Sabtu, 17 Desember 2016

PRAGMATIK



RESUME
BAB I PENDAHULUAN

Mata Kuliah                : Pragmatik
Dosen pengampu        : Prof. Dr. Mujiono Wiryotinoyo, M. Pd

Disusun oleh:
Kelompok 6
1.      Teja Pratama               A1B112003
2.      Herti Gustina              A1B112005

Description: C:\Users\COMPAQ\Documents\unja logo.jpg

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Pengantar Historis
Dewasa ini, pragmatik mulai dikenal dalam ilmu linguistik setelah sekian lama tidak dibahas. Hal ini karena sifat-sifat bahasa tidak dapat kita mengerti benar-benar apabila kita tidak memahami pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi.
Pada permulaan tahun 1960-an, Katz dan kawan-kawannya mulai menemukan cara memasukkan makna ke dalam teori linguistik yang formal dan tidak lama kemudian semangat California dan bust membuat pragmatik mulai tercakup. Lakoff dan lain-lain kemudian berpendapat bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itu pragmatik masuk ke dalam peta linguistik yang merupakan tahap akhir dalam gelombang-gelombang ekspansi lingistik dari sebuah disiplin sempit yang mengurusi data fisik bahasa menjadi suatu disiplin yang luas yang meliputi bentuk, makna dan konteks.
Jangkuan linguistik yang sangat luas menyebabkan berubahnya pandangan mengenai hakikat bahasa dan batasan linguistik. Para strukturalis sangat yakin bahwa linguistik merupakan suatu ilmu eksakta dan berusaha keras agar masalah makna dibuang dari bidang linguistik. Chomsky mulai menerima ketaksaan dan sinonim sebagai salah satu data linguistik yang dasariah dan membuka pintu bagi studi semantik. Murid-murid Chomsky dari aliran semantik generatif bertindak selangkah lebih jauh dan menggunakan semantik sebagai dasar teori-teori linguistiknya. Tetapi setelah semantik berhasil menduduki tempat yang sentral dalam bahasa, semakin tampak bahwa makna itu berbeda dari konteks satu dengan yang lainnya sehingga sulit untuk dipisahkan sehingga semantik masuk ke dalam ilmu pragmatik. Mereka kemudian mencoba menerapkan paradigma tata bahasa generatif pada problema-problema pragmatik, misalnya, masalah praanggapan (presupposition) dan daya ilokusi (illocuttionary force).
Istilah paradigma yang digunakan lebih merujuk pada paradigma Kuhn, yaitu bukan sebagai sinonim dari ‘teori’, tetapi sebagai suatu istilah umum yang merujuk pada seperangkat asumsi dasar mengenai hakikat dan batasan bidang studi, metode dan kriteria bahan dan buktinya; asumsi dasar ini juga menentukan bantuk teori. Misalnya, istilah paradigma tata bahasa generatif dalam praktiknya mengacu pada seperangkat teori yang mempunyai asumsi-asumsi tertentu bahwa bahasa adalah suatu fenomena mental, dapat diselidiki melalui spesifikasi kaedah-kaedah secara algoritmis sesuai dengan konvensi-konvensi tertentu,data untuk teori-teori tersebut dapat diperoleh lewat intuisi, bahasa terdiri dari sejumlah perangkat kalimat,dan sebagainya.
Kelompok semantik generatif menentukan batasan paradigma dalam semantik dan pragmatik dalam arti yang luas, sedangkan Chomsky dan para linguis yang sependapat membuat batasan yang lebih sempit mengenai jangkauan paradigma ini yaitu dikenal sebagai Extended Standard Theory yang kemudian lebih menyempit lagi menjadi Revised Extended Theory. Versi tata bahasa generatif tetap mempertahankan sintaksis sebagai titik pusat, sedangkan semantik diberi posisi yang periferal saja.  Pragmatik sama sekali tidak masuk model ini karena Chomsky memang bertahan pada pendapatnya bahwa tata bahasa sebagai suatu “organ mental” atau “kemampuan mental” harus berdiri terpisah dari suatu teori penggunaan dan fungsi bahasa.
Definisi yang lebih sempit mengenai jangkuan teori linguistik yang dikemukakan oleh Chomsky disebut teori “kompetensi” dan bukan teori “performansi”. Keuntungan definisi ini ialah teori tersebut mampu mempertahankan integritas linguistik dan menjauhkannya dari pengaruh dan kontinuitas penggunaan bahasa dan konteks bahasa.
Salah satu akibat dari definisi tata bahasa generatif yang terbatas pada formalisme ketat seperti yang dirumuskan oleh Chomsky ialah bahwa sejak kira-kira tahun 1970 tata bahasa generatif semakin kehilangan kedudukannya sebagai paradigma linguistik yang paling terkemuka. Sosiolinguistik telah menolak abstraksi Chomsky mengenai ‘penutur/petutur asli yang ideal’. Psikolinguistik dan intelegensi artifisial yaitu menjelaskan kemampuan berbahasa pada manusia dengan menekankan pada model “proses” menolak pemikiran Chomsky yang memisahkan teori linguistik dari proses psikologis. Linguistik teks dan analisis  wacana tidak dapat menerima sebuah teori linguistik yang membatasi diri pada tata bahasa kalimat. Demikian pula analisis percakapan menekankan bahwa dalam studi bahasa dimensi sosial merupakan dimensi yang paling utama.
Secara kumulatif ancangan-ancangan ini dan ancangan-ancangan lainnya telah mengakibatkan suatu pergeseran arah yang luar biasa terhadap linguistik, yaitu dari ‘kompetensi’ ke arah ‘performansi’. Banyak yang menganggap bahwa pergeseran ini adalh sesuatu yang positif, akantetapi dengan adanya pluralisme yang timbul dari pergeseran ini tampak bahwa belum terwujud suatu paradigma yang komprehensif sebagai pengganti tata bahasa generatif. Pada intinya tata bahasa (sistem bahasa yang abstrak-formal) dan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) merupakan ranah-ranah yang saling melengkapi dalam linguistik. Kita tidak dapat memahami hakikat suatu bahasa apabila kita tidak mengetahui dan berinteraksi dengan ranah-ranah ini
Ada sejumlah postulat utama paradigma “formal-fungsional”. Postulat-postulat tersebut ialah:
P1  : Representasi semantik (atau bentuk logikal) suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatinya.
P2  : Semantik diatur oleh kaedah (gramatikal), pragmatik umum dikendalikan oleh prinsip (retoris).
P3  : Kaedah-kaedah tata bahasa pada dasarnya bersifat konfensional: Prinsip-prinsip pragmatik umum pada dasarnya bersifat non konfensionl, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.
P4  : Pragmatik umum mengaitkan makna (atau arti gramatikal) suatu tuturan dengan daya pragmatik (atau daya ilokusi) tuturan tersebut.
P5  : Padanan-padanan gramatikal ditunjukkan dengan kaedah-kaedah pemetaan; padanan-padanan pragmatik ditunjukkan dengan masalah-masalah dan pemecahan-pemecahnnya.
P6  : Corak utama penjelasan gramatikal bersifat formal, corak utama penjelasan pragmatik bersifat fungsional.
P7  : Tata bahasa bersifat idesional, pragmatik bersifat interpersonal dan tekstual.
P8  : Pada umumnya, tata bahasa dapat diperikan berdasarkan kategori-kategori diskret dan pasti. Pragmatik dapat diperikan berdasarkan nilai-nilai sinambung (kontinius) dan tidak pasti (indeterminate).
Efek-efek postulat ini adalah dua ranah dan dua paradigma yang terpisah dan telah diberi batasan sehingga membentuk suatu paradigma linguistik yang ‘kompleks’.

1.2  Semantik dan Pragmatik
Dalam kenyataannya, masalah perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dengan ‘penggunaan bahasa’ (parole) berpusat pada perselisihan antara semantik dengan pragmatik mengenai garis batas bidang-bidang ini. Kedua bidang ini berurusan dengan makna, tetapi perbedaan di antara mereka terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean (berarti).
Lazimnya semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic). Dengan demikian dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai sebagai ciri-ciri ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya. Namun untuk tujuan linguistik, pragmatik diartikan sebagai studi tentang makna dalam hubungan dengan situasi-situasi ujar (speech situation).
Pandangan bahwa semantik dan pragmatik berbeda tetapi saling melengkapi (komplementer) dan saling berhubungan, mudah untuk dipahami secara subjektif, tetapi agak sulit untuk dibenarkan secara objektif. Dalam hal ini cara pembenaran yang terbaik ialah cara yang negatif, yaitu dengan menunjukkan kegagalan-kegagalan atau kelemahan pandangan lain. Hal ini karena yang biasanya ada ialah contoh-contoh yang lebih banyak mengandung penjelasan semantik daripada suatu penjelasan pragmatik, atau sebaliknya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahawa istilah semantisi mengacu pada yang lebih banyak memasukkan studi makna ke dalam posisi semantisisme, dan pragmatisis ialah yang lebih banyak memasukkan studi makna dalam posisi pragmatisme.
Pada awal tahun 1970-ansemantik generatif berusaha untuk memaqsukkan pragmatik ke dalam semantik. Hal ini tampak pada hipotesis performatif yang menyatakan bahwa sebuah kalimat dalam representasi struktur batin atau representasi semantiknya merupakan kalimat performatif. Dengan demikian daya ilokusi atau daya pragmatik suatu tuturan terkurung di dalam struktur semantiknya.
Argumen-argumen yang digunakan untuk menunjang posisi pandangan komplementarisme ialah sebagai berikut: setiap penjelasan mengenai makna bahasa (a) harus sesuai dengan fakta-fakta yang diamati dan (b) harus sesederhana mungkin dan harus dapat dirampat (generalizable).  Syarat-syarat tersebut tidak akan terpenuhi apabila kita hanya mendekati makna dari sudut pandang pragmatik saja atau hanya dari sudut semantik saja. Namun apabila kita mendekati makna dari sudut pandang semantik dan pragmatik, maka akan didapat suatu penjelasan yang sesuai dengan kriteria.
H.P Grice mengemukakan prinsip-prinsip percakapan seperti yang digambarkan dalam prinsip kerja sama. Dalam banyak hal jenis kendala perilaku bahasa seperti yang digambarkan oleh PK Grice berbeda dengan jenis kaedah yang biasa dirumuskan dalam linguistik. Menurut Grice maksim hanyalah suatu manifestasi khusus dari prinsip. Kendala-kendala yang dimaksudkan tersebut ialah:
a)      Prinsip/maksim berlaku secara berbeda dalam konteks-konteks penggunaan bahasa yang berbeda.
b)      Prinsip/maksim berlaku dalam tingkatan yang berbeda: tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak atau yang tidak berlaku samasekali.
c)      Prinsip/maksim dapat berlawanan satu dengan yang lainnya.
d)     Prinsip/maksim dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang dikendalikannya.
Pada pernyataan di atas prinsip dan maksim percakapan lebih banyak bersifat mengatur atau regulatif dan tidak bersifat sebagai unsur atau konstitutif. Yang bersifat konstitutif ialah kaidah-kaidah tata bahasa karena dianggap sebagai bagian integral dari definisi bahasa tersebut. Di dalam definisi bahasa di atas terdapat satu unsur yang dihilangkan, yaitu moral dan etika yang terdapat dalam istilah-istilah prinsip dan maksim. Untuk tujuan-tujuan preskriptif, unsur moral tidak dapat dimasukkan ke dalam suatu penjelasan ilmiah tentang bahasa. Sebaliknya, untuk tujuan-tujuan deskriptif unsur moral harus dimasukkan. Dengan demikian maksim-maksim merupakan suatu bagian penting dalam deskripsi makna linguistik. Hal ini menurut Grice dapat dijelaskan melalui implikasi-implikasi pragmatik yang disebut Implikatur-implikatur percakapan (conversationally implicatures).

1.3  Pragmatik Umum
Pragmatik umum merupakan kajian yang cukup abstrak sehingga membutuhkan kajian-kajian pragmalinguistik yang terbatas pada bahasa tertentu dan kajian-kajian sosio-pragmatik yang terbatas pada sebuah kebudayaan tertentu. Suatu bidang yang dibahas adalah tentang pragmatik referensial yaitu kajian mengenai pemberian referensi kepada ungkapan-ungkapan referensial dalam suatu ujaran tertentu, termasuk di dalamnya unsur-unsur indeks atau penunjuk, misalnya kata ganti persona dan aspek waktu dalam kata kerja.
Satu bidang kajian lain yang dapat dimasukkan ke dalam pragmatik ialah kajian mengenai parameter-parameter situasi yang relatif permanen dalam hal pemilihan bahasa, seperti yang dikaji oleh Halliday (1978) dan lain-lain dengan nama Register, dan yang dikaji oleh Crystal dan Davy (1969) dengan nama style. Perbedaan antara pragmatik dengan register sejajar dengan perbedaan antara ciri-ciri Dinamis (Dynamics) dan statis (Standing) seperti yang dikemukakan oleh Argyle dan Dean (1965) dalam bidang komunikasi nonverbal. Artinya, ada ciri-ciri yang selama wacana berlangsung cenderung mengalami perubahan dan modifikasi terus-menerus (seperti daya ilokusi dalam pengertian Austin, 1962: 100); tetapi terdapat juga ciri-ciri yang cenderung stabil untuk waktu yang cukup lama, misalnya, tingkat keformalan gaya bahasa. Namun sulit untuk memisahkan kedua jenis kondisi ini. Sopan santun, misalnya sering sekali merupakan fungsi dari kedua-duanya: untuk menghasilkan suatu tingkat kesopanan yang sesuai dengan situasi, ciri-ciri stabil, seperti, jarak sosial antara pemeran serta interaksi dengan ciri-ciri dinamis, misalnya jenis ilokusi antara penutur dan petutur (permohonan, perintah, nasihat, dan sebagainya).
Semantik dan pragmatik umum dapat dibedakan dengan menggunakan model sistem bahasa (tata bahasa) tiga bagian yang sudah lazim dan mantap, yang terdiri dari semantik, sintaksis, dan fonologi. Tataran-tataran ini dapat dianggap sebagai tiga sistem pengkodean yang berurutan yang mengubah makna (sense) menjadi bunyi bila mnyampaikan suatu pesan (produksi), dan yang mengubah bunyi menjadi makna bila memahami suatu pesan (interpretasi). Tata bahasa berinteraksi dengan pragmatik melalui semantik merupakan titik tolak yang berguna, pendapat ini tidak seluruhnya benar, aspek-aspek fonologi yang berhubungan dengan pragmatik, misalnya menaikkan nada kalimat untuk menunjukkan sopan santun berinteraksi langsung dengan pragmatik, tanpa melaui sintaksis dan semantik.

1.4  Aspek-aspek situasi ujar
Untuk membedakan sebuah fenomena pragmatis atau sebuah fenomena semantis, acuan pada salah satu aspek situasi ujar berikut ini dapat di pakai sebagai kriteria, mengingat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.
(i)        Yang menyapa (penyapa) atau yang di sapa (pesapa) sesuai dengan kebiasaan Searle dan yang lainnya serta untuk mudahnya dapat dinyatakan orang yang menyapa dengan n  (‘penutur’) dan orang yang disapa dengan t  (‘petutur’). Simbol-simbol ini merupakan singkatan untuk ‘penutur/penulis’ dan ‘petutur/pembaca’. Jadi penggunaan n dan t tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja istilah-istilah ‘penerima’ (orang yang menerima dan menafsirkan pesan) dan ‘yang di sapa’ (orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran pesan) juga perlu di bedakan. Si penerima bisa saja seorang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, dan bukan orang yang di sapa. Perbedaan ini gayut dengan penelitian di sini, yaitu seorang yang menganalisis makna pragmatik dapat disamakan dengan seorang ‘penerima’ ibarat ‘seekor lalat di dinding’: ia berusaha mengartikan isi wacana hanya berdasarkan bukti kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran pesan si penutur. Sebaiknya, ‘yang disapa’ atau ‘si penutur’ selalu menjadi sasaran tuturan dari n dan selalu ditandai oleh simbol t.
(ii)      Konteks sebuah tuturan
Konteks telah diberi berbagai arti: antara lain di artikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n dan t dan yang membantu t menafsirkan makna tuturan.
(iii)    Tujuan sebuah tuturan
Akan lebih berguna sekali jika untuk memakai istilah tujuan atau fungsi daripada makna yang dimaksud atau maksud n mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan. Untuk kegiatan terakhir ini penggunaan istiah maksud dapat menyesatkan.
(iv)    Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar
Tata bahasa berurusan dengan maujud-maujud statis yang abstrak, seperti kalimat (dalam sintaksis), dan proposisi (semantik), sedangkan pragmatik berurusan dengan tindak-tindak yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa.
(v)      Tuturan sebagai produk tindak verbal
Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam pragmatik kata ‘tuturan’ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu sebagai produk suatu tindak verbal. Perhatikan misalnya, kata-kata woud you please be qiute yang diucapkan dengan intonasi naik yang sopan. Rangkaian kata-kata tersebut dapat disebut dengan istilah kalimat atau pertanyaan atau permintaan ataupun tuturan. Namun istilah-istilah seperti kalimat, pertanyaan, permohonan dipakai untuk mengacu pada maujud-maujud gramatikal sistem bahasa, sedangkan tuturan sebaiknya mengacu saja pada contoh-contoh maujud-maujud gramatikal  yang digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Jadi, sebuah tuturan dapat merupakan suatu contoh kalimat (sentence-instance) atau  tanda kalimat (sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Dengan demikian pragmatik dapat digambarkan sebagai suatu ilmu yang mengkaji makna tuturan, sedangkan semantik mengkaji makna kalimat.
Tindak ilokusi atau ilokusi dapat digunakan untuk mengacu pada tindakan-tuturan seperti yang dinyatakan dalam (iv) dan memakai istilah tuturan untuk mengacu pada produk linguistik tindakan tersebut. Dengan demikian, dalam komunikasi yang berorientasi tujuan, meneliti makna sebuah tuturan merupakan usaha untuk merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia memproduksi tuturannya. Dalam pengertian ini, makna sebuah tuturan dapat disebut Daya Ilokusi tuturan tersebut. Austin membedakan tindak ilokusi dengan jenis-jenis tindak lainnya, khususnya dengan tindak-tindak ilokusi dan perlokusi. Tetapi dalam kajian pragmatik jenis-jenis tindak lainnya sebagian besar dapat diabaikan.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, yakni (i) yang menyapa dan yang di sapa, (ii) konteks, (iii) tujuan, (iv) tindak ilokusi, dan (v) tuturan, dapat disusun konsep Situasi Ujar yang mencakup unsur ini, dan mungkin juga unsur-unsur lain, seperti waktu dan tempat tuturan yag dihasilkan. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara pragmatik dengan semantik, yaitu bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.

1.5  Retorik
Ancangan pragmatik diberi ciri retoris. Penggunaan istiah ‘retoris’ ini sangat tradisional dan mengacu pada kajian mengenai pemakaian bahasa secara efektif di dalam komunikasi. Dalam tradisi-tradisi historis tertentu, retorik diartikan sebagai seni keterampilan menggunakan bahasa untuk tujuan-tujuan persuasi, sastra, berpidato. Retorik dapat dilihat sebagai penggunaan bahasa secara efektif dalam arti yang sangat umum; dalam pengertian ini penggunaan bahasa pertama-tama diterapkan pada percakapan sehari-hari, baru kemudian pada penggunaan-penggunaan yang lebih dan terencana. Jadi, dalam konteks ini, istiah retorik memusatkan diri pada situasi ujar yang berorientasi tujuan, dan di dalam situasi tersebut n memakai bahasa dengan tujuan menghasilkan suatu efek tertentu pada pikiran (mind) t.
Retorik dapat juga diistilahkan sebagai kata benda yang dapat dihitung, yaitu seperangkat prinsip percakapan yang saling dihubungkan oleh fungsi-fungsinya. Retorik dapat dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan pembedaan yang di buat oleh Halliday, yaitu retorik interpersonal dan retorik tekstual. Masing-masing retorik tersebut terdiri dari seperangkat prinsip, seperti PK dan PS. Prinsip-prinsip tersebut juga terdiri dari seperangkat maksim (terminologi Grice). Namun, ‘maksim-maksim’ Grice dapat disebut ‘submaksim’, dan dengan demikian hierarki maksim bertambah dengan satu tingkatan. Tetapi hierarki empat tingkat ini tidak selalu dipertahankan dengan kaku, karena tingkatan sebuah maksim/submaksim tidak selalu dapat dikategorikan dengan jelas. Maksim Kualitas (Grice) yang kedua misalnya, merupakan suatu perluasan yang wajar dari maksim yang pertama:
Maksim 1    : Jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini bahwa itu tidak benar.
Maksim 2    : Jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Prinsip-prinsip retorik menempatkan berbagai kendala sosial pada tingkah laku komunikatif, tetapi prinsip ini tidaklah sebagai motivasi utama bagi penutur bercakap kecuali dalam tuturan-tuturan yang ‘sosial semata-mata’ seperti dalam dalam tuturan tegur-sapa dan ucapan terima kasih. Kerja sama dan sopan santun misalnya, bukan motivasi utama bagi penutur untuk bercakap melainkan merupakan faktor-faktor kendala, faktor-faktor pengatur (regulative) yang menjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar tidak macet, dan tidak sia-sia. Karena itu perlu dibedakan antara tujuan-tujuan ilokusi dengan tujuan-tujuan sosial. Demikian juga perlu dibedakan antara daya ilokusi dan daya retorik sebuah tuturan. Daya retorik adalah makna sebuah tuturan dilihat dari ketaatan n pada prinsip-prinsip retorik. Misalnya sejauh mana n mengatakan yang benar, berbicara dengan sopan, atau bernada ironis. Daya ilokusi dan daya retorik bersama-sama membentuk daya pragmatik.
Perbedaan antara makna (makna yang ditentukan secara semantis) dan daya (makna yang ditentukan secara semantis dan pragmatis) sangat esensial bagi kajian ini. Tetapi ikatan yang ada antara makna dan daya juga perlu disadari: daya mencakup makna dan secara pragmatis, daya sekaligus juga dapat diturunkan dari makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar