RESUME
BAB I PENDAHULUAN
Mata Kuliah : Pragmatik
Dosen
pengampu : Prof. Dr. Mujiono
Wiryotinoyo, M. Pd
Disusun
oleh:
Kelompok
6
1. Teja
Pratama A1B112003
2. Herti
Gustina A1B112005
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
Historis
Dewasa
ini, pragmatik mulai dikenal dalam ilmu linguistik setelah sekian lama tidak
dibahas. Hal ini karena sifat-sifat bahasa tidak dapat kita mengerti
benar-benar apabila kita tidak memahami pragmatik, yaitu bagaimana bahasa
digunakan dalam komunikasi.
Pada
permulaan tahun 1960-an, Katz dan kawan-kawannya mulai menemukan cara
memasukkan makna ke dalam teori linguistik yang formal dan tidak lama kemudian
semangat California dan bust membuat
pragmatik mulai tercakup. Lakoff dan lain-lain kemudian berpendapat bahwa
sintaksis tidak dapat dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itu
pragmatik masuk ke dalam peta linguistik yang merupakan tahap akhir dalam
gelombang-gelombang ekspansi lingistik dari sebuah disiplin sempit yang
mengurusi data fisik bahasa menjadi suatu disiplin yang luas yang meliputi
bentuk, makna dan konteks.
Jangkuan
linguistik yang sangat luas menyebabkan berubahnya pandangan mengenai hakikat
bahasa dan batasan linguistik. Para strukturalis sangat yakin bahwa linguistik
merupakan suatu ilmu eksakta dan berusaha keras agar masalah makna dibuang dari
bidang linguistik. Chomsky mulai menerima ketaksaan dan sinonim sebagai salah
satu data linguistik yang dasariah dan membuka pintu bagi studi semantik.
Murid-murid Chomsky dari aliran semantik generatif bertindak selangkah lebih
jauh dan menggunakan semantik sebagai dasar teori-teori linguistiknya. Tetapi
setelah semantik berhasil menduduki tempat yang sentral dalam bahasa, semakin
tampak bahwa makna itu berbeda dari konteks satu dengan yang lainnya sehingga
sulit untuk dipisahkan sehingga semantik masuk ke dalam ilmu pragmatik. Mereka
kemudian mencoba menerapkan paradigma tata bahasa generatif pada
problema-problema pragmatik, misalnya, masalah praanggapan (presupposition) dan daya ilokusi (illocuttionary force).
Istilah
paradigma yang digunakan lebih merujuk pada paradigma Kuhn, yaitu bukan sebagai
sinonim dari ‘teori’, tetapi sebagai suatu istilah umum yang merujuk pada
seperangkat asumsi dasar mengenai hakikat dan batasan bidang studi, metode dan
kriteria bahan dan buktinya; asumsi dasar ini juga menentukan bantuk teori.
Misalnya, istilah paradigma tata bahasa generatif dalam praktiknya mengacu pada
seperangkat teori yang mempunyai asumsi-asumsi tertentu bahwa bahasa adalah
suatu fenomena mental, dapat diselidiki melalui spesifikasi kaedah-kaedah
secara algoritmis sesuai dengan konvensi-konvensi tertentu,data untuk
teori-teori tersebut dapat diperoleh lewat intuisi, bahasa terdiri dari
sejumlah perangkat kalimat,dan sebagainya.
Kelompok
semantik generatif menentukan batasan paradigma dalam semantik dan pragmatik
dalam arti yang luas, sedangkan Chomsky dan para linguis yang sependapat
membuat batasan yang lebih sempit mengenai jangkauan paradigma ini yaitu
dikenal sebagai Extended Standard Theory
yang kemudian lebih menyempit lagi menjadi Revised
Extended Theory. Versi tata bahasa generatif tetap mempertahankan sintaksis
sebagai titik pusat, sedangkan semantik diberi posisi yang periferal saja. Pragmatik sama sekali tidak masuk model ini
karena Chomsky memang bertahan pada pendapatnya bahwa tata bahasa sebagai suatu
“organ mental” atau “kemampuan mental” harus berdiri terpisah dari suatu teori
penggunaan dan fungsi bahasa.
Definisi
yang lebih sempit mengenai jangkuan teori linguistik yang dikemukakan oleh Chomsky
disebut teori “kompetensi” dan bukan teori “performansi”. Keuntungan definisi ini
ialah teori tersebut mampu mempertahankan integritas linguistik dan
menjauhkannya dari pengaruh dan kontinuitas penggunaan bahasa dan konteks
bahasa.
Salah
satu akibat dari definisi tata bahasa generatif yang terbatas pada formalisme
ketat seperti yang dirumuskan oleh Chomsky ialah bahwa sejak kira-kira tahun
1970 tata bahasa generatif semakin kehilangan kedudukannya sebagai paradigma
linguistik yang paling terkemuka. Sosiolinguistik telah menolak abstraksi
Chomsky mengenai ‘penutur/petutur asli yang ideal’. Psikolinguistik dan
intelegensi artifisial yaitu menjelaskan kemampuan berbahasa pada manusia
dengan menekankan pada model “proses” menolak pemikiran Chomsky yang memisahkan
teori linguistik dari proses psikologis. Linguistik teks dan analisis wacana tidak dapat menerima sebuah teori
linguistik yang membatasi diri pada tata bahasa kalimat. Demikian pula analisis
percakapan menekankan bahwa dalam studi bahasa dimensi sosial merupakan dimensi
yang paling utama.
Secara
kumulatif ancangan-ancangan ini dan ancangan-ancangan lainnya telah
mengakibatkan suatu pergeseran arah yang luar biasa terhadap linguistik, yaitu
dari ‘kompetensi’ ke arah ‘performansi’. Banyak yang menganggap bahwa
pergeseran ini adalh sesuatu yang positif, akantetapi dengan adanya pluralisme
yang timbul dari pergeseran ini tampak bahwa belum terwujud suatu paradigma
yang komprehensif sebagai pengganti tata bahasa generatif. Pada intinya tata
bahasa (sistem bahasa yang abstrak-formal) dan pragmatik (prinsip-prinsip
penggunaan bahasa) merupakan ranah-ranah yang saling melengkapi dalam
linguistik. Kita tidak dapat memahami hakikat suatu bahasa apabila kita tidak
mengetahui dan berinteraksi dengan ranah-ranah ini
Ada
sejumlah postulat utama paradigma “formal-fungsional”. Postulat-postulat
tersebut ialah:
P1 : Representasi semantik (atau bentuk logikal)
suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatinya.
P2 : Semantik diatur oleh kaedah (gramatikal),
pragmatik umum dikendalikan oleh prinsip (retoris).
P3 : Kaedah-kaedah tata bahasa pada dasarnya
bersifat konfensional: Prinsip-prinsip pragmatik umum pada dasarnya bersifat
non konfensionl, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.
P4 : Pragmatik umum mengaitkan makna (atau arti
gramatikal) suatu tuturan dengan daya pragmatik (atau daya ilokusi) tuturan
tersebut.
P5 : Padanan-padanan gramatikal ditunjukkan
dengan kaedah-kaedah pemetaan; padanan-padanan pragmatik ditunjukkan dengan
masalah-masalah dan pemecahan-pemecahnnya.
P6 : Corak utama penjelasan gramatikal bersifat
formal, corak utama penjelasan pragmatik bersifat fungsional.
P7 : Tata bahasa bersifat idesional, pragmatik
bersifat interpersonal dan tekstual.
P8 : Pada umumnya, tata bahasa dapat diperikan
berdasarkan kategori-kategori diskret dan pasti. Pragmatik dapat diperikan
berdasarkan nilai-nilai sinambung (kontinius) dan tidak pasti (indeterminate).
Efek-efek
postulat ini adalah dua ranah dan dua paradigma yang terpisah dan telah diberi
batasan sehingga membentuk suatu paradigma linguistik yang ‘kompleks’.
1.2 Semantik dan
Pragmatik
Dalam
kenyataannya, masalah perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dengan ‘penggunaan bahasa’ (parole) berpusat pada perselisihan antara semantik dengan pragmatik
mengenai garis batas bidang-bidang ini. Kedua bidang ini berurusan dengan
makna, tetapi perbedaan di antara mereka terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean (berarti).
Lazimnya
semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), sedangkan pragmatik
memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic). Dengan demikian dalam
pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai
sebagai ciri-ciri ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi,
penutur dan petuturnya. Namun untuk tujuan linguistik, pragmatik diartikan
sebagai studi tentang makna dalam hubungan dengan situasi-situasi ujar (speech situation).
Pandangan
bahwa semantik dan pragmatik berbeda tetapi saling melengkapi (komplementer)
dan saling berhubungan, mudah untuk dipahami secara subjektif, tetapi agak
sulit untuk dibenarkan secara objektif. Dalam hal ini cara pembenaran yang
terbaik ialah cara yang negatif, yaitu dengan menunjukkan kegagalan-kegagalan
atau kelemahan pandangan lain. Hal ini karena yang biasanya ada ialah
contoh-contoh yang lebih banyak mengandung penjelasan semantik daripada suatu
penjelasan pragmatik, atau sebaliknya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahawa
istilah semantisi mengacu pada yang lebih banyak memasukkan studi makna ke
dalam posisi semantisisme, dan pragmatisis ialah yang lebih banyak memasukkan
studi makna dalam posisi pragmatisme.
Pada
awal tahun 1970-ansemantik generatif berusaha untuk memaqsukkan pragmatik ke
dalam semantik. Hal ini tampak pada hipotesis performatif yang menyatakan bahwa
sebuah kalimat dalam representasi struktur batin atau representasi semantiknya
merupakan kalimat performatif. Dengan demikian daya ilokusi atau daya pragmatik
suatu tuturan terkurung di dalam struktur semantiknya.
Argumen-argumen
yang digunakan untuk menunjang posisi pandangan komplementarisme ialah sebagai
berikut: setiap penjelasan mengenai makna bahasa (a) harus sesuai dengan
fakta-fakta yang diamati dan (b) harus sesederhana mungkin dan harus dapat
dirampat (generalizable). Syarat-syarat tersebut tidak akan terpenuhi
apabila kita hanya mendekati makna dari sudut pandang pragmatik saja atau hanya
dari sudut semantik saja. Namun apabila kita mendekati makna dari sudut pandang
semantik dan pragmatik, maka akan didapat suatu penjelasan yang sesuai dengan
kriteria.
H.P
Grice mengemukakan prinsip-prinsip percakapan seperti yang digambarkan dalam
prinsip kerja sama. Dalam banyak hal jenis kendala perilaku bahasa seperti yang
digambarkan oleh PK Grice berbeda dengan jenis kaedah yang biasa dirumuskan
dalam linguistik. Menurut Grice maksim hanyalah suatu manifestasi khusus dari
prinsip. Kendala-kendala yang dimaksudkan tersebut ialah:
a) Prinsip/maksim
berlaku secara berbeda dalam konteks-konteks penggunaan bahasa yang berbeda.
b) Prinsip/maksim
berlaku dalam tingkatan yang berbeda: tidak ada prinsip yang berlaku secara
mutlak atau yang tidak berlaku samasekali.
c) Prinsip/maksim
dapat berlawanan satu dengan yang lainnya.
d) Prinsip/maksim
dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang dikendalikannya.
Pada pernyataan di atas prinsip dan
maksim percakapan lebih banyak bersifat mengatur atau regulatif dan tidak
bersifat sebagai unsur atau konstitutif. Yang bersifat konstitutif ialah
kaidah-kaidah tata bahasa karena dianggap sebagai bagian integral dari definisi
bahasa tersebut. Di dalam definisi bahasa di atas terdapat satu unsur yang
dihilangkan, yaitu moral dan etika yang terdapat dalam istilah-istilah prinsip
dan maksim. Untuk tujuan-tujuan preskriptif, unsur moral tidak dapat dimasukkan
ke dalam suatu penjelasan ilmiah tentang bahasa. Sebaliknya, untuk
tujuan-tujuan deskriptif unsur moral harus dimasukkan. Dengan demikian
maksim-maksim merupakan suatu bagian penting dalam deskripsi makna linguistik.
Hal ini menurut Grice dapat dijelaskan melalui implikasi-implikasi pragmatik
yang disebut Implikatur-implikatur percakapan (conversationally implicatures).
1.3 Pragmatik Umum
Pragmatik
umum merupakan kajian yang cukup abstrak sehingga membutuhkan kajian-kajian
pragmalinguistik yang terbatas pada bahasa tertentu dan kajian-kajian sosio-pragmatik
yang terbatas pada sebuah kebudayaan tertentu. Suatu bidang yang dibahas adalah
tentang pragmatik referensial yaitu kajian mengenai pemberian referensi kepada
ungkapan-ungkapan referensial dalam suatu ujaran tertentu, termasuk di dalamnya
unsur-unsur indeks atau penunjuk, misalnya kata ganti persona dan aspek waktu
dalam kata kerja.
Satu
bidang kajian lain yang dapat dimasukkan ke dalam pragmatik ialah kajian
mengenai parameter-parameter situasi yang relatif permanen dalam hal pemilihan
bahasa, seperti yang dikaji oleh Halliday (1978) dan lain-lain dengan nama Register, dan yang dikaji oleh Crystal
dan Davy (1969) dengan nama style.
Perbedaan antara pragmatik dengan register sejajar dengan perbedaan antara
ciri-ciri Dinamis (Dynamics) dan
statis (Standing) seperti yang
dikemukakan oleh Argyle dan Dean (1965) dalam bidang komunikasi nonverbal.
Artinya, ada ciri-ciri yang selama wacana berlangsung cenderung mengalami
perubahan dan modifikasi terus-menerus (seperti daya ilokusi dalam pengertian
Austin, 1962: 100); tetapi terdapat juga ciri-ciri yang cenderung stabil untuk
waktu yang cukup lama, misalnya, tingkat keformalan gaya bahasa. Namun sulit
untuk memisahkan kedua jenis kondisi ini. Sopan santun, misalnya sering sekali
merupakan fungsi dari kedua-duanya: untuk menghasilkan suatu tingkat kesopanan
yang sesuai dengan situasi, ciri-ciri stabil, seperti, jarak sosial antara
pemeran serta interaksi dengan ciri-ciri dinamis, misalnya jenis ilokusi antara
penutur dan petutur (permohonan, perintah, nasihat, dan sebagainya).
Semantik
dan pragmatik umum dapat dibedakan dengan menggunakan model sistem bahasa (tata
bahasa) tiga bagian yang sudah lazim dan mantap, yang terdiri dari semantik,
sintaksis, dan fonologi. Tataran-tataran ini dapat dianggap sebagai tiga sistem
pengkodean yang berurutan yang mengubah makna (sense) menjadi bunyi bila mnyampaikan suatu pesan (produksi), dan
yang mengubah bunyi menjadi makna bila memahami suatu pesan (interpretasi).
Tata bahasa berinteraksi dengan pragmatik melalui semantik merupakan titik
tolak yang berguna, pendapat ini tidak seluruhnya benar, aspek-aspek fonologi
yang berhubungan dengan pragmatik, misalnya menaikkan nada kalimat untuk
menunjukkan sopan santun berinteraksi langsung dengan pragmatik, tanpa melaui
sintaksis dan semantik.
1.4 Aspek-aspek
situasi ujar
Untuk
membedakan sebuah fenomena pragmatis atau sebuah fenomena semantis, acuan pada
salah satu aspek situasi ujar berikut ini dapat di pakai sebagai kriteria,
mengingat bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.
(i)
Yang
menyapa (penyapa) atau yang di sapa (pesapa) sesuai dengan
kebiasaan Searle dan yang lainnya serta untuk mudahnya dapat dinyatakan orang
yang menyapa dengan n (‘penutur’) dan orang yang disapa dengan t
(‘petutur’). Simbol-simbol ini merupakan singkatan untuk
‘penutur/penulis’ dan ‘petutur/pembaca’. Jadi penggunaan n dan t tidak membatasi
pragmatik pada bahasa lisan saja istilah-istilah ‘penerima’ (orang yang
menerima dan menafsirkan pesan) dan ‘yang di sapa’ (orang yang seharusnya
menerima dan menjadi sasaran pesan) juga perlu di bedakan. Si penerima bisa
saja seorang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, dan bukan orang yang di
sapa. Perbedaan ini gayut dengan penelitian di sini, yaitu seorang yang menganalisis
makna pragmatik dapat disamakan dengan seorang ‘penerima’ ibarat ‘seekor lalat
di dinding’: ia berusaha mengartikan isi wacana hanya berdasarkan bukti
kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran pesan si penutur. Sebaiknya,
‘yang disapa’ atau ‘si penutur’ selalu menjadi sasaran tuturan dari n dan
selalu ditandai oleh simbol t.
(ii)
Konteks
sebuah tuturan
Konteks telah diberi
berbagai arti: antara lain di artikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan
lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks dapat diartikan sebagai
suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n dan t dan yang membantu t menafsirkan
makna tuturan.
(iii)
Tujuan
sebuah tuturan
Akan lebih berguna sekali
jika untuk memakai istilah tujuan atau fungsi daripada makna yang dimaksud atau maksud n mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani
pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan
secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan. Untuk kegiatan
terakhir ini penggunaan istiah maksud
dapat menyesatkan.
(iv)
Tuturan
sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar
Tata bahasa berurusan
dengan maujud-maujud statis yang abstrak, seperti kalimat (dalam sintaksis),
dan proposisi (semantik), sedangkan pragmatik berurusan dengan tindak-tindak
yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian pragmatik
menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa.
(v)
Tuturan
sebagai produk tindak verbal
Selain sebagai tindak
ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam pragmatik kata ‘tuturan’ dapat digunakan
dalam arti yang lain, yaitu sebagai produk
suatu tindak verbal. Perhatikan misalnya, kata-kata woud you please be qiute yang diucapkan dengan intonasi naik yang
sopan. Rangkaian kata-kata tersebut dapat disebut dengan istilah kalimat atau pertanyaan atau permintaan
ataupun tuturan. Namun
istilah-istilah seperti kalimat, pertanyaan, permohonan dipakai untuk mengacu pada maujud-maujud gramatikal
sistem bahasa, sedangkan tuturan
sebaiknya mengacu saja pada contoh-contoh maujud-maujud gramatikal yang digunakan dalam situasi-situasi
tertentu. Jadi, sebuah tuturan dapat
merupakan suatu contoh kalimat (sentence-instance)
atau tanda kalimat (sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Dengan demikian
pragmatik dapat digambarkan sebagai suatu ilmu yang mengkaji makna tuturan,
sedangkan semantik mengkaji makna kalimat.
Tindak ilokusi
atau ilokusi dapat digunakan untuk
mengacu pada tindakan-tuturan seperti yang dinyatakan dalam (iv) dan memakai
istilah tuturan untuk mengacu pada
produk linguistik tindakan tersebut. Dengan demikian, dalam komunikasi yang
berorientasi tujuan, meneliti makna sebuah tuturan merupakan usaha untuk
merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia memproduksi
tuturannya. Dalam pengertian ini, makna sebuah tuturan dapat disebut Daya Ilokusi tuturan tersebut. Austin
membedakan tindak ilokusi dengan jenis-jenis tindak lainnya, khususnya dengan
tindak-tindak ilokusi dan perlokusi. Tetapi dalam kajian pragmatik jenis-jenis
tindak lainnya sebagian besar dapat diabaikan.
Dari
unsur-unsur tersebut di atas, yakni (i) yang menyapa dan yang di sapa, (ii)
konteks, (iii) tujuan, (iv) tindak ilokusi, dan (v) tuturan, dapat disusun
konsep Situasi Ujar yang mencakup
unsur ini, dan mungkin juga unsur-unsur lain, seperti waktu dan tempat tuturan
yag dihasilkan. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara pragmatik dengan
semantik, yaitu bahwa pragmatik mengkaji makna
dalam hubungannya dengan situasi ujar.
1.5 Retorik
Ancangan
pragmatik diberi ciri retoris. Penggunaan istiah ‘retoris’ ini sangat
tradisional dan mengacu pada kajian mengenai pemakaian bahasa secara efektif di
dalam komunikasi. Dalam tradisi-tradisi historis tertentu, retorik diartikan
sebagai seni keterampilan menggunakan bahasa untuk tujuan-tujuan persuasi, sastra,
berpidato. Retorik dapat dilihat sebagai penggunaan bahasa secara efektif dalam
arti yang sangat umum; dalam pengertian ini penggunaan bahasa pertama-tama diterapkan
pada percakapan sehari-hari, baru kemudian pada penggunaan-penggunaan yang
lebih dan terencana. Jadi, dalam konteks ini, istiah retorik memusatkan diri
pada situasi ujar yang berorientasi tujuan, dan di dalam situasi tersebut n memakai bahasa dengan tujuan
menghasilkan suatu efek tertentu pada pikiran (mind) t.
Retorik
dapat juga diistilahkan sebagai kata benda yang dapat dihitung, yaitu
seperangkat prinsip percakapan yang saling dihubungkan oleh fungsi-fungsinya.
Retorik dapat dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan pembedaan yang di buat
oleh Halliday, yaitu retorik interpersonal
dan retorik tekstual. Masing-masing
retorik tersebut terdiri dari seperangkat prinsip, seperti PK dan PS.
Prinsip-prinsip tersebut juga terdiri dari seperangkat maksim (terminologi Grice).
Namun, ‘maksim-maksim’ Grice dapat disebut ‘submaksim’, dan dengan demikian
hierarki maksim bertambah dengan satu tingkatan. Tetapi hierarki empat tingkat
ini tidak selalu dipertahankan dengan kaku, karena tingkatan sebuah maksim/submaksim
tidak selalu dapat dikategorikan dengan jelas. Maksim Kualitas (Grice) yang
kedua misalnya, merupakan suatu perluasan yang wajar dari maksim yang pertama:
Maksim
1 : Jangan mengatakan sesuatu yang anda
yakini bahwa itu tidak benar.
Maksim
2 : Jangan mengatakan sesuatu yang
bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Prinsip-prinsip
retorik menempatkan berbagai kendala sosial pada tingkah laku komunikatif,
tetapi prinsip ini tidaklah sebagai motivasi utama bagi penutur bercakap
kecuali dalam tuturan-tuturan yang ‘sosial semata-mata’ seperti dalam dalam
tuturan tegur-sapa dan ucapan terima kasih. Kerja sama dan sopan santun
misalnya, bukan motivasi utama bagi penutur untuk bercakap melainkan merupakan
faktor-faktor kendala, faktor-faktor pengatur (regulative) yang menjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar
tidak macet, dan tidak sia-sia. Karena itu perlu dibedakan antara tujuan-tujuan
ilokusi dengan tujuan-tujuan sosial. Demikian juga perlu dibedakan antara daya
ilokusi dan daya retorik sebuah tuturan. Daya retorik adalah makna sebuah
tuturan dilihat dari ketaatan n pada
prinsip-prinsip retorik. Misalnya sejauh mana n mengatakan yang benar, berbicara dengan sopan, atau bernada
ironis. Daya ilokusi dan daya retorik bersama-sama membentuk daya pragmatik.
Perbedaan
antara makna (makna yang ditentukan secara semantis) dan daya (makna yang
ditentukan secara semantis dan pragmatis) sangat esensial bagi kajian ini.
Tetapi ikatan yang ada antara makna dan daya juga perlu disadari: daya mencakup
makna dan secara pragmatis, daya
sekaligus juga dapat diturunkan dari makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar