UJIAN MID SEMESTER
MENGIDENTIFIKASIKAN KEINDAHAN,
PEMADATAN
DAN KETIDAK LANGSUNGAN (EKSPRESI
TIDAK LANGSUNG)
DI DALAM PUISI
Mata Kuliah : Puisi
Dosen Pengampu : Dr. Sudaryono, M.Pd
Disusun
oleh:
Nama : Herti Gustina
NIM : A1B112005
Semester/Kelas : II/A
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013
Sketsa,
Saat Alif Bersanding Lam di Pelaminan Mim,
Dimas Arika Mihardja, halaman 58.
SAAT ALIF BERSANDING
LAM
DI PELAMINAN MIM
!
Allah
Allah
Allah
Allah
Allah Allah
dalam
rupa Maha
menafasi
segalanya
dan
angin yang penuh
dalam
kemasan keemasan
hingga
bulan bulat sempurna
mencahaya
di cerlang matahari
cair
jadi embun netes di ujung daun
baur
jadi satu larut dalam kelammalam
semua
memisteri dalam chemistry Illahi
saat
alif bersanding lam di pelaminan mim
semua
memisteri dalam chemistry Illahi
baur
jadi satu larut dalam kelammalam
cair
jadi embun netes di ujung daun
mencahaya
di cerlang matahari
hingga
bulan bulat sempurna
dalam
kemasan keemasan
dan
angin yang penuh
menafasi
segalanya
dalam
rupa Maha
Allah
Allah Allah
Allah
Allah
Allah
!
1432
h
Pada
dasarnya, hakikat sebuah puisi meliputi: keindahan, pemadatan dan
ketidaklangsungan ekspresi atau ekspresi tidak langsung. Aspek keindahan pada
puisi meliputi: gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, dan wacana yang terwujud
dalam tipografi puisi. Misalnya pada puisi di atas pada larik “dalam kemasan
keemasan” yang memadu padankan bunyi “an” atau pada larik “ semua memisteri
dalam chemistry Illahi” yang merupakan
keserasian bunyi “i”. Bait-bait puisi tersebut membentuk suatu tipografi puisi
yang berbentuk segitiga yang mengandung makna bahwa kedudukan Allah yang paling
utama atau paling tinggi karena Allah Maha Agung. Dan segala yang ada di
semesta ini semua menyatu dalam satu sujud yaitu Allah Yang Maha Agung. Selain
itu, bentuk tipogarafi segitiga tersebut membentuk suatu tingkatan tahta, yang
mana tahta paling atas adalah milik Allah SWT dan alas dari segitiga tersebut
adalah umatNya.
Aspek
kedua dalam sebuah puisi yaitu pemadatan dimana penyair hanya menggunakan
kata-kata inti atau dasar dengan meniadakan imbuhan, awalan dan akhiran. Hal
ini sesuai dengan sifat puisi yang imajinatis dimana dalam satu diksi mencakup
banyak makna seperi pada kata “Maha” yang merupakan pemadatan dari Maha Esa,
Maha Kuasa, Maha Bijaksana dan lain sebagainya yang menunjukkan kesempurnaan
wujud Allah SWT.
Aspek
ketiga dalam puisi yaitu ketidaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh
penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti. Penggantian arti ini
disebabkan oleh penggunaan bahasa kias. Seperti pada judul puisi di atas “Saat
Alif Bersanding Lam di Pelaminan Mim” yang merupakan majas personifikasi. Alif
dan Lam disandingkan bak sepasang kekasih di sebuah pelaminan. Jika kita
identifikasikan, alif merupakan abjad pertama dalam bahasa Arab. Adam merupakan
manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT. maka Adam dilambangkan dengan
alif. Adam yang tak tahan hidup sendiri kemudian dari tulang rusuknya Allah
ciptakan Hawa sebagai pendamping hidupnya. Dan seiring dengan berjalannya waktu
Adam dan Hawa dibuang ke bumi karena suatu kesalahan. Saat itulah misteri
dimulai dan Adam-Hawa adalah pelaku utama yang memerankan misteri Illahi
tersebut. Selain itu apabila kata per katanya dalam judul kita gabungkan, maka
menjadi satu bait dalam Al-Qur’an yaitu aliflammim
yang artinya Allah yang mengetahui maksud.
Selanjutnya
pada bait pertama, Si Penyair menggunakan tanda seru (!) yang menggambarkan
seseorang yang sedang menyeru dan letaknya pada bait paling awal mengisyaratkan
kedudukan Allah yang paling utama, tidak ada satupun yang lebih tinggi
derajatnya melainkan Dia. Dengan melihat bait selanjutnya dapat diketahui bahwa
seseorang tersebut menyeru nama Allah yang kita sebut saja sedang bertasbih
yakni pada bait ke-2, 3 dan 4.
Wujud
dari kesempurnaan Allah diwakili dengan kata Maha pada bait ke-5. Kemudian
Allah berikan kehidupan pada setiap makhlukNya sperti terdapat pada bait menafasi segalanya. Dan kata angin pada
bait berikutnya merupakan simbol dari Oksigen yang selalu kita hirup. Angin
selalu menempati ruang dimanapun kita berada. Angin tidak akan pernah ada
habisnya walau dihirup oleh berjuta-juta makhluk yang menempati bumi ini.
Inilah wujud dari kebesaran Allah SWT. yang tak mampu diampu oleh nalar
manusia.
Kemudian
kita dihidupkan dalam wadah bundar yang diisi kekayaan-kekayaan yang merupakan
berkah yang diberikan untuk kita. Allah Maha Sempurna, Dia menciptakan apa yang
ada di langit dan di bumi dengan amat sempurnanya. Kata kemasan di sini merupakan lambang dari bumi yang kita huni yang di
dalamnya kita dibungkus dengan atmosfer yang menjaga kita dari sengatan
matahari dan hantaman benda-benda angkasa yang bergentayangan di sekitar
planet. Sedangkan keemasan merupakan
kiasan dari bumi yang kaya sebagaimana kita menghargai emas dengan amat
mahalnya, begitulah isi bumi yang kita miliki yang teramat kaya. Dan dalam bait
hingga bulan bulat sempurna merupakan
wujud keberhasilan Allah SWT dalam menciptakan alam semesta ini.
mencahaya di cerlang
matahari dapat disepadankan dengan cahaya di atas cahaya,
dimana Allah SWT merupakan sumber dari segala sumber yang ada di langit maupun
di bumi. Menurut ilmu pengetahuan, matahari merupakan benda langit yang dapat
memancarkan cahaya sendiri. Nah, bagaimana cahaya tersebut bisa timbul,
jawabannya ada dalam chemistry Illahi. Pada bait ini terdapat majas metafora
yang mana cahaya matahari disamakan dengan sifat Allah yang Maha memberi cahaya
bagi makhlukNya.
Pada
bait cair jadi embun netes di ujung daun
terdapat unsur ambiguitas yang merupakan penyimpangan arti. Bait ini dapat
ditafsirkan sebagai segala yang diciptakan oleh Allah itu tersebar menjadi
sesuatu yang menyejukkan dan hanya segelintir orang yang dapat merasakan
kesejukannya. Sifat benda cair yaitu merambat ke segala tempat, begitupun apa
yang diciptakan Allah, menyebar ke seluruh bidang semesta. Embun memberi kesan
yang sejuk yang dihadiahkan kepada segelintir makhlukNya yang bertakwa.
Aspek
ketiga dari ketidaklangsungan ekspresi yaitu penciptaan arti yang disebabkan
oleh pola persajakan, enjambemen, tipografi dan homologue (persejajaran
baris). Hal ini dapat dilihat pada bait baur jadi satu larut dalam kalammalam yang
memberi kesan ketidakmampuan manusia melihat dan mengetahui segala rencana Allah
begitupun pada bait semua memisteri dalam
chemistry Illahi yang memberi arti bahwa segalanya tersebut sudah merupakan
misteri Illahi. Kalammalam mengiaskan
rahasia Allah. Dalam suasana malam yang kelam membuat mata kita tak mampu
melihat apa-apa begitu juga rahasia Allah baik yang ada di langit maupun di
bumi, baik yang akan terjadi hari ini maupun yang akan datang semuanya
bercampur baur dalam misteri Illahi yang tak bisa diterjemahkan oleh akal pikiran
manusia. Di dalam bait tersebut terdapat persejajaran bunyi “i” yang dapat
diartikan bahwa dari hal yang terkecil sekalipun Allah Maha Mengetahui apa yang
tidak diketahui manusia.
Saat alif bersanding
lam di pelaminan mim, saat itulah misteri Allah dimulai.
Segalanya menjadi suatu hal yang tak nampak yang hanya Allah yang mengetahui.
Bait
selanjutnya, Si Penyair mengulang bait yang telah ada sebelumnya. Ini merupakan
suatu ambiguitas yang mungkin Si Penyair menegaskan apa yang telah dijelaskan
sebelumnya, namun dari pengulangan tersebut menciptakan tipografi puisi yang
memiliki makna lain tentang kedudukan Allah. Tanda seru yang mengawali dan
mengakhiri puisi tersebut merupakan kiasan dari kita hidup dari Allah dan akan
kembali kepada Allah SWT. dan hidup maupun mati kita masih merupakan misteri Illahi.
Dari
puisi di atas dapat disimpulkan bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali
misteri yang tak mampu diteliti oleh akal pikiran manusia, tak mampu dilihat oleh
sepasang bola mata manusia, yang semuanya itu merupakan rahasia Illahi yang
hanya Allah Yang Maha Tahu. Allah SWT. hanya memberikan petunjuk lewat kitabNya
Al-Qur’an. Akantetapi hanya segelintir orang yang mampu menafsirkan setiap
petunjuk yang dianugerahkanNya.
Allah
SWT. merupakan sosok yang paling sempurna yang memberikan kehidupan dan
penghidupan di alam semesta ini dengan segala isi yang mengisi langit dan bumi
dalam keserasiannya, maka sudah sepantasnyalah kita bertasbih menyeru namaNya
sebagai wujud syukur yang dapat mengukur keimanan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar