyarakat bawah (lower class) sangat besar, dan kelas atas (high class) serta kelas menengah (middle class) masih   kecil jumlahnya, dapat dikatakan bahwa  kelas menengah di Indonesia belum dapat menjadi penggerak utama (prime mover) demokrasi. Akan tetapi, ada perkembangan yang menggembirakan bahwa berdasarkan data Bank Dunia, pada 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 81 juta jiwa atau 37,7 persen. Sedangkan pada 2010 kelompok ini meningkat menjadi 131 juta jiwa atau 56,5 persen. Pada periode itu setiap tahun sekitar 7 juta jiwa penduduk meningkat dari kelas penghasilan rendah ke penghasilan menengah. Peningkatan di kelas menengah didominasi oleh mereka yang berada di tingkat pengeluaran US$2-6 per hari.
Siapa yang disebut kelas menengah? Bank Dunia mendefinisikan yang disebut kelas menengah adalah penduduk dengan pengeluaran US$2 hingga US$20. Kelas menengah itu masih dibagi beberapa bagian yaitu pengeluaran hariannya US$2-4 sebanyak 38,5 persen, pengeluaran harian US$4-US$6 sebesar 11,7 persen, pengeluaran harian US$6-US$10 sebesar 5 persen, dan pengeluaran US$10-20 sebesar 1,3 persen.
UU Pemilu 2012  dapat  dikatakan baru sekedar untuk  melayani dan melindungi kepentingan para elit yang sedang berkuasa di parlemen dan eksekutif dan kelas menengah (middle class) yang moga-moga semakin mendorong dan  mengukuhkan pengamalan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
Jadi UU Pemilu yang baru disahkan April 2012, belum bisa banyak diharapkan untuk memperkuat demokrasi di Indonesia karena bangunan sosial bangsa ini untuk berdemokrasi masih lemah. Hiruk-pikuk perbincangan masalah UU Pemilu dan upaya sekelompok masyarakat untuk melakukan uji kesahihan UU Pemilu yang baru khususnya pasal 8 ayat (1) dan pasal-pasal terkait terhadap Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lebih terkait kepada kepentingan elit di luar lingkaran kekuasaan, sementara masyarakat hanya dijadikan alasan pembenaran apa yang dituntut.
Untuk mencegah semakin merajalelanya politik uang dalam pemilu, hukuman berat bagi yang melakukan politik uang harus diberlakukan dengan menggugurkan sebagai calon.  Selain itu, anggaran pemilu bagi parpol sebaiknya ditanggung oleh negara. Ini diperlukan untuk mengurangi tingkat korupsi yang dilakukan kader-kader partai di legislatif dan eksekutif. Selain itu, kampanye di TV harus adil bagi semua partai politik, tidak bisa seperti sekarang. Pemilik TV yang mempunyai partai politik, partai besar dan kecil, harus sama jumlah slot yang ditayangkan dalam kampanye. Terakhir, seluruh kader partai politik dan partai politik, harus melakukan pendidikan politik kepada rakyat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar