Sabtu, 17 Desember 2016

NASKAH DRAMA BIUS



NASKAH DRAMA
BIUS

Mata Kuliah                : Drama
Dosen Pengampu        : Dra. Hj. Yusra Dewi, M.Pd

Diperankan oleh:
Kelompok 3
1.      Herti Gustina                         A1B112005
2.      Firda Adrian                          A1B1120
3.      Rangga Septianto Asri Putra A1B112055
Semester/Kelas            : III/A


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013



BIUS
Karya              : Benny Yohanes
Para tokoh       :
1.      Tuna S             = Herti Gustina
2.      Amin               = Rangga Septianto Asri Putra
3.      Orang tua        = Firda Adrian
Sebuah sudut di kamar periksa dokter. Di latar belakang tampak kamar-kamar sempit, tiang-tiang kokoh dan pintu-pintu yang berkaca buram. Sebuah rumah sakit yang sudah sangat lama digunakan, namun tidak dirawat.
Tuna S masuk ruangannya. Di seputar dinding tampak berjejer rapi gambar-gambar manusia yang tersenyum. Amin dan seorang tua duduk berjejer di ruang tunggu. Tuna tampak baru bangun tidur. Dia duduk di atas sebuah peti mati, yang dijadikannya meja untuk menerima dan memeriksa pasien.
Tuna membuat tanda salib, lalu membuka tutup peti mati. Dari dalam peti diambilnya gayung, odol, sikat, lalu menggosok gigi. Setelah itu menelan sebutir pil, dan dia bersendawa. Ditutupnya peti mati lalu membuat tanda salib lagi. Di ruang tunggu terdengar orang tua terbatuk-batuk. Amin membantu melegakan nafasnya.
Tuna S          : Suster... Suster... (Sepi tak ada jawaban. Melihat pada orang tua. Matanya saling tertumbuk) Masuklah.
Amin            : Nama saya Amin, Dokter.
Tuna S          : (Duduk menghadapi dengan tatapan mata kosong) Apa cita-citamu?
Amin            : (Heran) Saya mau berobat.
Tuna S          : Oh, maaf. Saya selalu teringat Noni, saudaraku. Maksud saya, ayahmu sakit apa?
Amin            : Maksud dokter...
Tuna S          : Panggil aku Tuna. Tuna Sumantri (Terdengar batuk orang tua. Tuna mengeluarkan nama dari keranjang peralatannya. Bertuliskan: Tuna S)
Amin            : Baik. Nama saya Amin. Saya sakit.
Tuna S          : (Berdiri) O, kukira kau hanya mengantar ayahmu ke sini.
Amin            : Bukan. Aku tidak kenal orang tua itu. Dia datang sesudah aku. Saya kira sakitnya memang lebih parah.
Tuna S          : Jadi dia bukan ayahmu? (Pergi ke pintu. Memandang orang tua) Suster... Suster... (Jengkel) Kemana mereka ?! (Dokter bertumbuk pandang dengan orang tua. Pandangannya aneh. Dokter mengangguk)
Amin            : (Mencoba menggerak-gerakkan tangan kanannya yang sulit digerakkan)
Tuna S          : Ada apa denganmu, Amin?
Amin            : Tangan kananku tak bisa bergerak. Dan akhir-akhir ini mataku juga rasanya bertambah berat. Penglihatanku kabur.
Tuna S          : (Memegang-megang tangan Amin) Apa pekerjaanmu?
Amin            : Menulis, Dokter. (Dokter mengacungkan papan namanya) Aku menulis, Tuna.
Tuna S          : Hem, jadi kau seorang pengarang?
Amin            : Belum jelas.
Tuna S          : Maksudmu? (Sambil terus meneliti tangan Amin)
Amin            : Aku menulis karena kesukaan saja. (Dokter menyuruh Amin membuka rahang)
Tuna S          : Kesukaan? (Amin mengangguk. Dokter mengatupkan rahang Amin) Hahaha. Aku punya saudara, juga pengarang seperti kau. Kalau kutanyakan: Noni, apa saja yang kau tulis itu, dengan tak acuh dia akan bilang: Apa saja yang kusuka! Hahaha. Dan roman mukanya lalu mengkerut persis seperti kau menjawab pertanyaanku tadi. Kau seperti Noni.
Amin            : Aku cuma menulis apa yang melintas pada pikiranku.
Tuna S          : Itu bagus. Setidaknya kau tahu betul apa yang kau tulis. Kapan saja kau menulis?
Amin            : Setiap hari. Setiap waktu. Setiap hatiku menginginkannya. (Orang tua itu batuk lagi)
Tuna S          : Kau pasti mengenal, siapa itu..., Agatha Kristiono?
Amin            : Tidak.
Tuna S          : Tapi kau seorang pengarang?
Amin            : Memang. Tapi hidupku kurasa tak membutuhkan teka-teki dan misteri.
Tuna S          : Kalau begitu, kau pasti lebih menyukai karangan-karangan Eddy Durenmatt Iskandar?
Amin            : Tidak, dokter. Kurasa Tuhan tidak membuat hidup semudah novel-novel itu.
Tuna S          : O, kau seorang pemikir rupanya.
Amin            : Aku menyukai peperangan. Ya! Aku selalu menulis tentang itu. Sebab di dalam peperangan selalu lahir pahlawan-pahlawan. ( Orang tua batuk-batuk lagi)
Tuna S          : Sebentar! (Bergegas ke pintu) Suster... (Mendekati orang tua) Masuklah, Pak.
Orang tua     : Selesaikanlah dulu. Aku tidak apa-apa. (Batuk-batuk lagi)
Tuna S          : Bapak perlu minum?
Orang tua     : Tidak, terima kasih. Aku tak bisa menerima kebaikan orang sebelum aku berbuat sesuatu kepadanya.
Tuna S          : Baik. (Kembali pada Amin) Rasanya dia mengenalku. Matanya... ah.
Amin            : Apa tanganku memang lumpuh, dokter Tunas?
Tuna S          : Ada yang aneh pada matanya.
Amin            : Mataku? Aneh?
Tuna S          : Mata? O, tidak. Maksudku, eu... Begini, Amin. Seharusnya kau memiliki otot-otot yang kuat pada lenganmu. Kau terbiasa menulis, bukan? Dan kau akan terus bergelora selama menulis, karena kau sangat menyukai peperangan. Tapi, ototmu nampaknya seolah tak pernah kau gerak-gerakkan sama sekali sehingga kehilangan daya buat berkontraksi.
Amin            : Aku terus menulis, Tunas. Dan aku akan terus begitu.
Tuna S          : Dengan tanganmu yang seperti itu?
Amin            : Anda sangsi pada kemampuan saya?
Tuna S          : Bukan begitu. Maksud saya apakah Anda benar-benar sakit?
Amin            : (Tegas, mengeras) Aku sakit dan aku mau sembuh. (Orang tua itu terbatuk lagi)
Tuna S          : Aku belum pernah mendapatkan pasien seorang pengarang sebelum ini. Maaf, kalau aku cepat menduga.
Amin            : saya ingin sembuh dokter. Saya ingin semua anggota tubuhku bisa bekerja dengan normal. Aku sangat butuh kehidupan.
Tuna S          : Ya, aku mengerti. Bagi seorang pengarang, hidup adalah segala-galanya. Itu kata Noni, saudaraku. Tapi lain halnya dengan seorang dokter seperti aku. Bagiku hidup adalah perpanjangan dari kesakitan-kesakitan. Setiap kali aku merasakan sekit, setiap kali itu pula aku merasakan kehidupan. Kau tahu apa artinya rasa sakit?
Amin            : Untuk orang yang sehat, rasa sakit adalah hal yang istimewa.
Tuna S          : Hahaha. Kau tampaknya terlalu menurutkan kebiasaanmu menulis. Bicaramu amat diplomatis. Apakah kau yakin aku bisa memberimu kesembuhan?
Amin            : Aku cuma butuh obat, Tuna. Dan aku tahu kau seorang dokter yang bisa memberikannya. Berilah aku apapun kecuali nasihat. Aku tak ingin dibohongi oleh keluh-kesahku sendiri. (Orang tua itu batuk lagi dan muntah lagi) Apa Anda bisa memeriksa dia dulu. Penyakitnya nampak parah.
Tuna S          : Baik. (Menuju pintu)
Orang tua     : Aku belum perlu minum dokter. Selesaikanlah dulu tugasmu.
Tuna S          : Tapi bapak sakit. Bapak perlu pemeriksaanku segera. Saya tahu penyakit bapak parah, tapi saya mau menyembuhkannya.
Orang tua     : Hehehe. Aku memang sakit dan butuh pemeriksaan. Tapi kurasa tidak setiap penyakit butuh penyembuhan. Aku merasa tenang dengan keadaanku sekarang. Dan aku akan bertambah senang setelah kau berbaik hati memeriksaku nanti.
Tuna S          : Bagaimana dengan batuk dan muntah-muntah itu?
Orang tua     : aku juga mencret. (Memperlihatkan bokongnya) Nih. Kau belum tahu itu dokter. Tapi ini hanyalah variasi yang sengaja kubuat agar hidupku tidak monoton.
Tuna S          : Bapak keliru, itu gejala penyakit! Sudahlah, mari kuperiksa. Setiap pasien yang datang kesini selalu bisa kusembuhkan. Marilah! (Mendirikan orang tua)
Orang tua     : Jangan terburu-buru, Tuna.
Tuna S          : O, bapak sudah mengenal saya?
Orang tua     : Memang seharusnya begitu. Saya hanya mau berhubungan dengan orang-orang yang saya kenal.
Tuna S          : Tapi saya belum mengenal siapa bapak?
Orang tua     : Itu tidak penting dokter. Selesaikanlah tugas Anda dahulu. (Menunjukkan ke dalam ruangan)
Tuna S          : O, Amin. Dia tidak apa-apa. Dia hanya kecapaian. Terlalu banyak menulis tentang peperangan. Padahal dia sendiri tidak ikut berperang. Dia hanya butuh tonikum dan sedikit remason. Setelah mendapatkan tonikum dariku, dia pasti bisa sembuh.
Orang tua     : Anda hebat, dokter. Semenjak aku di sini, ketenaran pengobatanmu memang sudah lama kudengar. Anda memang hebat. (Matanya tajam mengawasi Tuna)
Tuna S          : Jangan terlalu memuji. Bagiku itu adalah hal yang biasa saja. Baiklah, saya selesaikan dulu Amin. (Orang tua itu mengangguk. Tuna kembali ke kamarnya) Matanya? Ah, aku seperti sudah mengenalnya. Matanya penuh selidik. Aneh!
Amin            : (Tangannya makin sakit. Melenguh panjang) Uh, bagaimana penyakitku ini, Tuna?
Tuna S          : Ada yang aneh pada mata itu!
Amin            : Mata? Anda belum memeriksa mata saya?! Anda selalu bilang aneh, aneh. Ada apa sebenarnya dengan mata saya? O, pandanganku kabur sekarang. Bagaimana ini? Berikan obat itu, dokter! Aku sanggup membayarnya. Aku sangat membutuhkan kehidupan. O, siapa kamu? Pergi! Jangan halangi aku! Dokter! O, mukamu berdarah. Tanganmu berdarah. Siapa kamu?! (Amin bergerak limbung, menabrak peti mati di hadapannya)
Tuna S          : Amin, Amin. Tenang dulu. Tidak ada siapa-siapa di sini.
Amin            : Apa ini? Peti mati? Apa maksud Anda dokter? (Amin mau membuka tutupnya)
Tuna S          : Jangan kau buka!
Amin            : Kau mau menakkut-nakutiku?
Tuna S          : Sudahlah, lupakan itu. Mari kuperiksa matamu.
Amin            : Nanti dulu!
Tuna S          : Amin, kau orang yang sakit dan butuh kesembuhan.
Amin            : Betul, tapi kau tak perlu menakut-nakutiku dengan kematian seperti ini.
Tuna S          : Hahaha. Tak ada yang membicarakan soal kematian di sini.
Amin            : Peti ini, apa artinya? Dokter, aku tak suka dengan lelucon seperti ini. (Tangannya mau membuka tutup peti mati) Uh, tanganku, tanganku tak mau bergerak. (Orang tua batuk lagi, lalu tertawa)
Tuna S          : (Mengambil sesuatu dari keranjang alat-alatnya) Amin, duduk dan makanlah ini.
Amin            : Apa ini?
Tuna S          : Hanya permen karet. Mengandung sedikit tonikum. Baik untuk menghangatkan lidahmu. (Memberikan pada mulut Amin)
Amin            : Tidak! Beri aku obat. Aku seorang pengarang dokter. Dan pengarang harus selalu hidup, bebas dari penyakit.
Tuna S          : Kita tidak bisa menolak penyakit, Amin. Hidup itu sendiri adalaha perpanjangan dari kesakitan-kesakitan yang terus berlanjut.
Amin            : Bukan.
Tuna S          : Setiap saat oarang bisa sakit, Amin. Dan itu dialami semenjak orang mengenal kehidupan. Begitu juga kau, aku dan semua orang yang hidup. Ah, semua orang sudah tahu itu. Tapi dengarlah! Sudah beratus orang yang datang kemari. Dengan seribu ocehan dan keluh kesah mereka. Mereka sakit. Mereka lalu datang berobat kepadaku. Dan kemudian mereka merasa telah disembuhkan olehku. Padahal tugasku kan bukan sekedar menyembuhkan.
Amin            : Kau seorang dokter dan kau dididik untuk bisa menyembuhkan.
Tuna S          : Benar. Tapi tidak semua mereka yang merasa dirinya sakit adalah orang yang sakit. Mereka yang datang itu adalah orang yang sehat yang merasa dirinya sakit. Ketika mereka merasa disembuhkan, mereka sebenarnya sedang menerima penyakit.
Amin            : Omongan apa itu. Aku berbeda dengan orang-orang itu.
Tuna S          : Aku tahu, kau seorang pengarang, menulis tentang peperangan. Dan kini kau merasa sakit, bukan?
Amin            : Ya, tangan dan mataku.
Tuna S          : Kau orang yang sakit dan merasa dirimu sakit.
Amin            : Memang, dan berarti aku sadar bahwa aku sakit.
Tuna S          : Betul. Selanjutnya kau butuh kesembuhan dariku, bukan?
Amin            : Dari obatmu!
Tuna S          : Baiklah. Mati kuperiksa matamu.
Amin            : (Ragu-ragu) Aku tak mau permen karet itu.
Tuna S          : Tidak apa-apa, kebetulan aku belum sarapan. (Dimakannya permen karet itu) kau suka musik, kan? Kau bisa dengarkan koleksiku yang terbaru. (Menyalakan gramopon. Suara dentuman meriam dan letusan senjata bunyinya. Dokter menyuruh Amin membuka matanya, lalu disorot-sorot oleh cahaya) Kau perlu terapi. Matamu masih bisa sehat. (Dokter mengambil tengkorak putih, diberikan ke tangan Amin. Amin tersentak lagi, tidak mengerti) Pegang ini, Amin. Ayo, ini cuma dibuat dari plastik.
Amin            : Untuk apa ini? Saya tidak perlu lelucon lagi!
Tuna S          : Kamu perlu terapi mental! Pegang ini, Amin. Sorotkan matamu ke dalam mata ini. Bagus. Sekarang buat dirimu rileks. Ya, dengarkan musik ini, Amin. Kamu lihat dirimu sekarang? Ya, bagus. Pandangi terus, Amin. Saya tahu, kamu menyukainya. (Amin tersenyum) Matamu bagus sekali sekarang. (Menyorot-nyorotkan sinar baterei ke mata Amin) Ya, pertahankan itu, Amin. Bagus. Aku akan membuatkan resep untukmu.
Amin            : Bagaimana dengan tanganku, dokter?
Tuna S          : kau Cuma butuh tonikum, Amin. Lihat, mayamu semakin sehat. Dengarkan musik ini, Amin. Resapkan. Ya. (Dokter pergi ke ruang tunggu. Orang tua itu muntah, batuk, dan tertawa) Bapak sedang mengolah variasi lagi rupanya. (Orang tua itu batuk, tertawa, mencret, mengikik, muntah, batuk, tertawa lagi seperti sebuah komposisi musik)
Orang tua     : Ha ha ha, ya, ya, ya. Ini cara yang mudah buat mengusir kejenuhan. Tapi aku mulai bosan juga dengan permainan ini. (Telinganya menguping) Dokter, Anda rupanya menyenangi musik klasik juga seperti saya?
Tuna S          : Saya penggemar fanatik, Pak. (Berlaku seperti seorang derigen) Musik ini memberi kita perasaan tenteram. Dan saya selalu tergugah, terutama jika saya sedang melakukan operai-operasi yang gawat.
Orang tua     : Anda sepaham dengan saya. Musik klasik memang bisa membawa hati kita melaju ke gerbang-gerbang firdaus. Nanti dulu, ini Wagner, bukan?
Tuna S          : Bapak keliru. Ini gubahan terbaru dari komponis dunia ketiga: Wolfgang Amadeus Khomeine. Dengarkan geloranya! Ah, saya sealu merasa tergugah. (Musik dentuman meriam dan pelor, juga jarit kesakitan mengeras tak terkendali)
Amin            : (Meloncat dari temat duduknya) Dokter, dokter. Mataku hilang! Mataku, dokter! Aku tak bisa melihat. (Memukul-mukul tengkorak pada peti mati) Bagaimana ini. Tuna mana obat itu?!
Tuna S          : Amin! Amin! Duduklah! (Amin membuka kelopak matanya lebar-lebar dengan tangannya)
Amin            : Hei, kau apakan mataku? (Orang tua terkekeh di sudut pintu melihat tingkah Amin) Tuna! Mataku buta. Kau curang! Kau curang! Kau mau habisis hidupku. Kau curang! Sembuhkan aku!
Tuna S          : Amin, buka matamu!
Amin            : Aku tidak bisa. Aku buta. Uh, tanganku, tanganku juga tak mau bergerak. Aku tak bisa menulis tentang peperangan lagi. Ya ampun!
Tuna S          : Amin, jangan kacau. Buka penglihatanmu!
Amin            : Aku tidak bisa. Kau curang!
Tuna S          : Buka pengarang! Buka matamu!
Amin            : (Menangis) Matikan suara-suara itu. Kau mau menghipnotis aku. Matikan, dokter! (Dokter mematikan suara tape)
Tuna S          : Kau melihat kehidupan, Amin?
Amin            : Mana? Mataku tak ada.
Tuna S          : kau seorang pengarang.
Amin            : penyakit ini merampok mataku. Sembuhkan aku dokter. Kalau begini aku aku tidak bisa menulis lagi. habislah kehidupanku. Habislah aku!
Tuna S          : Mari, kuperiksa lagi matamu. (Menyorotkan sinar baterei ke mata Amin) Kau memang buta, Amin.
Amin            :  (Tangis mengeras) Tidaak! Oh, tulisan-tulisanku. Ilham-ilhamku. Kau tak bisa kutatap lagi. Tidak!
Tuna S          : Kau masih bisa sembuh, Amin. Kau harus kurawat di rumah sakit.
Amin            : Aku butuh kehidupan, Tuna. Aku pengarang. Aku tak butuh rumah sakitmu!
Tuna S          : Sebagian hidup manusia selalu ada di rumah sakit, Amin. Dari sana, awal perjalanan hidup ini dimulai, untuk kemudian berakhir di tempat yang sama. Di sana kau bisa melihat peperangan yang sesungguhnya.
Amin            : Peperangan? Di rumah sakit? Jangan konyol, dokter. Kau harus mengerti keadaan jiwaku. Aku seorang pengarang yang sedang merebut cita-cita. Tapi penyakit ini sudah merampok kehidupanku. Aku gelisah dokter! (Orang tua terkekeh panjang. Lalu kembali ke tempat duduknya. Mengolah variasi lagi) Kenapa orang itu? Dia menertawakanku?
Tuna S          : Tidak, Amin. Dia orang tua yang sudah pandai menguasai kegelisahannya sendiri.
Amin            : Saya tidak suka tertawanya.
Tuna S          : Dia Cuma bermain-main dengan kegelisahannya.
Amin            : Tapi dia sengaja mengejek aku.
Tuna S          : Kau terlalu gelisah, Amin. Lupakan orang tua itu.
Amin            : Dia tertawa buat mengejek aku! (Amin keluar menabrak-nabrak mendekati orang tua. Orang tua malah mengikik lebih keras) Diam! Diam!
Tuna S          : Amin! (Orang tua mengikik. Mencret, muntah, mengikik lagi)
Amin            : Diam!
Tuna S          : Amin!
Amin            : Diam!
Tuna S          : Diam!
Amin            : Amin!
Tuna S          : Diam!
Amin            : Amin!
Tuna S          : Diam! O, maaf saya terbalik. Kau mesti kurawat, Amin. Kita membutuhkan pengarang seperti kau. Matamu mesti kembali. Juga tanganmu.
Orang tua     : (Muntah-muntah dengan hebat, lalu tertawa)
Amin            : Kenapa kau menertawakan saya?
Orang tua     : E, aku tertawa untuk diriku.
Amin            : Tapi aku mendengarnya.
Tuna S          : Aku juga mendengarnya, Amin. Tapi sudahlah. Bapak ini butuh pemeriksaanku juga. Tapi nanti setelah kau.
Amin            : Jadi Anda juga sakit bukan, sama seperti saya.
Orang tua     : Betul, Amin.
Amin            : Saya belum kenal anda.
Orang tua     : Tapi saya mengenalmu. Engkaukan seorang pengarang. Aku pernah membaca tulisan-tulisanmu.
Amin            : Tulisanku? (Kepada Tuna S) Orang tua ini kurang waras. Kau tak perlu menyembuhkannya, dokter. Darimana dia bisa tahu tulisan-tulisanku? Belum selembarpun pernah kukirimkan ke surat kabar.
Orang tua     : Itulah tanda bagi seorang pengarang besar. Sebelum ciptaannya disampaikan, orang-orang sudah menghafalnya. Sebelum pikirannya dituliskan, orang-orang sudah tahu isi hatinya. Saya merasa beruntung bisa bertemu pengarang besar hari ini. (Orang tua muntah-muntah, batuk-batuk, lalu mengikik)
Amin            : Brengsek! (Amin masuk ke kamar periksa lagi)
Tuna S          : Bapak tunggu sebentar. Saya harus menyelesaikan dia, bukan?
Orang tua     : Selesaikanlah dulu tugasmu. O, dokter, pengarang itu mesti diselamatkan. Anda tahu apa sebabnya? Tulisan-tulisannya berkualitas impor. Jadi penting untuk devisa negara. Saya tahu, kamu dokter yang selalu bisa menyembuhkan. Anda hebat, Tuna. Tuna Sumantri. (Sambil membuka kaus dokter. Mata orang tua menatap tajam pada dokter. Dokter serba salah)
Amin            : Dokter!! (Tutup peti mati ternganga)
Tuna S          : (Menutup peti mati dengan cepat) Sudah aku bilang, kau jangan membuka ini! Kamu lancang, Amin!
Amin            : Aku tidak membukanya!
Tuna S          : Bohong! Apa yang mau kau ketahui dariku, heh?
Amin            : Aku tidak membukanya. Aku hanya berdiri di sini. Lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menarik tanganku.
Tuna S          : Jangan bohong, Amin. Kau pasti membukanya. Kau mau mencuri sesuatu dariku?
Amin            : Berikan aku obat, Tuna. Setelah itu aku akan pergi dari sini.
Tuna             : Tidak bisa. Kau sudah melihat sesuatu di dalam peti ini.
Amin            : Mataku tak ada, dokter. Dengan apa aku melihat. Aku hanya merasa ditarik. Kukira itu tanganmu. Tapi bukan. Tangan itu baunya anyir.
Tuna S          : Baunya? Kau mencium baunya? (Dokter membawa Amin ke sudut ruangan) Apa yang kau cium?
Amin            : Aku tidak tahu.
Tuna S          : Kau pasti hafal baunya!
Amin            : Anyir! Tangan itu berbau anyir! Seperti darah. Aku mencium bau darah.
Tuna S          : Tangan? Tangan siapa? Kamu jangan main-main. Tak ada siapa-siapa di sini selain kau dan aku.
Amin            : Aku ditarik sesuatu. Aku ditarik dan aku takut. Berikan obat itu sekarang. Aku sanggup membayarnya. Mana Tuna? Aku takut di sini. Tempat apa ini? Aku mencium bau darah!
Orang tua     : (Mengetuk pintu keras-keras) Kau sudah selesai dokter?
Tuna S          : Tunggulah. Sedang kuperiksa lidahnya.
Orang tua     : Pengarang besar itu mesti diselamatkan, Tuna. Siapa tahu, dia bisa mencegah datangnya perang dunia yang akan datang.
Tuna S          : Aku tahu.
Amin            : Dokter, kau akan dibuat gila oleh orang tua itu.
Tuna S          : Duduklah, Amin. Duduk di sini. (Dokter mendudukkan Amin membelakangi peti mati) Matamu mulai berair. Pakai handuk ini.
Amin            : (Mengusap matanya) Mataku tak ada. Dia pergi begitu saja. Mataku harus kembali, dokter.
Orang tua     : (Nyaring) Pengarang itu mesti diselamatkan. Setiap pengarang mesti diselamatkan. Kalau tidak, kita bisa terkena inflasi nantinya.
Tuna S          : (Membuka peti mati, mengambil odol dan sikat, lalu mendekatkan odol dan sikat ke hidung Amin) Amin.
Amin            : (Meraba-raba) Apa ini? Ini obat untukku?
Tuna S          : Kau mencium sesuatu tadi. Inilah yang kau cium itu. (Amin membaui)
Amin            : Anda yakin ini berbau anyir.
Tuna S          : Pasta gigi ini membusuk. Dan sikat ini pernah kugunakan untuk menggosok gigi anjing. Jadi baunya pasti tidak enak.
Amin            : Aku seperti mencium bau darah tadi. Dan tangan yang menarikku, tangan siapa itu?
Tuna S          : Hahaha, kau terlalu gelisah. Kau amat takut pada keselamatanmu sendiri. Itu sebabnya pikiranmu menjadi berlebihan.
Amin            : Baiklah, pikiranku tak karuan tadi. Sekarang sembuhkan aku, dokter.
Tuna S          : Aku akan menulis resep untukmu. (Orang tua batuk-batuk lagi. bervariasi dengan bersin)
Orang tua     : Dokter, wah, gigiku ikut kumat sekarang. Berilah aku obatbpenahan sakit, sebelum giliranku tiba.
Tuna S          : Duduklah, Pak. Kau bisa gosok gigimu sambil menunggu. (Dokter memberikan odol dan sikat)
Amin            : Sikat itu bekas anjing. Anjing!
Orang tua     : Apa dia bilang?
Tuna S          : (Berbisik) Ssstt! Dia sedang mendapatkan ilham untuk tulisan-tulisannya. Tak apa-apa. (Orang tua tertawa)
Amin            : Dokter!
Tuna S          : Resepmu hampir selesai, Amin.
Orang tua     : Odol ini harum sekali. Hmmh...
Amin            : Sinting!
Orang tua     : setiap hari orang mencuci mulutnya dengan odol yang wangi. Tapi mulutnya selalu kotor kembali. Kukira orang mesti memakai odol yang busuk. Siapa tahu mulutnya nanti bisa mengucapkan kata-kata yang segar. Apa pendapatmu, dokter?
Amin            : Kau mestinya tak perlu menggosok gigi lagi, orang tua. Mulutmu penuh ejekan. Dan kata-katamu kotor. Mulut dan hatimu selalu penuh peperangan.
Orang tua     : Oh, dia mendapat ilham lagi rupanya. Dokter, bisakah aku menggosok gigi di luar saja? Aku tak bisa berdebat dengan pengarang yang belum menggosok gigi.
Tuna S          : Gosoklah gigi bapak sepuasnya.
Amin            : Brengsek! Mana obatku, Tuna?
Tuna S          : (Berhenti sejenak) Aku tak bisa memastikan obat untuk matamu, Amin.
Amin            : Ah, kenapa begitu. Anda banyak berpura-pura pada saya. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa setiap pasienmu selalu bisa kusembuhkan?
Tuna S          : Memang, aku bisa menyembuhkanmu. Tapi kau mesti kurawat dulu, Amin. Dan itu berarti kau mesti tinggal di rumah sakit.
Amin            : Rumah sakit lagi!
Tuna S          : Ya, kenapa? Inikan prosedur yang biasa saja?
Amin            : Saya tak mau, dokter. Aku tak bisa melihat dunia kalau aku tinggal di rumah sakit. Aku cuma akan berhadapan dengan tembok-tembok yang putih, datar, dan bisu. Aku butuh kehidupan sekarang, bukan jalan menuju kematian.
Tuna S          : Di rumah sakit kau kurawat untuk bisa hidup.
Amin            : Kenapa kau memaksaku diam di rumah sakitmu?
Tuna S          : Kau mesti sembuh, Amin. Dan aku tahu kau sangat membutuhkan kehidupan. Bukankah kau percaya pada kemampuanku?
Amin            : Aku bisa sembuh di luar rumah sakit. Aku benci berdekatan dengan peti mati ini. (Menendang peti mati) Saya tahu, anda punya maksud tersembunyi terhadap penyakit saya.
Tuna S          : Amin, kau yang lebih dulu mempercayai aku sebagai seorang dokter, bukan?
Amin            : Aku tahu apa yang ada di balik pikiranmu. Aku punya firasat, kau mau berbuat jahat padaku.
Tuna S          : Hahaha, begitu buruknya firasat seorang pengarang. Kalau begitu, kau boleh ambil resep ini, lalu keluarkan uangmu. Setelah itu, kau bisa pergi dari sini dan aku akan mendapatkan pasien yang baru lagi. Tidak ada yang rumit di antara kita. Aku sudah sangat terbiasa dengan pekerjaanku ini, Amin. Jadi maaf jika aku tak bisa meladenimu bicara berkepanjangan. (Membunyikan bel. Amin merebutnya)
Amin            : Dengar, Tuna. Kau menyembunyikan sesuatu yang aneh di sini. Mula-mula peti mati itu. Lalu tengkorak yang keu berikan padaku. Musik yang penuh dentuman meriam. Tangan yang berbau anyir. Lalu kau berkeras hati memaksaku diam di rumah sakitmu. Apa yang bisa kau terangkan dari semua ini?
Tuna S          : (Tertawa keras) Amin, Amin. Kau terlalu dibebani insting kepengaranganmu.
Amin            : Aku tidak peduli.
Tuna S          : Itu membuat prasangkamu berlebihan.
Amin            : Aku memang curiga padamu. Sudah berapa lama kau menjadi dokter sebenarnya?
Orang tua     : (Dari balik pintu) Dia dokter terbaik di kota ini. Hampir semua penduduk di sini pernah berobat kepadanya dan mereka puas.
Amin            : Sinting! Apa yang kau ketahui tentang penduduk kota ini dengan pikiranmu yang kurang beres itu.
Orang tua     : Aku memang tidak dikenal di sini. Setiap orang yang berpapasan denganku selalu menghindar dengan rasa takut. Tapi aku mengenal mereka. Dan aku akan selalu mengenal mereka. Begitu juga dengan kau. (Tertawa mengikik, lalu batuk)
Tuna S          : Amin, matamu makin berair. Sebaiknya kita cepat ke rumah sakit.
Amin            : Tidak! Kau belum menjawab pertanyaanku.
Tuna S          : Amin, apa yang mesti kujawab. Aku menjadi dokter semenjak orang-orang percaya padaku kalau aku bisa menyembuhkan mereka. Kau bisa melihat... maaf, kau bisa membuktikannya dari arsip-arsip pasien yang tersimpan di lemariku.
Amin            : Setiap hari dalam hari-hari kerjamu, dalam saat-saat istirahatmu, dalam tidurmu, dalam angan-anganmu, kau selalu berurusan dengan penyakit.
Tuna S          : Itu panggilan tugasku, Amin. Bagiku, ini sudah menjadi pekerjaan rutin yang biasa yang sesuai dengan profesiku.
Amin            : Ya, lalu kau menganggap penyakit adalah sesuatu yang biasa dalam hidupmu. Seperti nelayan yang memandang laut. Seperti pendaki yang memandang hutan. Seperti pekerja kantor di balik mejanya. Lalu kau berpikir bahwa hidup hanyalah perpanjangan dari kesakitan-kesakitan. Begitu lurus kau berpikir. Kau tidak merasa bahwa ada orang lain yang juga berpikir penyakit adalah hal yang istimewa dalam hidupnya karena tidak datang setiap hari.
Tuna S          : Istimewa? Mungkin begitu untuk mereka. Tapi setiap penyakit hanya memberikan dua kesempatan bagi kita. Pertama, kau bisa meninggalkannya, lalu merasa sembuh. Kedua, kau bisa bersekutu dengannya, lalu...
Amin            : Lalu mati?!
Tuna S          : Ya! Bukankah hanya sampai di situ batas kemampuan kita? Itu resiko yang biasa dalam kehidupan ini, Amin.
Amin            : Lalu apa artinya kematian itu bagimu?
Tuna S          : Aku banyak melihat orang hidup. Tapi aku juga melihat banyak lagi orang mati. Hidup dan mati hanyalah dua kesempatan yang sama resikonya. Tak ada yang istimewa, Amin. Di mataku,dalam saat-saat aku membedah pasien, hanya kesempatan itu-itu juga yang datang. Mereka bisa hidup. Mereka juga bisa mati. Dan untuk mengetahui semua itu aku cukup bergantung pada alat-alat dan pengetahuanku. Saya kira semuanya jelas, lurus, dan sederhana.
Amin            : Itu pikiran dari mulut seorang pembunuh. Kau tidak menyadari, setelah kau terbiasa melihat penyakit, kau jadi tak pernah punya arti istimewa tentang kematian.
Tuna S          : Setiap orang bisa mati, Amin. Dan banyak pasienku yang telah membuktikan itu.
Amin            : Ya, tapi kau lalu menjadi sama bodohnya dengan pasien-pasienmu itu. Setelah kau periksa mereka di sini, lalu kau bilang penyakitnya gawat. Mereka harus masuk rumah sakit. Diam di situ. Membeku bersama botol-botol infus dan lolongan yang merana. Lalu kau cuma bilang: Tuan, ini cuma sebuah resiko yang biasa. Mengapa harus di rumah sakit, Tuan? Mengapa?
Tuna S          : Amin, kau mulai mengigau. Kau tak bisa lagi mengontrol pikiranmu!
Amin            : (Mendesak dokter) Jangan remehkan aku. Tanganku memang lumpuh. Mataku tak melihat. Dan sebentar lagi aku akan jadi pengarang yang mandul. Tapi kau mengidap penyakit yang lebih parah dari penyakit yang kupunyai. Kamu tak bisa lagi menghargai lagi apa artinya kematian.
Tuna S          : Lepaskan aku, Amin.
Amin            : Tidak! Kau harus berpikiran dulu untuk tidak meremehkan aku!
Orang tua     : (Mengetuk pintu keras-keras) Dokter, apakah sudah tiba giliranku? Dokter?!
Amin            : Usir orang tua sinting itu. Dia tidak sakit. Dia cuma mau menghina orang lain.
Tuna S          : Aku tidak bisa, Amin. Dia pasienku. Lepaskan tanganmu!
Orang tua     : Dokter, apa pengarang kita masih mempunyai harapan. Kita tidak boleh melihat perang dunia lagi setelah ini.
Amin            : Usir dia! (Amin memperkeras jambakannya)
Tuna S          : Eeu... Pak tua!
Orang tua     : Namaku Umat. Aku tamu di sini, bukan?
Tuna S          : Ya, ya, saya mengerti. Pak Umat, kurasa aku harus mengadakan pembedahan di sini segera. Jadi, pergilah dulu dan datanglah kembali besok pagi.
Orang tua     : Apa dokter pikir aku tak perlu berdoa dulu untuk keselamatan pengarang kita?
Amin            : Usir dia! Atau kau yang harus kubedah dengan ini! (Amin mengambil pisau operasi dari keranjang alat-alat dokter)
Orang tua     : Dokter, bolehkah aku berdoa?
Tuna S          : Pergilah, kau membuang banyak waktu.
Orang tua     : Baiklah, Tuna. Jika kita akan bertemu setelah pembedahan itu, bukan? Pertemuan yang biasa.
Amin            : Pergiii!!! (Orang tua batuk-batuk. Mengikik. Tertawa. Lalu menghilang dari penggung)
Tuna S          : Dia sudah pergi. (Amin melepaskan pegangannya)
Amin            : orang tua itu bersekongkol denganmu?
Tuna S          : Aku tidak mengenalnya. Kukira dia ayahmu.
Amin            : Bohong! Kenapa dia bilang: pertemuan yang biasa. Apa artinya itu bagimu?
Tuna S          : Kau tahu, dia kurang sehat kesadarannya.
Amin            : Aku tidak percaya. Kau menyembunyikan sesuatu yang llebih dalam dari itu.
Tuna S          : Amin, kenapa kau membawa aku ke tepi pembicaraan seperti ini. Aku tidak menyukainya! (Merobek kertas resep untuk amin) kau tahu, aku punya saudara seorang pengarang. Noni, noni itu jelas seperti kau. Pikirannya tidak pernah bisa kumengerti.
Amin            : Aku mengerti apa yang harus kukatakan padamu. Sebagai dokter, kau terlalu banyak diam di rumah sakit, Tuna. Sampai dirimu tak lagi mengenal apa itu penyakit, apa itu kematian. Begitu terbiasanya kau berdekatan dengan penyakit; begitu biasanya kau melihat orang mati, sehingga antara penyakit dan kematian sepertinya telah menjadi hubungan yang rutin saja. Kaupun melihat kematian sebagai sesuatu yang rutin. Bagitu juga hidupmu. Bagitu juga caramu menghargai hidupmu. Begitu juga caramu menangani pasien-pasienmu. Begitu rutin. Rumah sakit tempat kau tinggal bersama pasien-pasienmu adalah tempat yang juga rutin. Penyakit apapun kau hadapi sebagai kejadian biasa. Peristiwa kematian yang bagaimanapun kau lihat sebagai peristiwa yang tak punya kekhususan. Kau bilang itu cuma resiko. Lalu bagaimana dengan hidupmu sendiri?
Tuna S          : (Tertawa pahit) Jelas, aku sedang berhadapan lagi dengan noni. Kau tahu apa artinya ini bagiku?
Amin            : Kau takut berhadapan dengan pendapat-pendapatnya.
Tuna S          : Tidak! Aku lebih benci pada profesinya. Profesi yang membuat kehidupan ini jadi rumit. Bagaimana mungkin orang bisa hidup tenang, kalau pada tiap inci kehidupannya selalu ada seratus pertimbangan yang harus dipikirkan. Kapan dia akan melangkah? Kau tahu, Noni tidak pernah bisa melangkah! Hidupnya cuma diisi dengan bersungut-sungut. Menuliskan pikiran-pikiran yang membikin orang lain jadi bimbang. Bahkan dirinya dimakan oleh kebimbangan yang dibuatnya sendiri.
Amin            : Aku bukan Noni. Dan aku tidak pernah merasa berbuat seperti dia.
Tuna S          : Lalu apa yang sudah berhasil kau buat dengan karangan-karanganmu? Akhirnya kau toh cuma diberi tangan yang lumpuh dan mata yang buta. Apakah dengan cara begitu itu kau memberi harga pada kehidupan? Jawab pertanyaanku, Amin: Apakah kau merasa berbahagia setelah ini? Noni telah hidup dengan sia-sia. Juga hilang dengan sia-sia.
Amin            : Apa maksudmu hilang dengan sia-sia?
Tuna S          : Untuk apa tulisan-tulisanmu itu kau buat? Kau bilang, kau menyukai peperangan. Kau sangat butuh kehidupan. Karena itu kau selalu mau bebas dari penyakit. Tapi kau menulis dengan tangan yang lumpuh dan mata yang buta. Lalu siapa yang akan tergerak oleh tulisanmu? Tulisan yang dibuat oleh tangan yang lumpuh! Siapa pula yang keluar dari pandangan seorang buta! Sebagai dokter, aku memang telah menjadi pekerja yang rutin. Tapi aku telah berusaha membaca kehidupan. Dan sekarang aku hidup di dalamnya. Semua pasien-pasienku yang mati sekalipun, tak akan enggan mengucapkan terima kasih untuk jasa-jasaku pada mereka. Itu tandanya aku hidup!
Amin             : Kehidupan yang kau baca dari balik jendela rumah sakit!
Tuna S          : Apa itu berbeda dengan kehidupan yang lain?
Amin            : Sangat berbeda. Itulah kehidup yang membuat kematian tak punya arti apa-apa, selain sebuah kebiasaan. Bagaimana kau bisa menghargai dengan anggapan seperti itu? Bagiku, penyakit dan kematian adalah hal yang sangat istimewadalam hidup manusia. Itu bukan sekedar kebiasaan. Juga bukan sekedar perpanjanga. Karena hidup bukan perpanjangan dari kesakitan-kesakitan.
Tuna S          : Lalu apa?
Amin            : hidup adalah sebuah perjuangan untuk melumpuhkan penyakit dan menghalau kematian. Jika kita mendapat penyakit atau mati, itu adalah tanda bahwa kita masih terus berjuang. Dan perjuangan itu istimewa.
Tuna S          : Aku benci dengan pikiran seorang pengarang. Pikiran itu membuatmu sombong. Kamu adalah orang yang sakit. Dan siapa tahu sebentar lagi kamu akan mati. Tapi pikiran sombongmu membuat rumah sakit jadi begitu nihil di depan matamu.
Amin            : aku menolak dirawat di rumah sakitmu, karena rumah sakit sudah menerima kematian sebagai hal yang biasa. Di rumah sakit, kematian hanya menjadi kelanjutan dari suatu penyakit. Padahal, kematian adalah saat yang sangat khusus, dimana seorang manusia bisa menunjukkan perjuangannya yang sungguh-sungguh dalam mempertahankan saat-saat hidupnya yang paling akhir. Di sanalah manusia berperang untuk menghargai sebuah hembusan nafas, hanya untuk sebuah hembusan nafas. Kau tahu, begitu berharganya hidup. Karena hidup memang bukan sekedar kebiasaan.
Tuna S          : Sebagai dokter, tugasku adalah melanjutkan kebiasaan-kebiasaan.
Amin            : Pekerjaanmu bukan kebiasaan dokter. Pekerjaanmu adalah cerminan dari usaha manusia yang hidup. Jadi kau mesti jadi bagian dari kehidupan. Bukan mejadi bagian dari kematian. Kalau kau menganggap kematian sebagai hal yang biasa, berarti kau merendahkan profesimu yang luhur. Kau juga membunuh dirimu melalui profesimu itu. Tapi kau bilang, kau hidup? Hidup yang mana? Aku tak paham jalan pkiranmu, dokter?
Tuna S          : Kau tak paham? (Keras) Lalu kenapa kau harus mengajakku sampai ke sini? Kenapa kau bangkitkan lagi Noni ke dalam pikiranku? Kenapa?! (Mengguncang Amin) Kau toh Cuma pasienku. Dan sekarang semuanya sudah kubatalkan. Pergi kau!
Amin            : Aku tak bisa, dokter!
Tuna S          : Tidak bisa?!
Amin            : Aku belum kau sembuhkan.
Tuna S          : Aaaahh! Suster... suster... (Tak ada yang datang. Sepi)
Amin            : Mereka mungkin tidak akan datang. Hari sudah sangat larut.
Tuna S          : (Dokter gelisah. Berjalan-jalan mondar-mandir. Mengambil alat suntik seperti pemburu mencari mangsa)
Amin            : Ada apa, Tuna?
Tuna S          : Kenapa kau masih di sini?! Aku harus menerima pasien lain.
Amin            : Aku pasienmu.
Tuna S          : Tidak!! (Sambil membanting alat suntik) Tinggalkan aku sendiri.
Amin            : Kau selalu bekerja sendirian di sini?
Tuna S          : Ini kamar pribadiku.
Amin            : Kau mengunci dirimu sendiri. Kau menata kamar ini persis seperti caramu memahami kehidupan. Di sini segalanya berbau kematian. Peti mati. Kepala kerbau itu. Alat-alat yang serba tajam. Tengkorak. Foto-foto yang banyak ini. Semuanya mengurungmu. Foto-foto yang banyak ini. Semuanya mengurung. Siapa mereka, Tuna?
Tuna S          : (Marah dengan tertahan) Kau mau tahu siapa mereka? (Menelentangkan Amin dengan kasar di atas peti mati)
Amin            : Dokter!
Tuna S          : Kamu pembohong. Matamu tidak buta!
Amin            : Dokter, dokter! Apa in?!
Tuna S          : Kau bisa melihat semua yang ada di kamarku. Kau pembohong!
Amin            : Dokter, aku cuma merasakannya. Aku tak tahu apa-apa tentang kamar ini.
Tuna S          : Dusta! Kamu tahu semuanya. Kau sengaja menyelidiki aku dengan caramu yang konyol itu. (Merebut gunting dari tangan Amin) Kau memang seperti Noni. Mau tahu segala sesuatu. Kaupun harus terima nasib seperti Noni. (Hendak menusukkan gunting ke mata Amin)
Orang tua     : (Mengetuk keras di pintu) Dokter, apakah giliranku sudah tiba?
Tuna S          : Tidak sekarang, Umat! Waktunya belum tiba.
Amin            : Kudengar dia sudah merintih? Atau bersorak?
Tuna S          : Itu bukan urusanmu.
Orang tua     : Kau harus menyelamatkannya Tuan. Kau tahu apa maksudku?
Tuna S          : Diam! Segalanya bisa kuselesaikan.
Amin            : Dokter, jangan dokter. Anda mau membunuh saya?!
Orang tua     : Cepatlah Tuna, aku tak sabar lagi mendengar suaranya.
Amin            : Dokter, jangan! Kau cuma akan membunuh dirimu sendiri.
Tuna S          : Kau terlanjur mengingatkan aku pada Noni. Dia tidak boleh kembali. Dia membuatku repot. Kau juga! (Menusukkan gunting pada Amin. Amin meloncat menghindar. Musik dentuman meriam terdengar lagi. Orang tua tertawa mengekeh keras).
Orang tua     : Dokter, apa pengarang kita selamat? Aku sudah berdoa lama sekali untuknya. Apakah aku boleh melihatnya sekarang, dokter?
Amin            : Tuna, aku sudah sembuh. Simpan gunting itu!
Tuna S          : Aku tahu kau tidak sakit. Aku tahu.
Amin            : Aku kembali untuk Noni.
Tuna S          : Siapa kau sebenarnya?
Amin            : Aku datang untuk membuat Noni hidup kembali di dalam pikiranmu. Simpan gunting itu!
Tuna S          : (Menyerang Amin dengan gunting) Noni tak akan kembali!
Amin            : (Mengambil pisau dari keranjang alat-alat) Aku bisa melawanmu, Tuna. (Dokter mundur. Amin membuka tutup peti mati)
Tuna S          : Jangan, jangan kau buka peti ini!
Amin            : Aku harus membukanya!
Tuna S          : Aku bisa panggil polisi untuk menangkapmu, Amin. Kau mau merampok.
Amin            : Aku juga bisa panggil hakim untuk menghukummu. Kau sudah menyembunyikan mayat di sini.
Tuna S          : Jangan! Kubilang jangan, Amin! (Amin berhasil membuka peti mati. Dokter terpelanting ke sudut)
Amin            : (Dari dalam peti mati, Amin mengangkat sebuah kerangka tubuh manusia yang sudah amat berdebu kehitaman) Oh...
Tuna S          : Jangan ganggu dia, itu milikku!
Amin            : Inilah rupanya yang selama ini kau sembunyikan, dokter. Sebuah kerangka yang mati. Sebuah hati yang juga mati. Inilah hatimu. Hati yang kau simpan dalam bejana beling di laboraturium rumah sakitmu. (Amin mematahkan salah satu tulang) Kau pelihara hatimu seperti kau menyembunyikan tulang mati ini.
Tuna S          : Kau perampok. Siapa kau? Aku tidak mengenalmu, Amin.
Amin            : Kau memang tidak mengenalku. Tapi kau masih bisa mendengar suara Noni di hadapanmu.
Tuna S          : Noni sudah pergi. Dia pergi dengan sia-sia.
Amin            : Andalah yang sudah menyia-nyiakan pikirannya.
Tuna S          : Dia selalu membuatku tak bisa bekerja!
Amin            : Itu karena kau selalu bersembunyi di balik jendela rumah sakit. Di kamar yang anyir ini. Itulah kehidupan yang membuat kematian tak punya arti apa-apa, selain menjadi sebuah kebiasaan. Bagaimana kau bisa hidup dengan anggapan seperti itu, dokter. Kematian lebih berharga daripada kelahiran. Kita sudah berusaha banyak untuk sekedar bisa lahir. Lalu kenapa kematian bisa menjadi sesuatu yang biasa bagimu?
Tuna S          : (Jengkel) Kau bisa berkata begitu, karena kau belum terbiasa berkerja seperti aku.
Amin            : Aku menulis, dokter. Setiap hari, setiap waktu, setiap saat aku menginginkannya.
Tuna S          : Ya! Dan tulisan-tulisanmu itu cuma kau nikmati untuk dirimu sendiri. Kau persis seperti Noni. Kau pandai. Tapi kau tidak memberikan kehidupan pada orang lain. Aku sudah berjasa menyembuhkan beratus-ratus orang. Kau lihat, mereka semuanya tersenyum kepadaku. Tapi kau? Apa yang sudah kau buat untuk kehidupan? Bisamu cuma merampok dan menggannggu ketentraman pikiran orang. Apakah cuma begitu pekerjaan seorang pengarang? Kau tak berhak menerima kata terima kasih dari siapapun, karena kerjamu cuma menyulitkan kehidupan.
Amin            : Dengan tulisan-tulisanku, aku memang tidak langsung memberikan kehidupan pada orang lain. Tapi di sini aku ingin menawarkan kekayaan orang lain.
Tuna S          : Kekayaan? (Tertawa)
Amin            : Ya! Kekayaan pikiran. Bahwa penyakit dan kematian adalah hal yang berharga bagi hidup. Berharga karena dengan datangnya penyakit dan kematian, kehidupan menjadi perjuangan yang istimewa. Sambil terus membela kehidupan, aku ingin mereka tegak berperang melawan penyakit dan kematian. Kalaupun akhirnya mereka kalah, itu tak membatalkan usahanya dalam melawan. Melalui tulisan-tulisanku, akan aku berikan pada mereka nafsu berperang buat membela kehidupan. Juga berperang melawan hati yang mati seperti kepunyaanmu. Biarkan mereka sadar tentang itu, dokter.
Tuna S          : Mereka? Mereka siapa?!
Amin            : Orang-orang itu, pasien-pasienmu. Mereka yang akan datang berobat kepadamu.
Tuna S          : Mereka yang datang kepadaku adalah pasienku. Mereka semua akan patuh pada anjuran-anjuranku. Cuma kau yang perampok di sini. Kembalikan barang itu. Itu alat penelitianku! Dan aku hanya akan berpikir berdasarkan itu!
Amin            : Kau tak akan paham perasaanmu sendiri. Hatimu memang cuma hidup seperti benalu merekat bersama kerangka mati ini. Kalau begitu, inilah jawabanlku! (Amin membanting kerangka dan menghancurkannya)
Tuna S          : Amin! Gila kamu! (Dokter membunyikan bel keras-keras) Polisi! Panggil polisi! Suster! Satpam! Keamanan!
Orang tua     : Saya datang, dokter! Saya datang! (Orang tua membawa buntalan. Memandang heran)
Amin            : Diam di situ!
Tuna S          : Dia mengacau! Panggil polisi! (Orang tua beranjak)
Amin            : Diam di situ! Sekarang tiba giliranmu!
Orang tua     : Oh, saya? Jadi kamu sudah sembuh? Woow, kau tampak hebat, Amin. Matamu sudah kembali. Dokter, doaku tidak sia-sia, bukan? Astaga, aku yakin, aku tidak akan melihat perang dunia lagi setelah ini. Apa kubilang, Amin. Dia dokter terbaik di kota ini.
Amin            : Sekarang giliranmu!
Orang tua     : O, baik-baik. (Orang tua batuk-batuk, muntah. Nampak payah duduk di meja pemeriksaan)
Amin            : Periksa dia, dokter!
Tuna S          : Tidak! (Pada orang tua) Dia perampok. Dia mesti ditangkap. Lihat! Itu alat penelitianku. Dia hancurkan alat itu. Tanpa alat itu, aku tak akan bisa memeriksamu. Dia pengacau. Dia mesti kita tangkap.
Amin            : Kau sakit, Pak tua. Dokter itu harus bisa menyembuhkanmu tanpa bantuan barang rongsokan ini. (Amin membuang kerangka)
Tuna S          : Dia sinting! Dia kehabisan akal!
Orang tua     : Oh, aku belum pernah melihat pengarang seberani dia.
Tuna S          : Dia bukan pengarang, tapi dia perampok.
Orang tua     : Dia pengarang, Tuna!! Kau tidak melihat tanda-tanda itu di matanya? Dia bisa menambah devisa negara dengan mata setajam itu. Kita harus menyelamatkan dia, dokter? Kau tahu apa maksudku? (Mendekati Amin) Amin, setiap orang memang bisa keliru. Dia pernah disebut dokter terbaik di sini.
Amin            : Saya benci mendengarnya.
Orang tua     : Sudah kuduga kau akan berkata seperti itu. Hari ini dia memang betul-betul mengecewakanmu. Aku juga kecewa, Amin. Sangat kecewa. (Merubah air mukanya) Kau harus tahu, sudah puluhan kali sebenarnya aku datang kemari. Setiap kali datang penyakitku selalu begini. (Orang tua batuk-batuk dan muntah) Ini betul-betul penyakit dam aku benar-benar sakit. Tapi dia tidak pernah bisa menyembuhkan aku sampai sekarang. Inilah rahasia kecacadannya.
Tuna S          : Kau ngawur, Umat!
Orang tua     : Lihat! Dia orang yang cepat tersinggung kalau kelemahannya dibongkar. Aku tidak puas pada kerjanya., Amin. Setiap kali dia gagal menyembuhkan aku, dia selalu pura-pura memberi nasihat. Dia akan bicara soal kematian yang hangat. Kalau kita mati, katanya bidadari akan memberi kita selimut. Lalu kita ditontonnya memasuki sorga dan diberi KTP baru di sana. Segala soal beban kehidupan akan lepas dengan sendirinya. Lalu dia akan mengajakku duduk di depan peti mati ini. (Membuka tutup peti mati) Dan dia mulai marayuku untuk masuk ke dalamnya. (Menangis) Bayangkan, Amin.
Amin            : (Marah) Tuna, kau pembunuh. Kamu pembunuh!
Orang tua     : (Mengayunkan buntalan ke kepala Amin. Amin jatuh masuk peti mati) Ya, daia pembunuh. (Tertawa memandangi Amin) O, kita sudah menyelamatkannya, Tuna. Tugas ini harus selalu kita pikul bersama, dokter. Dia akan segera hidup tenang dan melupakan semua tulisan-tulisannya. Hiduplah pengarang! (Tertawa)
Tuna S          : Anda cekatan sekali. Anda datang tepat pada waktunya.
Orang tua     : Ya! (Tertawa berat) Apakah giliranku sudah tiba?
Tuna S          : Ya, duduklah. (Menutup peti mati)
Orang tua     : (Batuk-batuk dengan hebat, lalu muntah)
Tuna S          : Apa cita-cita anda?
Orang tua     : Saya sakit, dokter. Saya ingin sembuh.
Tuna S          : Siapa namamu?
Orang tua     : orang-orang memanggilku UMAT. Tapi saya hanya TAMU di sini. Ditempatku, orang lebih suka memanggilku MAUT.
Tuna S          : Apa?!
Orang tua     : (Terkekeh) Saya UMAT. Saya TAMU di sini. Tapi orang memanggilku MAUT. (Sambil membuka buntalan yang dibawanya. Terlihat tengkorak yang sudah sangat tua)
Tuna S          : Siapa?!! (Mundur ketakutan)
Orang tua     : Orang memanggilku Maut! Maut!!! (Tertawa keras)
Tuna S          : Jangan. Saya merasa takut sekarang.
Orang tua     : Tugas ini harus kita pikul bersama, dokter. (Mengasongkan tengkorak) Ayolah, waktunya sudah datang.
Tuna S          : Apa kamu tidak bisa melakukannya sendiri?
Orang tua     : Tidak! Tugas kita masing-masing sudah pasti. Ini tugasmu. Pakailah!
Tuna S          : Aku capek!
Orang tua     : Kau sudah biasa melakukannya. Kau akan segar setelah melakukannya.
Tuna S          : Dadaku sesak. Aku mau lari. (Terduduk)
Orang tua     : Tidak! Tugasmu di sini! (Memakaikan tengkorak ke kepala Amin)
Tuna S          : Jangan! Jangan ikat aku. Jangan ikat aku. Aku mau lari. Aku mau hidup.
Orang tua     : di sinilah hidupmu. Lihat padaku! (Memberikan jarum suntik pada tangan dokter) Waktumu sudah datang. Ayo Tuna, ayo. Kita tidak boleh terlambat. Kita tidak boleh menyesal. Ayo!
Tuna S          : (Menyuntikkan pada tangannya. Menyedot darah dari pangkal lengannya) Aku capek. Aku capek sekali.
Orang tua     : (Bersemangat) Hisap, Tuna. Hisap. Kita tidak boleh ragu. Kita tidak boleh ragu.
Tuna S          : (Bangkit, berteriak) Kasih aku pintu. Aku mau keluar! (Memandang jarum suntik yang sudah diisi darahnya sendiri)
Orang tua     : Di sinilah pintumu. Mari. (Dihadapkan pada peti mati yang terbuka, orang tua mengambil tangan Amin) Ambillah dia!
Tuna S          : Saya takut sekarang...
Orang tua     : (Keras) jarum itu lapar, Tuna. Jarum itu lapar. Ambil dia!
Tuna S          : (Meronta) Tidaaakk!! (Menusukkan jarum suntik ke tangan Amin. Serentak terdengar musik dentuman meriam dan desingan suara senjata yang ditembak-tembakkan. Panggungpun bergoyang keras)

SEKIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar