TUGAS
MITOS YANG BERHUBUNGAN DENGAN ALAM
Mata Kuliah : Ilmu Alamiah Dasar
Dosen Pengampu : Drs. Abu Bakar, M.Pd
Disusun
oleh:
Nama :
Herti Gustina
NIM :
A1B112005
Semester/Kelas : III/A
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013
LEGENDA DANAU KERINCI
Konon
menurut cerita Danau Kerinci tidak seperti sekarang ini. Asal muasalnya adalah
dari sebuah danau yang sangat besar sehingga diberi nama Danau Gedang. Pada
waktu itu Lembah Kerinci belum ada, karena masih tertutup oleh permukaan Danau
Gedang tersebut. Ada satu kisah yang menceritakan terjadinya Danau dan Lembah
Kerinci sehingga menjadi seperti sekarang ini.
Kisahnya
berawal dari dua orang kakak beradik yang tinggal di sebuah rumah di kaki
Gunung Kerinci. Mereka yatim piatu. Sang kakak bernama Calungga sedang adiknya
bernama Calupat. Sang kakak berwatak pemberang, kasar dan berani. Sedangkan
adiknya berwatak halus serta cerdas. Sifat itu dipengaruhi oleh sepasang
mustika yang diwariskan oleh orang tua mereka. Calungga mendapat batu merah,
sedang Calupat mendaoat batu putih. Batu merah akan membuat pemiliknya menjadi
pemberani dan memiliki kesaktian yang luar biasa, sementara batu putih membawa
keberuntungan dan kejayaan bagi pemiliknya.
Pada
suatu hari ketika sedang berburu di hutan, Calungga menemukan sebuah telur yang
sangat besar, sebesar kelapa dengan kulit yang putih berkilau. Karena tertari
Calungga membawa telur tersebut pulang. Calupat juga merasa heran pada telur
yang dibawa kakaknya, Calupat mengusulkan untuk menyimpan telur itu selama tiga
hari sambil ia meminta petunjuk pada dewa. Tetapi sewaktu Calupat sedang
memancing, telur tersebut direbus oleh Calungga yang sudah tidak tahan ingin
merasakan telur tersebut. Kemudian telur itu dimakan Calungga sampai habis dan
tertidur kekenyangan.
Ketika
adiknya pulang, Calungga terbangun dengan rasa haus yang luar biasa sihingga
diminumnya semua air yang ada di rumah, tetapi rasa haus itu tidak hilang meski
badannya sudah gembung oleh air. Calungga lalu pergi ke sungai dan minum sepuasnya
sehingga tubuhnya makin menggelembung dan memanjang. Keesokan harinya Calupat
pergi ke sungai dan mendapati kakaknya
sudah berubah wujud. Di badan Calungga muncul sisik-sisik sebesar nyiru
dengan warna berkilauan. Saat itu Calungga masih terus minum air sehingga
sungai di sekitar Gunung Berapi banyak yang kering. Konon sungai-sungai itu
sekarang disebut Sungai Kering.
Ketika
melihat Calupat, Calungga segera menyuruh adiknya pergi jauh. Karena takut,
Calupat pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan sedih harus berpisah
dengan kakak yang disayanginya itu. Tak lama kemudian, Calungga yang sudah
berubah wujud menjadi seekor naga mengucapkan mantera-mantera. Seketika bumi
bergetar, hujan badai turun dengan disertai guntur yang menggelegar. Air bah
muncul dimana-mana sehingga menggenangi tempat naga Calungga. Naga memutarkan
badannya lalu berenang menuju Danau Gedang. Konon tempat naga mengisar dan
memutar badannya sekarang dikenal sebagai Danau Bento. Sedangkan sisik naga
yang terkelupas berubah menjadi ikan yang bernama Si Mambang Bulan yang
dianggap sebagai nenek moyang ikan Semah.
Tiga
musim berlalu, Calupat kembali ke Danau Gedang ia berdiri dan memanggil-manggil
kakaknya. Seketika dari air muncul seekor naga yang tak lain adalah kakaknya.
Sambil menangis gembira Calupat menceritakan keinginannya untuk pergi ke tempat
dimana banyak orang tinggal (suatu desa). Calungga mengabulkan keinginan
adiknya, ia menggendong Calupat dipunggungnya lalu berenang mengarungi danau
hingga sampai ke sungai sempit tempat keluarnya air danau dan tidak cukup untuk
badannya yang besar. Namun dengan kesaktian Naga Calungga menjebol sungai
tersebut sambil berenang menuju hilir hingga tiba di sebuah negeri di pinggir
sungai. Di tempat itu Calupat kemudian menetap. Beberapa tahun kemudian karena
kepandaian dan sifatnya yang baik ia menjadi pemimpin di negeri tersebut. Naga
Calungga sendiri setelah mengantar adiknya lalu menyelam ke dalam sungai dan
pergi entah kemana.
Sementara
itu karena saluran pelepasan jebol oleh Naga Calungga, air Danau Gedang
melimpah sehingga permukaan danau surut dan terbentuklah dataran luas yang
sekarang dengan Dataran Kerinci. Danau Gedang yang tersisa berubah nama menjadi
Danau Kerinci dan sungai tempat keluarnya Naga Calungga adalah sungai yang dikenal
sebagai Sungai Batang Merangin.
LEGENDA TELAGA WARNA KAWASAN PUNCAK
Dahulu
kala di kawasan puncak tepatnya di lereng Gunung Lemo komplek pegunungan Mega
Mendung terdapat sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Kutatanggeuhan. Nama
kerajaan ini berasal dari kata Kuta
yang berarti tempat dan Tanggeuhan
yang berarti andalan. Kerajaan ini sering disebut Kerajaan Kemuning Kewangi.
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu
Swarnalaya. Beliau didampingi oleh
permaisuri yang baik hati dan bersifat keibuan bernama Ratu Purbamanah.
Dalam
masa kepemimpinan Prabu Swanalaya, kerajaan ini mengalami masa keemasannya.
Negeri ini terkenal damai, subur, makmur dan tenteram. Tak ada satupun keluarga
yang kekurangan sandang, pangan maupun papan. Walaupun demikian nampaknya Sang
Prabu dan Permaisuri belum merasa bahagia karena setelah bertahun-tahun membina
hubungan suami istri, mereka belum dikaruniai seorang anak. Berbagai upaya
telah mereka lakukan seperti meminum minuman tradisional, konsultasi dengan
dukun beranak, dan berbagai usaha lainnya, namun tak kunjung berhasil.
Hingga
pada suatu hari, Sang Prabu memutuskan untuk bertapa (semedi) memohon bantuan
Yang Maha Kuasa. Setelah sekian lama beliau bersemedi dengan khusuk, maka pada suatu hari beliau mendengar suara gaib
yang berkata “Wahai cucuku Prabu Swarnalaya, apakah yang engkau inginkan?
Mintalah kepada Tuhan-Mu!”
“Hamba
ingin sekali memiliki seorang anak”, harap Sang Prabu.
“Kalau
begitu pulanglah!”, jawab suara itu.
Tidak
lama kemudian setelah peristiwa itu terjadi, Sang Permaisuri dinyatakan hamil.
Sembilan bulan sepuluh hari, kemudian lahirlah seorang puteri yang diberi nama
Nyi Mas Gilang Rukmini, adapula yang menyebutnya Nyi Mas Ratu Dewi Kencana
Wungu Kuncung Biru.
Kehadiran
Sang Puteri disambut meriah dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam
sebagai ungkapan kegembiraan yang tidak terhingga. Berbagai hadiah dan
bingkisan berdatangan dari berbagai kerajaan termasuk dari warga Kerajaan
Kutatanggeuhan sendiri. Semakin dewasa Sang Puteri semakin menampakkan
kecantikannya. Dan sebagai puteri tunggal, tak heran bila kedua orang tuanya
beserta warga kerajaannya sangat
memanjakannya.
Menginjak
usia ke-17, kecantikan Sang Puteri tidak ada duanya di seluruh tanah Pasundan.
Dalam perayaan hari ulang tahunnya yang ke-17, Puteri Gilang Rukmini
menginginkan agar setiap helai rambutnya dihiasi emas permata. Mendengar
keinginan Sang Puteri, seluruh warga dari berbagai pelosok negeri ingin
menyumbangkan sebagian hartanya agar keinginan Sang Puteri dapat terwujud.
Karena kearifannya, maka Sang Prabu menyarankan agar harta-harta sumbangan tadi
disimpan dan dipergunakan untuk kepentingan umum. Untuk memenuhi keinginan Sang
Puteri, beliau hanya mempergunakan sebagian harta tersebut untuk dijadikan
perhiasan yang indah. Perhiasan tersebut dibuat oleh seorang Empu yang sangat
ahli. Dengan kemampuannya, Sang Empu membuat sebuah kalung yang sangat indah.
Ketika
saatnya tiba, datanglah berbondong-bondong warga Kerajaan Kutatanggeuhan untuk
menyaksikan acara ulang tahun Sang Puteri. Pada acara tersebut, Sang Prabu
langsung menyerahkan hadiah ulang tahun yang berupa kalung buatan Empu kepada
Sang Puteri. Pemberian hadiah tersebut diwarnai dengan sorak-sorai gembira
warga. Namun apa yang terjadi, setelah kalung diberikan Sang Puteri bukannya
menerima dengan senang hati, ia malah melemparkannya hingga putus dan
bercerai-berai. Menyaksikan peristiwa tersebut sontak semua hadirin membisu dan
diam terpaku. Dalam kebisuan dan keheningan itu terdengarlah tangisan
Permaisuri dan seluruh warga kerajaan terutama kaum istri yang tak
henti-hentinya mengeluarkan air mata melihat sikap Sang Puteri. Mereka
bertanya-tanya mengapa Puteri tidak mau menerima hadiah tersebut.
Pada
saat yang bersamaan timbullah suatu keajaiban. Bumi bergoncangdan dari
permukaan tanah keluarlah air yang semakin lama semakin membesar sehingga
membentuk sebuah danau atau telaga. Danau itu semakin lama semakin meluas
sehingga menenggelamkan Kerajaan Kutatanggeuhan beserta segala isinya. Dari
dasar telaga memancarkan cahaya berwarna-warni yang diduga berasal dari kalung
yang bercerai-berai. Karena itulah danau tersebut dinamakan Telaga Warna.
LEGENDA LEMBAH HARAU
Dahulu
Lembah Harau merupakan lautan. Pembentukan Lembah Harau terbentuk sejak kisah
berikut ini. Suatu hari Raja Hindustan berlayar bersama istri dan anaknya,
Putri Sari Banilai. Perjalanan tersebut dalam rangka selamatan atas pertunangan
putrinya dengan seorang pemuda Hindustan bernama Bujang Juaro. Sebelum
berangkat, Sari Banilai bersumpah dengan tunangannya, apabila ia ingkar janji
maka ia akan berubah menjadi batu dan apabila Buajng Juaro yang ingkar janji
maka ia akan berubah menjadi ular. Namun sayangnya, dalam perjalanan kapal
tersebut terbawa oleh gelombang dan terdampar pada sebuah selat (tempat
tersebut dinamakan Lembah harau). Kapal tersebut tersekat oleh akar yang
melintang pada dua buah bukit hingga akhirnya rusak. Agar tidak karam, kapal
itu ditambatkan pada sebuah batu besar yang terdapat di pinggiran bukit (bukit
tersebut dinamakan Bukit Jambu). Batu tempat tambatan kapal itu sekarang
dinamakan Batu Tambatan Perahu.
Setelah
terdampar, raja Hindustan bersama dengan keluarganya disambut oleh Raja yang
memerintah Harau pada waktu itu. Lama kelamaan, karena hubungan baik yang
terjalin. Raja Hindustan ingin menikahi putrinya dengan pemuda setempat bernama
Rambun Paneh. Untuk kembali ke negeri Hindustan pun tidak memungkinkan lagi. Ia
tidak tahu sumpah yang telah diucapkan Sari Banilai dengan tunangannya, Bujang
Juaro. Tidak berapa lama kemudian, Rambun Paneh dan Sari Banilai pun menikah.
Waktu
terus berjalan dan dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putra. Suatu hari,
sang kakek, Si Raja Hindustan membuatkan mainan untuk cucunya. Sewaktu asyik
bermain, mainan tersebut jatuh ke dalam laut. Anak tersebut menangis
sejadi-jadinya. Ibunya, Putri Sari Banilai tanpa pikir panjang langsung terjun
ke laut untuk mengambilkan mainan tersebut. Sungguh malang, ombak datang
menghempaskan dan menghimpit tubuhnya pada dua batu besar. Sari Banilai sadar
bahwa ia telah ingkar janji pada tunangannya dahulu, Bujang Juaro. Dalam
keadaan pasrah, ia berdoa pada Yang Maha Kuasa supaya air laut jadi surut. Ia
juga berdoa agar peralatan rumah tangganya didekatkan padanya. Dan ia berdoa
seandainya ia membuat kesalahan ia rela dimakan sumpah menjadi batu. Tidak lama
berselang, perlahan-lahan tubuh Putri Sari Banilai pun berubah menjadi batu.
ASAL MULA TERJADINYA GEMPA
Dahulu
kala ketika zaman kerajaan, ada seorang janda beranak dua, laki-laki dan
perempuan. Pada waktu itu Danau Bratan belum ada. Singkat cerita, Sang ibu
mempunyai hubungan dengan siluman ular besar atau ular naga yang berdiam di
dalam lumbung padi dekat rumahnya. Lama kelamaan sang anak mulai menaruh
kecurigaan karena setiap pulang dari hutan ibunya selalu naik ke lumbung.
Pada
suatu hari, ketika ibunya pergi ke hutan, mereka naik ke lumbung. Di dalam
lumbung dilihatnya ada tumpukan telur yang ukurannya lebih besar dari telur
ayam. Di tengah tumpukan telur tersebut terdapat sebuah telur aneh. Telur
tersebut kemudian diambil dan dimasak, lalu dimakan oleh anaknya yang
laki-laki.
Seketika
wujud kakaknya berubah menjadi ular. Karena kuatir akan menimbulkan keributan
di dalam kampung, mereka pergi ke hutan mencari ibu mereka. Lalu oleh seorang
adik, kakaknya tersebut digendong lari ke dalam hutan. Di dalam hutan, mereka
bertemu dengan ibunya yang sedang menjalin kasih dengan seekor ular naga. Lalu
marahlah mereka, karena menganggap gara-gara naga tersebutlah si kakak menjadi
seperti itu. Ditantangnya ular naga tersebut berkelahi. Akhirnya sang kakak
yang telah berubah wujud menjadi ular berhasil mengalahkan ular naga tersebut.
Namun sayangnya, ibu mereka juga turut meninggal dalam perkelahian tersebut.
Setelah
itu mereka berjalan sampai ke arah Bukit Lesung. Sesampainya di sana, sang
kakak berpikir bahwa dia harus masuk ke perut bumi, sebab dia telah menjadi
naga, yaitu Naga Gombang. Agaradiknya tidak kaget, dia lalu menyuruh adiknya
mengambil air dengan keranjang. Tujuannya agar ketika dia masuk ke perut bumi,
adiknya tidak melihat dan kaget.
Ketika
adiknya sibuk mengambil air dengan keranjang tersebut, sang kakak langsung
masuk ke dalam kawah gunung. Sesampainya sang adik dari mengambil air,
menyadari bahwa kakaknya telah tidak berada di tempat itu lagi. Kakaknya telah
masuk ke perut bumi. Sang kakak berkata, “Jangan kau tangisi, kakakmu memang
sudah taksirnya berada di bawah perut bumi ini.” Sesampainya di bawah, sang
kakak yang telah menjadi ular naga tersebut melingkari tubuhnya seperti ular
yang sedang tidur.
Konon
katanya, kalau sang kakak gelisah ingin tau kabar adiknya di atas, dia akan
bergerak yang mengakibatkan bumi menjadi bergoyang yang disebut sebagai gempa.
Karena itulah ketika terjadi gempa, masyarakat Bali akan berteriak “idup, idup”
sambil membunyikan kentongan untuk memberitahu sang kakak bahwa adiknya masih
hidup di atas.
ASAL-USUL DANAU TOBA
Dahulu
kala di sebuah desa di wilayah Sumatera hidup seorang petani bernama Toba. Ia
adalah seorang petani yang ulet dalam bekerja walaupun lahan yang digarapnya
tidaklah luas. Dari bertani, ia dapat memenuhi kebutuhannya. Sebenarnya, usia
petani tersebut telah matang untuk menikah, akantetapi ia tetap memilih untuk
hidup sendirian.
Di
suatu pagi yang cerah ketika Toba sedang memancing ikan di sungai.
“Mudah-mudahan hari ini aku bisa mendapatkan ikan yang besar”, gumam Toba dalam
hati.
Selang
beberapa saat setelah kailnya di lempar, akhirnya kail tersebut mulai
menampakkan pertanda bahwa umpannya sedang di lahap ikan. Ia pun segera menarik
kailnya. Toba pun bersorak kegirangan melihat ikan yang didapatinya cukup
besar. Ia takjub melihat warna sisik-sisik ikan tersebut yang sangat indah.
Sisik ikan tersebut berwarna kuning emas kemerah-merahan dan kedua matanya bulat
dan menonjol memancarkan kilatan yang sangat menakjubkan.
“Tunggu,
aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi
memakanku.” Toba terkejut mendengar suara yang berasal dari ikan tersebut
hingga ikan itu terlempar ke tanah. Beberapa saat kemudian, ikan tersebut
berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
“Bermimpikah
aku?”, gumam si petani.
“Jangan
takut Pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu
karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata”, kata gadis itu. “Namaku
Puteri. Aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu”, kata gadis tersebut seolah
mendesak.
Toba
dengan yakinnya itupun mengangguk. Kemudian Toba dan gadis tersebut pun menikah
dan menjadi sepasang suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati,
yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri adalah dari seekor
ikan. Jika janji itu dilanggar, maka akan terjadi petaka yang maha dahsyat.
Sesampainya
di desa, gemparlah penduduk desa melihat gadis yang cantik jelita bersama Toba.
“Dia
mungkin bidadari yang turun dari langit”, gumam salah satu dari mereka.
Toba
merasa sangat bahagia dan tenteram bersama gadis tersebut. Sebagai suami yang
baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya
dengan sangat tekun dan ulet. Karena ketekunannya tersebut, mereka hidup dengan
tanpa kekurangan. Banyak orang iri dan menyebarkan sangkaan buruk tentang
keberhasilan dari usaha mereka.
“Aku
yakin Toba memelihara makhluk halus!” kata salah seorang dari mereka.
Hal
itu pun terdengar sampai ke telinga Toba dan Puteri. Namun mereka tidak patah
semangat dan tersesinggung. Mereka malah menjadi semakin giat dalam bekerja.
Setahun
kemudian, kebahagian Toba dan Puteri terlengkapi dengan lahirnya seorang bayi
laki-laki buah perkawinan mereka. Bayi tersebut diberi nama Samosir. Kebahagian
tersebut tidaklah membuat mereka lupa diri.
Samosir tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak
yang manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran
kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya bisa
dimakan bertiga dapat ia lahap sendirian.
Lama
kelamaan, Samosir membuat ayahnya semakin jengkel. Jika disuruh membantu orang
tuanya bekerja, ia selalu menolak. Isterinya selalu mengingatkan Toba agar
selalu bersabar dengan ulah anaknya.
“Ya,
aku akan sabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!”, kata Toba kepada
istrinya.
“Syukurlah,
kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik”,
puji Puteri kepada suaminya.
Memang
benar kata orang bahwa kesabaran itu ada batasnya. Hal ini telah dialami oleh
Toba. Pada suatu hari, Samosir mendapat tugas untuk mengantarkan makanan dan
minuman ke sawah tempat ayahnya bekerja. Tetapi Samosir tidak menjalankan
tugasnya dengan baik. Toba yang telah lama menunggu kedatangan anaknya sambil
menahan haus dan lapar pun akhirnya pulang ke rumah. Alangkah marahnya sang
ayah melihat Samosir sedang asyik main bola. Ia sangat marah dan langsung
menjewer kuping anaknya.
“Anak
tidak tau diuntung! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!”, umpat Toba tanpa sadar
telah melanggar pantangan tersebut.
Setelah
kata-kata itu terlontar, seketika itu juga anak dan istrinya hilang tanpa
jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat
deras. Desa-desa di sekitar itupun terendam oleh luapan air yang sangat tinggi
dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Danau itupun akhirnya dinamakan
sebagai Danau Toba, sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama
Pulau Samosir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar