TUGAS TEORI
SASTRA MERINGKAS
Tugas :
Meringkas
Sem/Kelas :
1/a
Prodi :
Pend. Bahasa dan Sastra Idonesia
Kelompok 9:
1. Herti Gustina
2. Ahillah
3. Mery Asparina
4. Masri Simbolon
5. Nova Ardiansyah
6. Dani Somdani
STUDI SASTRA LISAN DALAM RANGKA
SEMIOTIK SASTRA
1. Gayutan Sastra Lisan
dalam Kerangka Teori Sastra Umum
Ada sejumlah alasan mengapa sastra lisan dianggap penting
untuk meminta perhatian yang khusus, di antaranya:
a.
Dalam situasi komunikasi
sastra ada perbedaan yang cukup menonjol antara sastra lisan dengan sastra tulis,
dimana sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dan
penikmat.
b.
Penelitian sastra lisan
biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda dengan ilmu sastra umum.
c.
Di seluruh Indonesia sastra
lisan dari dahulu sampai sekarang diciptakan dan dihayati oleh masyarakat
sebagai satu-satunya bentuk sastra.
d.
Interaksi yang
terus-menerus di wilayah Indonesia menjadikan pemahaman tentang ciri-ciri khas
dan konvensi umum sastra lisan sesuatu yang mutlak perlu untuk teori sastra
umum.
2. Minat untuk Sastra Lisan
di Eropa
Minat untuk sastra lisan atau sastra rakyat di Eropa Barat
mulai timbul dalam abad ke-18, dalam rangka perkembangan kebudayaan yang lebih
luas, yang sering disebut Romantik. Dalam abad ini muncul reaksi terhadap
klasisme yang menyanjung-nyanjung zaman klasik sebagai puncak kebudayaan
manusia, yang hanya tinggal diteladani dan ditiru. Juga berkat perkenalan
dengan dunia lain, manusia yang disebut primitif ditemukan oleh manusia Eropa
Barat. Orang yang disebut primitif dimuliakan karena nyanyian-nyanyian dan dalam
pemakaian bahasa spontan , belum dijinakkan oleh rasio yang mengekang keaslian
dan kemurnian emosi manusia. Tidak kebetulanlah di masa itu pada satu pihak
para pecinta sastra mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan
yang dianggap primitif. Dan dipiahak lain penyair Barat sendiri mulai
menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang primitif itu.
Dalam hubungan ini perlu disebut nama filsuf Jerman yang mencoba meletakkan dasar ilmiah untuk pendekatan baru terhadap sastra, Johann
Gottfried Herder (1744-1803) dengan tulisan mengenai asal-usul bahasa dan
tulisan mengenai Gagasan mengenai
Filsafat Sejarah Umat Manusia. Bagi
Herder asal-usul bahasa dan puisi identik: manusia primitif, purba, mulai
belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam
bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya
itu. Bahasa pada awal mulanya hanya puisi alamiah saja, dan demikianlah puisi
adalah cara berbahasa yang asli. Herder
juag mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang
sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa,
mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus
menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pra-tulis.
Berdasarkan gagasan-gagasan seperti yang dipaparkan oleh
Herder, tidak lama kemudian di Jerman muncul Jakob dan Wilhelm Grimm, dua
kakak-beradik yang dalam awal abad ke-19 mulai menerbitkan dongeng-dongeng
rakyat Jerman yang mereka kumpulkan dari mulut rakyat yang berjudul Kinder-und Hausmarchen (1812) dan dengan
buku ini mereka melopori cabang ilmu yang adakalanya disebut ilmu sastraoral
atau rakyat, adakalanya pula ilmu folklor, sebab penelitian semacam ini
biasanya tidak terbatas pada cerita saja, tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupan rakyat pedesaaan. Kemudian dikembangkan lagi ilmu bandingan sastra
khusus untuk sastra rakyat. Demikianlah berangsur-angsur berkembang ilmu
bandingan sastra tersebut.
3. Minat untuk Sastra Lisan
di Indonesia
Pengumpulan cerita rakyat telah mulai cukup awal di
Indonesia, khusunya berkat kegiatan penerjemah Kitab Injil yang sejak awal abad
ke-19 mulai diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda, dengan tugas
utama untuk menerjemah Kitab Injil dalam berbagai bahasa Nusantara, tetapi
mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan bagi tugas utama, untuk secara
ilmiah meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa tempat bekerja.
Beberapa tokoh peneliti sastra rakyat yang patut dihormati
sebgai peletak dasar studi sastra rakyat di Indonesia yaitu: Herman Neubronner
van der Tuuk, N. Andriani, dan P.Middelkoop. Kebanyakan dari mereka besar
jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan. Akan
tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang
berkaitan dengan sastra rakyat. Mereka lebih tertarik dari segi ilmu atau
deskripsi bahasa.
4. Perkembangan Penelitian
Sastra Rakyat
Di Eropa dalam
abad yang lalu dan khususnya pada abad ini telah mulai berkembang pula minat
yang lebih bersifat kesastraan untuk sastra rakyat. Pada awalnya minat ini
sesuai dengan perkembangan ilmu kemanusiaan umumnya, ilmu bahasa dan sastra
khususnya yang berorientasi sejarah dan bandingan. Studi bandingan itu berusaha
tidak hanya untuk memperlihatkan hubungan antara berbagai contoh sastra rakyat,
tetapi juga untuk meneliti pola penyebarannya, tempat asalnya, dan bentuk
aslinya, jadi sungguh-sungguh historik-komparatif.
Penelitian ini
tidak terbatas pada sastra rakyat bangsa-bangsa Indo-Eropa. Metode dan teori
historik dan komparatif secara sistematik mulai dikembangkan di Helinski, oleh
orang Finlandia yang mulai berminat khusus sehubungan dengan studi epos
nasional Finlandia yang berjudul Kalevala yang sebenarnya merupakan ciptaan
abad ke-19 berdasarkan berbagai macam cerita epik rakyat yang tua. Masalah
utama yang dihadapi peneliti ialah masalah kalasifikasi dan organisasi
bahan-bahannya. Untuk penggolongan cerita rakyat mazhab Finlandia memakai
konsep dasar type dan motif, dimana cerita digolongkan menurut tipenya,
sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang
mempunyai daya tahan dalam tradisi.
5. Penelitian Propp mengenai
Dongeng Rusia
Dengan
munculnya pendekatan aliran strukturalis dalam ilmu bahasa dan sastra
pendekatan mazhab historik-geografik tidak lupa luput dari kritik. Kritik yang
keras datang dari seorang peneliti Rusia bernama Vladimir Propp, dengan sebuah
studi yang berjudul The Morphology of the
Folk Tale. Propp bukanlah seorang formalis, namun Propp dengan keras
membantah kualifikasi Levi-Strauss seakan-akan dia seorang formalis.
Kritik
Propp terhadap mazhab Finlandia terutama menyangkut sifat atomistik analisis
tema dan motif. Berdasarkan analisis seratus dongeng yang disebut fairy tales, Propp menunjukkan hasil
yang mengejutkan, yaitu:
a.
Anasir yang mantap dan tak
berubah dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya melainkan fungsi,
lepas dari sipa tokoh yang memenuhi fungsi tersebut.
b.
Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas.
c.
Urutan fungsi dalam sebuah
dongeng selalu sama.
d.
Dari segi struktur semua
dongeng mewakili hanya satu tipe saja.
Dan fungsi dalam teori Propp diberi definisi kurang
lebih sebagai berikut: “Fungsi adalah tindak seorang tokoh yang dibatasi dari
segi maknanya untuk jalan lakonnya.” Harus ditambahakan pula bahwa analisis dan
tipologi struktural bagi Propp bukan tujuan utama dan terakhir. Dalam bukunya
mengenai morfologi sudah jelas bahwa dia sebenarnya ingin memanfaatkan hasil
tipologi struktural untuk penelitian hasil historik pula. Propp ingin
menggabungkan metode struktural dengan penelitian genetik, penelusuran asal
usul dan penyebaran kemudian.
Tetapi jelas pula bahwa berangsur-angsur makin lama
makin banyak kritik terhadap studi Propp. Kritik utama terhadap Propp
menyangkut pilihan dan analisis fungsi, sebab ternyata bahwa sering Propp
secara cukup sembarangan menganggap unsur
cerita tertentu sebagai fungsi atau tidak, tergantung cocok tidaknya
dalam struktur dan urutan fungsi yang menurut Propp harus ada. Propp
mendefinisikan fungsi atas dasar makna tindak seorang tokoh dalam cerita.
Demikianlah konsep fungsi menjadi ruwet, tidak dapat dibuktikan benar tidaknya
dan seleksi oleh peneliti memang tidak terikat pada pembuktian ilmiah yang
dapat dicek lagi.
6. Penelitian Puisi Lisan
Ide baru yang dilancarkan Parry ialah bahwa Humeros untuk
penciptaan karyanya memanfaatkan persediaan formula yang menjadi modalnya yang
siap pakai sesuai dengan persyaratan matra yang dimanfaatkan untuk eposnya.
Hipotesis Parry memang ternyata masih dapat dibuktikan
berdasarkan hasil penelitian Parry dan Lord di Yugoslavia. Disana mereka meneliti
puluhan contoh epos rakyat seperti dinyanyikan oleh tukang cerita. Mereka
meneliti teknik penciptaan epos rakyat dan cara tradisi ini diturunkan dari
guru e murid dan mereka memberi perhatian pula pada resepsi karya sastra oleh
masyarakat yaitu audience yang menghadiri performance.
Beberapa kesimpulan penting yang dicapai oleh Parry dan Lord
sehubungan dengan epos Yugoslavia yaitu sebagai berikut:
a.
Epos rakyat Yugoslavia oleh
penyanyinya (namanya guslar) tidak
dihafalkan secara turun-temurun, tetapi setiap kali epos itu dibawakan teksnya
diciptakan kembali secara spontan dan dengan kecepatan yang sangat mengagumkan.
Dalam penciptaan itu teks disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan
pembawaannya dan waktu yang disediakan.
b.
Prestasi menciptakan karya
yang panjang itu lebih mengherankan lagi kalau kita perhatikan bahwa skema
matra yang harus dipakai cukup ketat. Setiap larik harus terdiri sepuluh suku
kata dengan penggalan (ceasura)
sesudah suku kata keempat yang harus bertepatan pula dengan pemisahan kata.
Lagi pula diharapkan dari seorang guslar
yang baik kekayaan aliterasi, asonansi, rima dan lain-lain yang sukar kita
bayangkan penciptaanya secara spontan seratus persen, tetapi disini justru
terbukti kebenaran hipotesis Parry tentang Homerus: sebab guslar Yugo pun memakai sejumlah formula stereotip yang siap pakai
dengan kemungkinan variasi menurut tuntutan tatabahasa.
c.
Variasi adalah ciri khas
puisi lisan, tidak ada wujud yang beku mantap. Sastra lisan adalah sastra yang
hidup, lincah, selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta
pembawa dan penikmatnya.
Kesimpulan Lord yang lebih lanjut
bahwa tidak hanya semua puisi lisan harus bersifat formulaik, tetapi bahwa
sebaliknya setiap puisi yang menunjukkan ciri formulaik harus diciptakan sebgai
puisi lisan banyak dibantah orang. Menyusullah diskusi yang sangat sengit
tentang bermacam-macam puisi, baik di dunia Barat maupun di Afrika dan Asia
yang berpokok pada masalah formulaik tidaknya dan lisan tidaknya puisi
tertentu.
7. Penelitian Modern tentang
Sastra Rakyat di Indonesia
Amin Sweeney selama masa yang cukup panjang mendalami sastra
oral orang Melayu di Malaysia Barat, khususnya di bagian Timur (Kelantan,
Trengganu). Dia tidak hanya sebagai peneliti memperoleh pengetahuan yang luas
sekali. Dia juga melatih diri menjadi seorang tukang cerita dan dalang gaya
Melayu dan rupa-rupanya sangat berhasil sehingga dia diterima oleh para
sastrawan Melayu tradisional di daerah pedesaan sebgai rekan.
Sweeney menegaskan bahwa tukang cerita Melayu sungguh seorang
profesional yang membawakan ceritanya dengan lagu yang biasanya milik dia
sendiri. Setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu, masing-masing untuk
cerita tertentu dan selalu ada interaksi antara lagu dengan pemakaian bahasa.
Dalam hal puisi Roti yang diteliti oleh Fox lain lagi caranya
dan strukturnya. Fox antara lain membicarakan jenis puisi yang disebut bini, puisi keagamaan tertentu. Ciri
khas puisi ini adalah pemakaian dyadic
sets, pasangan kata yang wajib dipakai dan yang menunjukkan suatu kesejajaran
semantik tertentu.
8. Beberapa Kesimpulan Umum
a.
Masalah struktur kesastraan
dapat kita telusuri dengan sangat baik berdasarkn sastra lisan.
b.
Variasi sebgai aspek hakiki
sastra rakyat.
c.
Proses penciptaan sastra
dan efek daya cipta seorang penggubah sastra rakyat dapat kita telusuri dari
dekat. Cara dia memanfaatkan persediaan sarana bahasa dan konvensi sastra serta
mempermainkan pemabatasannya dapat kita perhatikan in situ.
d.
Sastra lisan resepsi
masyarakat dan pengaruh timabal balik antara penciptaan dan sambutan dapat
diperhatikan dengan cukup intensif dan langsung, sebab sastra oral memang masih
berfungsi sebagai sarana komunikasi langsung, tidak ditunda dan
ditaklangsungkan oleh kemungkinan tulisan.
e.
Fungsi sastra dalam
masayarakat sering masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian
ilmiah.
9. Beberapa Kesimpulan
Khusus untuk Teori Sastra Indonesia
a.
Baik dari sejarah maupun
dari segi tipologi sastra tidaklah baik diadakan pemisahan antara sastra lisan
dan sastra tulis.
b.
Prinsip variasi sebagai
prinsip sastra lisan yang bukan tak ada relevansinya d untuk sastra tulis di
Indonesia.
c.
Dalam hubungan ini perlu ditambahkan pula kaitan
antara sastra lisan dan tulis dalam fungsi sastra sebagai performing art: sastra tulis pun berfungsi dalam situasi sosial yang
disebut ramai ataupun guyub. karya
sastra yang tertulis pun secara normal dibacakan bersama dengan segala
konsekuensi untuk teknik, struktur dan fungsinya.
Pentingnya
interaksi antara berbagai ragam ekspresi untuk tipologi dan sejarah sastra
dengan sangat jelas dan baik dipaparkan oleh Amin Sweeney dalam karangannya
yang sangat kaya mengenai sastra lisan Melayu, di mana dibedakannya ragam
ekspresi, yaitu:
-
Lisan, tidak bergaya
formal, amateur.
-
Tulis, bergaya profesional,
(dahulu) profesional.
-
Lisan, bergaya formal,
profesional.
Tipe-tipe sastra naratif yang
disajikan dalam kategori ini tidak saling memustahilkan dan keragaman
penyesuaian yang luas.
d.
Penggabungan sastra tulis
dan sastra lisan dalam satu kerangka teori tidak hanya penting bagi sastra tradisional
atau lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar