Rabu, 14 Desember 2016

STUDI SASTRA LISAN DALAM RANGKA SEMIOTIK SASTRA



TUGAS TEORI SASTRA MERINGKAS
Tugas                    : Meringkas
Sem/Kelas          : 1/a
Prodi                     : Pend. Bahasa dan Sastra Idonesia
Kelompok 9:
1.       Herti Gustina
2.       Ahillah
3.       Mery Asparina
4.       Masri Simbolon
5.       Nova Ardiansyah
6.       Dani Somdani


 
STUDI SASTRA LISAN DALAM RANGKA SEMIOTIK SASTRA
1.       Gayutan Sastra Lisan dalam Kerangka Teori Sastra Umum
Ada sejumlah alasan mengapa sastra lisan dianggap penting untuk meminta perhatian yang khusus, di antaranya:
a.       Dalam situasi komunikasi sastra ada perbedaan yang cukup menonjol antara sastra lisan dengan sastra tulis, dimana sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dan penikmat.
b.      Penelitian sastra lisan biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda dengan ilmu sastra umum.
c.       Di seluruh Indonesia sastra lisan dari dahulu sampai sekarang diciptakan dan dihayati oleh masyarakat sebagai satu-satunya bentuk sastra.
d.      Interaksi yang terus-menerus di wilayah Indonesia menjadikan pemahaman tentang ciri-ciri khas dan konvensi umum sastra lisan sesuatu yang mutlak perlu untuk teori sastra umum.
2.       Minat untuk Sastra Lisan di Eropa
Minat untuk sastra lisan atau sastra rakyat di Eropa Barat mulai timbul dalam abad ke-18, dalam rangka perkembangan kebudayaan yang lebih luas, yang sering disebut Romantik. Dalam abad ini muncul reaksi terhadap klasisme yang menyanjung-nyanjung zaman klasik sebagai puncak kebudayaan manusia, yang hanya tinggal diteladani dan ditiru. Juga berkat perkenalan dengan dunia lain, manusia yang disebut primitif ditemukan oleh manusia Eropa Barat. Orang yang disebut primitif dimuliakan karena nyanyian-nyanyian dan dalam pemakaian bahasa spontan , belum dijinakkan oleh rasio yang mengekang keaslian dan kemurnian emosi manusia. Tidak kebetulanlah di masa itu pada satu pihak para pecinta sastra mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif. Dan dipiahak lain penyair Barat sendiri mulai menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang primitif itu.
Dalam hubungan ini perlu disebut nama filsuf Jerman  yang mencoba meletakkan dasar ilmiah  untuk pendekatan baru terhadap sastra, Johann Gottfried Herder (1744-1803) dengan tulisan mengenai asal-usul bahasa dan tulisan mengenai Gagasan mengenai Filsafat  Sejarah Umat Manusia. Bagi Herder asal-usul bahasa dan puisi identik: manusia primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya itu. Bahasa pada awal mulanya hanya puisi alamiah saja, dan demikianlah puisi adalah cara berbahasa yang asli.  Herder juag mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa, mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pra-tulis.
Berdasarkan gagasan-gagasan seperti yang dipaparkan oleh Herder, tidak lama kemudian di Jerman muncul Jakob dan Wilhelm Grimm, dua kakak-beradik yang dalam awal abad ke-19 mulai menerbitkan dongeng-dongeng rakyat Jerman yang mereka kumpulkan dari mulut rakyat yang berjudul Kinder-und Hausmarchen (1812) dan dengan buku ini mereka melopori cabang ilmu yang adakalanya disebut ilmu sastraoral atau rakyat, adakalanya pula ilmu folklor, sebab penelitian semacam ini biasanya tidak terbatas pada cerita saja, tetapi juga  segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rakyat pedesaaan. Kemudian dikembangkan lagi ilmu bandingan sastra khusus untuk sastra rakyat. Demikianlah berangsur-angsur berkembang ilmu bandingan sastra tersebut.
3.       Minat untuk Sastra Lisan di Indonesia
Pengumpulan cerita rakyat telah mulai cukup awal di Indonesia, khusunya berkat kegiatan penerjemah Kitab Injil yang sejak awal abad ke-19 mulai diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda, dengan tugas utama untuk menerjemah Kitab Injil dalam berbagai bahasa Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan bagi tugas utama, untuk secara ilmiah meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa tempat bekerja.
Beberapa tokoh peneliti sastra rakyat yang patut dihormati sebgai peletak dasar studi sastra rakyat di Indonesia yaitu: Herman Neubronner van der Tuuk, N. Andriani, dan P.Middelkoop. Kebanyakan dari mereka besar jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan. Akan tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat. Mereka lebih tertarik dari segi ilmu atau deskripsi bahasa.
4.       Perkembangan Penelitian Sastra Rakyat
Di Eropa dalam abad yang lalu dan khususnya pada abad ini telah mulai berkembang pula minat yang lebih bersifat kesastraan untuk sastra rakyat. Pada awalnya minat ini sesuai dengan perkembangan ilmu kemanusiaan umumnya, ilmu bahasa dan sastra khususnya yang berorientasi sejarah dan bandingan. Studi bandingan itu berusaha tidak hanya untuk memperlihatkan hubungan antara berbagai contoh sastra rakyat, tetapi juga untuk meneliti pola penyebarannya, tempat asalnya, dan bentuk aslinya, jadi sungguh-sungguh historik-komparatif.
Penelitian ini tidak terbatas pada sastra rakyat bangsa-bangsa Indo-Eropa. Metode dan teori historik dan komparatif secara sistematik mulai dikembangkan di Helinski, oleh orang Finlandia yang mulai berminat khusus sehubungan dengan studi epos nasional Finlandia yang berjudul Kalevala yang sebenarnya merupakan ciptaan abad ke-19 berdasarkan berbagai macam cerita epik rakyat yang tua. Masalah utama yang dihadapi peneliti ialah masalah kalasifikasi dan organisasi bahan-bahannya. Untuk penggolongan cerita rakyat mazhab Finlandia memakai konsep dasar type dan motif, dimana cerita digolongkan menurut tipenya, sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam tradisi.
5.       Penelitian Propp mengenai Dongeng Rusia
Dengan munculnya pendekatan aliran strukturalis dalam ilmu bahasa dan sastra pendekatan mazhab historik-geografik tidak lupa luput dari kritik. Kritik yang keras datang dari seorang peneliti Rusia bernama Vladimir Propp, dengan sebuah studi yang berjudul The Morphology of the Folk Tale. Propp bukanlah seorang formalis, namun Propp dengan keras membantah kualifikasi Levi-Strauss seakan-akan dia seorang formalis.
Kritik Propp terhadap mazhab Finlandia terutama menyangkut sifat atomistik analisis tema dan motif. Berdasarkan analisis seratus dongeng yang disebut fairy tales, Propp menunjukkan hasil yang mengejutkan, yaitu:
a.       Anasir yang mantap dan tak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya melainkan fungsi, lepas dari sipa tokoh yang memenuhi fungsi tersebut.
b.      Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas.
c.       Urutan fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama.
d.      Dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe saja.
Dan fungsi dalam teori Propp diberi definisi kurang lebih sebagai berikut: “Fungsi adalah tindak seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya.” Harus ditambahakan pula bahwa analisis dan tipologi struktural bagi Propp bukan tujuan utama dan terakhir. Dalam bukunya mengenai morfologi sudah jelas bahwa dia sebenarnya ingin memanfaatkan hasil tipologi struktural untuk penelitian hasil historik pula. Propp ingin menggabungkan metode struktural dengan penelitian genetik, penelusuran asal usul dan penyebaran kemudian.
Tetapi jelas pula bahwa berangsur-angsur makin lama makin banyak kritik terhadap studi Propp. Kritik utama terhadap Propp menyangkut pilihan dan analisis fungsi, sebab ternyata bahwa sering Propp secara cukup sembarangan menganggap unsur  cerita tertentu sebagai fungsi atau tidak, tergantung cocok tidaknya dalam struktur dan urutan fungsi yang menurut Propp harus ada. Propp mendefinisikan fungsi atas dasar makna tindak seorang tokoh dalam cerita. Demikianlah konsep fungsi menjadi ruwet, tidak dapat dibuktikan benar tidaknya dan seleksi oleh peneliti memang tidak terikat pada pembuktian ilmiah yang dapat dicek lagi.
6.       Penelitian Puisi Lisan
Ide baru yang dilancarkan Parry ialah bahwa Humeros untuk penciptaan karyanya memanfaatkan persediaan formula yang menjadi modalnya yang siap pakai sesuai dengan persyaratan matra yang dimanfaatkan untuk eposnya.
Hipotesis Parry memang ternyata masih dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian Parry dan Lord di Yugoslavia. Disana mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti dinyanyikan oleh tukang cerita. Mereka meneliti teknik penciptaan epos rakyat dan cara tradisi ini diturunkan dari guru e murid dan mereka memberi perhatian pula pada resepsi karya sastra oleh masyarakat yaitu audience yang menghadiri performance.
Beberapa kesimpulan penting yang dicapai oleh Parry dan Lord sehubungan dengan epos Yugoslavia yaitu sebagai berikut:
a.       Epos rakyat Yugoslavia oleh penyanyinya (namanya guslar) tidak dihafalkan secara turun-temurun, tetapi setiap kali epos itu dibawakan teksnya diciptakan kembali secara spontan dan dengan kecepatan yang sangat mengagumkan. Dalam penciptaan itu teks disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan pembawaannya dan waktu yang disediakan.
b.      Prestasi menciptakan karya yang panjang itu lebih mengherankan lagi kalau kita perhatikan bahwa skema matra yang harus dipakai cukup ketat. Setiap larik harus terdiri sepuluh suku kata dengan penggalan (ceasura) sesudah suku kata keempat yang harus bertepatan pula dengan pemisahan kata. Lagi pula diharapkan dari seorang guslar yang baik kekayaan aliterasi, asonansi, rima dan lain-lain yang sukar kita bayangkan penciptaanya secara spontan seratus persen, tetapi disini justru terbukti kebenaran hipotesis Parry tentang Homerus: sebab guslar Yugo pun memakai sejumlah formula stereotip yang siap pakai dengan kemungkinan variasi menurut tuntutan tatabahasa.
c.       Variasi adalah ciri khas puisi lisan, tidak ada wujud yang beku mantap. Sastra lisan adalah sastra yang hidup, lincah, selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa dan penikmatnya.
Kesimpulan Lord yang lebih lanjut bahwa tidak hanya semua puisi lisan harus bersifat formulaik, tetapi bahwa sebaliknya setiap puisi yang menunjukkan ciri formulaik harus diciptakan sebgai puisi lisan banyak dibantah orang. Menyusullah diskusi yang sangat sengit tentang bermacam-macam puisi, baik di dunia Barat maupun di Afrika dan Asia yang berpokok pada masalah formulaik tidaknya dan lisan tidaknya puisi tertentu.
7.       Penelitian Modern tentang Sastra Rakyat di Indonesia
Amin Sweeney selama masa yang cukup panjang mendalami sastra oral orang Melayu di Malaysia Barat, khususnya di bagian Timur (Kelantan, Trengganu). Dia tidak hanya sebagai peneliti memperoleh pengetahuan yang luas sekali. Dia juga melatih diri menjadi seorang tukang cerita dan dalang gaya Melayu dan rupa-rupanya sangat berhasil sehingga dia diterima oleh para sastrawan Melayu tradisional di daerah pedesaan sebgai rekan.
Sweeney menegaskan bahwa tukang cerita Melayu sungguh seorang profesional yang membawakan ceritanya dengan lagu yang biasanya milik dia sendiri. Setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu, masing-masing untuk cerita tertentu dan selalu ada interaksi antara lagu dengan pemakaian bahasa.
Dalam hal puisi Roti yang diteliti oleh Fox lain lagi caranya dan strukturnya. Fox antara lain membicarakan jenis puisi yang disebut bini, puisi keagamaan tertentu. Ciri khas puisi ini adalah pemakaian dyadic sets, pasangan kata yang wajib dipakai dan yang menunjukkan suatu kesejajaran semantik tertentu.
8.       Beberapa Kesimpulan Umum
a.       Masalah struktur kesastraan dapat kita telusuri dengan sangat baik berdasarkn sastra lisan.
b.      Variasi sebgai aspek hakiki sastra rakyat.
c.       Proses penciptaan sastra dan efek daya cipta seorang penggubah sastra rakyat dapat kita telusuri dari dekat. Cara dia memanfaatkan persediaan sarana bahasa dan konvensi sastra serta mempermainkan pemabatasannya dapat kita perhatikan in situ.
d.      Sastra lisan resepsi masyarakat dan pengaruh timabal balik antara penciptaan dan sambutan dapat diperhatikan dengan cukup intensif dan langsung, sebab sastra oral memang masih berfungsi sebagai sarana komunikasi langsung, tidak ditunda dan ditaklangsungkan oleh kemungkinan tulisan.
e.      Fungsi sastra dalam masayarakat sering masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah.
9.       Beberapa Kesimpulan Khusus untuk Teori Sastra Indonesia
a.       Baik dari sejarah maupun dari segi tipologi sastra tidaklah baik diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis.
b.      Prinsip variasi sebagai prinsip sastra lisan yang bukan tak ada relevansinya d untuk sastra tulis di Indonesia.
c.       Dalam  hubungan ini perlu ditambahkan pula kaitan antara sastra lisan dan tulis dalam fungsi sastra sebagai performing art: sastra tulis pun berfungsi dalam situasi sosial yang disebut ramai ataupun guyub. karya sastra yang tertulis pun secara normal dibacakan bersama dengan segala konsekuensi untuk teknik, struktur dan fungsinya.
Pentingnya interaksi antara berbagai ragam ekspresi untuk tipologi dan sejarah sastra dengan sangat jelas dan baik dipaparkan oleh Amin Sweeney dalam karangannya yang sangat kaya mengenai sastra lisan Melayu, di mana dibedakannya ragam ekspresi, yaitu:
-          Lisan, tidak bergaya formal, amateur.
-          Tulis, bergaya profesional, (dahulu) profesional.
-          Lisan, bergaya formal, profesional.
Tipe-tipe sastra naratif yang disajikan dalam kategori ini tidak saling memustahilkan dan keragaman penyesuaian yang luas.
d.      Penggabungan sastra tulis dan sastra lisan dalam satu kerangka teori tidak hanya penting bagi sastra tradisional atau lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar