Kelompok 3 :
1.
Herti Gustina
2.
Mesha Nita Sari
3.
Nova Ardiansyah
Prodi :
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester/Kelas : 1/A
Mata Kuliah :
Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen :
Drs. Irzal Anderson, M.Si
PERMASALAHAN
DALAM DEMOKRASI
Pemilu merupakan sarana pengamalan demokrasi. Dapat
dikatakan tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Walaupun begitu, pemilu bukanlah
tujuan. Ia hanya sebagai sarana untuk memilih anggota parlemen dan
pemimpin eksekutif di pusat dan daerah. Adapun tujuan kita berbangsa dan bernegara
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.. Berkaitan dengan diskursus UU
Pemilu, menjadi pertanyaan apakah produk UU Pemilu yang baru saja disahkan
dapat membawa bangsa ini bangkit dan maju di masa depan?
Berikut adalah permasalahan besar yang dihadapi bangsa
Indonesia dalam berdemokrasi.
1.
Permasalahan Kemiskinan
Permasalahan pertama yang dihadapi bangsa ialah
kemiskinan. Para ilmuan sosial telah sepakat bahwa pada hakikatnya tidak ada
demokrasi dikalangan orang-orang miskin. Padahal jumlah orang-orang
miskin di Indonesia masih besar jumlahnya. BPS menyebutkan
bahwa jumlah orang-orang miskin terus mengalami penurunan. Statistik kemiskinan
2 Januari 2012 menyebutkan jumlah orang miskin sekitar 29,89 juta orang
(12,36 persen). Sementara posisi Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang (12,49
persen). Akan tetapi para pengamat yang kritis melihat jumlah orang miskin
dengan merujuk kepada jumlah panerima beras miskin (Raskin) yang dikemukakan
BPS 2012 sebanyak 17,5 juta keluarga (70 juta orang). Selain itu, ada yang
merujuk kepada jumlah kepesertaan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) 2012 yang diperkirakan sebanyak 19,1 juta keluarga (76,4 juta
orang).
Sebenarnya untuk menetapkan jumlah orang miskin sangat
ditentukan besar kecilnya batas miskin yang ditetapkan. Kalau batas miskin
menggunakan standar Bank Dunia (World Bank) 2 Dolar Amerika Serikat, maka pasti
jumlah orang miskin masih besar jumlahnya. Akan tetapi, kalau menggunakan
ukuran misalnya 1 dolar Amerika Serikat, maka orang-orang miskin, sudah pasti
semakin berkurang jumlahnya. BPS dalam mengukur jumlah orang miskin,
menggunakan angka garis miskin sebagai batas untuk menentukan miskin atau
tidaknya seseorang adalah sebesar Rp 243.729 perkapita per bulan. Artinya kalau
seseorang berpenghasilan diatas Rp 8.124 per hari per jiwa, dianggap tidak
miskin.
Pertanyaannya, UU Pemilu ini apakah juga mengatur
pelaksanaan hak-hak demokrasi orang-orang miskin, sehingga pemilu tidak menjadi
ajang pengamalan korupsi dalam bentuk “sogok atau suap” untuk meraih dukung
pemilih orang-orang miskin dalam pemilu.
2.
Permasalahan Budaya
Mayoritas penduduk Indonesia adalah suku Jawa, dan
budaya yang dominan adalah budaya Jawa. Budaya yang ramai diamalkan orang-orang
miskin dalam berdemokrasi adalah budaya warung yang bercorak
transaksional. Artinya, siapa yang membeli barang dan membayar, dialah
yang akan diberi barang. Dalam pengamalan demokrasi, siapa yang memberi uang
dan sembako kepada mereka, dia yang dipilih.
Budaya semacam ini dalam praktik berdemokrasi telah
menciptakan simbiosis mutualistik antara seorang calon dengan pemilih. Kedua
belah pihak mendapatkan manfaat, yaitu calon legislatif di semua
tingkatan, begitu pula calon pemimpin eksekutif di pusat dan di daerah
(kabupaten, kota dan provinsi) yang memerlukan dukungan suara, dan para
pemilih yang memerlukan uang, bertemu dalam satu kepentingan. Budaya
semacam ini, sering juga disebut budaya patron-client, yaitu kedua belah pihak
saling melayani dan saling ketergantungan. Itu sebabnya dalam pengamalan
demokrasi di Indonesia, sangat ramai diamalkan politik uang (money
politic) yang tidak lain merupakan pengamalan dari budaya warung yang
bercirikan transaksional.
Pertanyaan, apakah UU Pemilu sudah mengatur hal
tersebut supaya politik uang tidak semakin merajalela. Persoalan lain yang
berkaitan dengan budaya dan faham agama dalam pengamalan demokrasi ialah
mayoritas pemilih adalah orang Jawa yang sudah tersebar di seluruh pelosok
tanah air.
Masalah ini sangat penting terutama dalam pemilu
Presiden/Wakil Presiden. Kalau budaya yang dominan adalah budaya Jawa,
maka pertanyaannya apakah calon Presiden dari luar Jawa memiliki peluang
untuk terpilih dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden?
Belum lagi kalau dikaitkan dengan stratifikasi sosial
keagamaan di Indonesia, yang masih mendikhotomikan antara abangan dan santri,
dapat disimpulkan bahwa golongan abangan lebih besar jumlahnya dibanding
santri, yang pada umumnya di Jawa. Masalah tersebut pasti tidak
dirumuskan dalam UU Pemilu. Kita kemukakan hal itu untuk mengingatkan
bahwa bangsa ini menghadapi persoalan besar setelah amandemen UUD 1945
dalam pengamalan demokrasi.
3.
Permasalahan Pendidikan
Pendidikan mayoritas bangsa Indonesia masih rendah.
Dalam implementasinya dapat dikatakan gagal meningkatkan tingkat pendidikan
mayoritas bangsa Indonesia. Walaupun dipopulerkan “pendidikan gratis,” dalam
kenyataan tidak dapat diikuti oleh orang-orang miskin. Oleh karena yang gratis hanya
pembayaran sekolah, sementara buku dan alat tulis, pakaian seragam,
sepatu, uang transport, uang makan dan sebagainya harus ditanggung oleh orang
tua yang mayoritas tidak sanggup.
4.
Permasalahan Kelas menengah
William Liddle pernah mengatakan bahwa yang
dapat menjadi penyokong tegaknya demokrasi adalah kelas menengah
(middle class). Lebih lanjut Liddle mengemukakan “jika demokrasi mau
diamalkan maka kelas menengah harus kuat.” Dari pandangan Liddle tersebut
dapat dikatakan bahwa tidak ada demokrasi tanpa kelas menengah.
Pertanyaannya, sudah berapa besar jumlah kelas menengah di Indonesia?
Kalau kita melihat struktur sosial (social structure)
bangsa Indonesia yang berbentuk piramida sosial, dimana masyarakat bawah (lower
class) sangat besar, dan kelas atas (high class) serta kelas menengah (middle
class) masih kecil jumlahnya, dapat dikatakan bahwa kelas
menengah di Indonesia belum dapat menjadi penggerak utama (prime mover)
demokrasi. Akan tetapi, ada perkembangan yang menggembirakan bahwa berdasarkan
data Bank Dunia, pada 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 81 juta
jiwa atau 37,7 persen. Sedangkan pada 2010 kelompok ini meningkat menjadi 131
juta jiwa atau 56,5 persen. Pada periode itu setiap tahun sekitar 7 juta jiwa
penduduk meningkat dari kelas penghasilan rendah ke penghasilan menengah.
Peningkatan di kelas menengah didominasi oleh mereka yang berada di tingkat
pengeluaran US$2-6 per hari.
Siapa yang disebut kelas menengah? Bank Dunia
mendefinisikan yang disebut kelas menengah adalah penduduk dengan pengeluaran
US$2 hingga US$20. Kelas menengah itu masih dibagi beberapa bagian yaitu
pengeluaran hariannya US$2-4 sebanyak 38,5 persen, pengeluaran harian US$4-US$6
sebesar 11,7 persen, pengeluaran harian US$6-US$10 sebesar 5 persen, dan
pengeluaran US$10-20 sebesar 1,3 persen.
UU Pemilu 2012 dapat dikatakan baru sekedar untuk
melayani dan melindungi kepentingan para elit yang sedang berkuasa di parlemen
dan eksekutif dan kelas menengah (middle class) yang moga-moga semakin
mendorong dan mengukuhkan pengamalan demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi
Jadi UU Pemilu yang baru disahkan April 2012, belum
bisa banyak diharapkan untuk memperkuat demokrasi di Indonesia karena bangunan
sosial bangsa ini untuk berdemokrasi masih lemah. Hiruk-pikuk perbincangan
masalah UU Pemilu dan upaya sekelompok masyarakat untuk melakukan uji kesahihan
UU Pemilu yang baru khususnya pasal 8 ayat (1) dan pasal-pasal terkait terhadap
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lebih terkait kepada
kepentingan elit di luar lingkaran kekuasaan, sementara masyarakat hanya
dijadikan alasan pembenaran apa yang dituntut.
Untuk mencegah semakin merajalelanya politik uang
dalam pemilu, hukuman berat bagi yang melakukan politik uang harus diberlakukan
dengan menggugurkan sebagai calon. Selain itu, anggaran pemilu bagi
parpol sebaiknya ditanggung oleh negara. Ini diperlukan untuk mengurangi
tingkat korupsi yang dilakukan kader-kader partai di legislatif dan eksekutif. Selain
itu, kampanye di TV harus adil bagi semua partai politik, tidak bisa seperti
sekarang. Pemilik TV yang mempunyai partai politik, partai besar dan kecil,
harus sama jumlah slot yang ditayangkan dalam kampanye. Terakhir, seluruh kader
partai politik dan partai politik, harus melakukan pendidikan politik kepada
rakyat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar