Sabtu, 17 Desember 2016

SRI SUMARAH, BAWUK DAN PARA PRIYAYI



MAKALAH
SRI SUMARAH, BAWUK DAN PARA PRIYAYI

Dosen Pengampu:
Drs. H. Agus Salim, M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 5
1.    Dani Somdani    A1B112029
2.    Fitri Lestari          A1B112025
3.    Herti Gustina      A1B112005
4.    Teja Pratama       A1B112003


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang. Dengan seizin Allah SWT. akhirnya makalah yang kami beri judul Sri Sumirah, Bawuk dan Para Priyayi dapat terselaikan tepat pada waktunya.
Kemudian ucapan terima kasih kami haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini baik berupa sarana dan prasarana maupun berupa ide-ide supaya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini membahas mengenai strukturalisme dalam dongeng Sri Sumarah, Bawuk dan para Priyayi yang dikarang oleh Umar Kayam. Di dalam makalah ini juga membahas mengenai unsur mitos dalam karya sastra tersebut. Hal ini dirasa patut untuk dipelajari bagi mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia sebagai penunjang dalam pembelajaran sastra.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan. Bila ada kekurangan, maka kritik maupun saranlah yang kami harapkan supaya dapat kita pelajari dan perbaiki bersama.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

_, April 2013
Penyusun

Kelompok 5
i
 
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
2.1 Dongeng dari Umar Kayam sebagai Mitos........................................... 3
2.2 Analisis Struktural Dongeng Umar Kayam.......................................... 5
2.3 Struktur Dongeng Umar Kayam............................................................. 8
2.4 Nilai Jawa, Nalar Jawa dan Umar Kayam............................................ 9
BAB III PENUTUP............................................................................................ 11
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 11
3.2 Saran.......................................................................................................... 12
ii
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berbeda dengan analisis mengenai dongeng Bajo sebelumnya, dalam menganalisis dongeng Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi digunakan penggabungan antara analisis struktural Lévi-Strauss dengan pendekatan hermeneutik yang ditunjuk oleh Clifford Geertz (1973) yaitu perspektif struktural-hermeneutik.
Kelemahan dari hasil analisis antropologi hermeneutik adalah tingginya unsur subyektivitas peneliti dalam menafsirkan suatu fenomena, sehingga hampir segala macam tafsir dimungkinkan, sebagaimana tampak dalam berbagai analisis tafsiriah (interpretive) para ahli antropologi atas mitos, rituil, dan berbagai fenomena budaya lainnya. Hal ini memang sangat mungkin terjadi karena dalam antropologi hermeneutik sebuah tafsir atas suatu fenomena apapun wujudnya dibangun di atas elemen-elemen tafsir yang umumnya memang bersifat sangat subyektif, namun tidak disadari kesubyektifan oleh si penafsir. Akibatnya sulit bagi kita untuk menentukan tingkat kebenaran sebuah tafsir (jika kebenaran semacam itu memang ada).
Kelemahan semacam itu tentunya akan dapat diatasi jika kita berhasil menggabungkannya dengan analisis hermeneutis, karena melalui telaah hermeneutislah kita akan dapat memperoleh kembali ‘daging’ dari fenomena yang kita pelajari. Dengan menggabungkan cara analisis struktural dan pemahaman hermeneutis inilah saya berharap kita akan dapat memahami karya-karya Umar Kayam dari sudut pandang yang berbeda dengan yang sudah biasa diambil oleh para peneliti sastra di Indonesia pada umumnya, serta dapat menghasilkan sebuah tafsir yang lebih utuh, lebih holistik.

1.2  Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi penyimpangan atau kerancuan terhadap masalah yang dibahas dalam makalah ini, maka dibutuhkan rumusan masalah sebagai batasan-batasan terhadap pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini di antaranya sebagai berikut.
1.    Dongeng dari Umar Kayam sebagai Mitos;
2.    Analisis Struktural Dongeng Umar Kayam;
3.    Struktur Dongeng Umar Kayam;
4.    Nilai Jawa, Nalar Jawa dan Umar Kayam.

1.3  Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu agar baik pembaca maupun penulis pribadi dapat mengetahui dan memahami strukturalisme dalam dongeng Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi sebagai suatu mitos. Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat baik bagi pembaca maupun bagi penulis pribadi untuk penunjang pembelajaran dan untuk memperluas wawasan dan pemahaman mengenai sastra Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dongeng dari Umar Kayam sebagai Mitos
Kisah pribadi Umar Kayam menunjukkan bahwa ceritera-ceritera pendek dan panjang yang ditulisnya ketika itu merupakan perwujudan dari kebingungannya menghadapi situasi di pertengahan tahun 60-an tersebut. Boleh dikatakan bahwa ceritera-ceritera tersebut juga merupakan hasil dari upayanya untuk menjelaskan setidaknya pada dirinya sendiri terntang situasi tersebut.
Karya-karya Umar Kayam dapat diperlakukan seperti mitos adalah gaya dari cara penulisannya sendiri. Sebagaimana diakui oleh Umar Kayam, empat ceritera ini berbeda dalam cara ataupun gaya penulisannya dengan ceritera-ceritera pendeknya dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhatan. Kalau dalam Seribu Kunang-Kunang, Umar Kaya lebih cenderung untuk menulis satu reportase, maka dalam empat ceritera tersebut dia tidak lagi ingin berdiri sebagai penulis dan pengamat yang mengembil jarak ketika memaparkan hasil pengamatannya. Dia ingin lebih melibatkan dirinya sebagai seorang Umar Kayam yang memiliki tafsir-tafsirnya sendiri atas apa yang dilihatnya, dan kemudian memaparkan tafsir-tafsir tersebut dalam ceritera. Gaya reportase ternyata telah membuatnya bosan karena dalam reportase unsur-unsur tafsir yang berasal dari dirinya sebagai penulis mungkin harus dikekang untuk tidak tampil.
Dengan paradigma penulisannya yang baru, Umar Kayam kemudian berusaha untuk menampilkan dirinya sebagai penulis yang memberikan interpretasi terhadap apa yang dilihat dan dialaminya. Jadi, sewaktu menulis dongeng-dongeng Musim Gugur, Bawuk, Kimono Biru dan Sri Sumarah, tidak lagi mengambil jarak, akan tetapi telah melibatkan diri di tengah peristiwa itu sebagai aktor yang membuat “ interpretasi”.
Dalam menulis dongeng-dongeng tersebut, Umar Kayam memiliki tujuan yang berbeda dengan sewaktu dia menulis ceritera-ceritera pendeknya dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Ceritera-ceritera Musim Gugur kembali di connecticut, Kimono Biru, Sri Sumarah dan Bawuk merupakan dongeng-dongeng (a) sebuah upaya untuk memahami peristiwa dahsyat di Indonesia di tahun 1965, (b) Umar kayam mengambil posisi sebagai “Aktor yang membuat interpretasi.
Kemiripan antara dongeng orang Jawa dari Umar Kayam dengan etnografi keluarga Puerto Rico dari Oscar Lewis, apa yang dipaparkan oleh Umar Kayam tentang proses penulisan ceritera-ceriteranya mengingatkan pada pandangan Claude Lévi-Strauss, mengenai mitos dalam ulasannya tentang mitos-mitos orang Indian dari Amerika Selatan.
Dalam salah satu bukunya Lévi-Strauss mengatakan bahwa kehadiran mitos dalam kehidupan manusia adalah untuk mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia. Agar dapat memahami kontradiksi tersebut, nalar manusia kemudian mengindahkan kontradiksi-kontradiksi ini ke tataran simbolis dengan cara sedemikian rupa sehingga elemen-elemen yang kontradiktif kemudian dapat diotak-atik dan terciptalah kemudian sebuah sistem simbol yang tertata rapi dan apik.
Melalui sistem simbol semacam inilah manusia kemudian memandang, menafsirkan, dan memahami realitas empiris sehari-hari, sehingga realitas yang tampak kontradiktif, amburadul, dan tak terpahami lantas juga tampak tertata apik dan rapi, tidak mengandung kontradiksi ataupun hal-hal yang tidak masuk akal. Jadi, lewat mitos manusia pada dasarnya menciptakan ilusi-ilusi bagi dirinya bahwa segala sesuatu itu logis, masuk akal. Di situ mitos menjadi semacam tirai nalar (yang sadar atau tidak) menentukan cara manusia memandang, memahami dan menafsirkan kehidupan sehari-hari.
2.2 Analisis Struktural Dongeng Umar Kayam
Ketika lévi-Strauss mengatakan bahwa karya-karya sastra tidak atau kurang dapat dianalisis secara struktural, hal ini tampaknya berangkat dari hasil pengamatannya bahwa bagian-bagian suatu karya tidak lagi tersusun secara linear, sebagaimana yang umumnya terlihat pada mitos-mitos Indian dari Amerika Selatan. Sebaliknya bagian-bagian tersebut bisa di bolak-balik karena digunakannya teknik kilas balik atau (flash back) oleh si penulis ketika bercerita. Ini membuat analisis struktural yang menuntut adanya penempatan ceriteme-ceriteme secara sintakmatis, menjadi agak lebih sulit.
Dari analisis berbagai ceriteme terlihat adanya episode-episode yang menunjukkan perjalanan hidup tokoh-tokoh tertentu. Tafsir dan analisis atas episode serta struktur dari ceriteme inilah kemudian dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tentang siapa yang tidak harus dan harus menjadi korban dalam peristiwa gestapu 1965 di Indonesia menurut ceritera Umar Kayam. Telaah yang lebih mendalam atas tokoh-tokoh itu ternyata juga dapat membuka dimensi-dimensi baru tentang dongeng tersebut, sebagaimana terlihat di bagian akhir tulisan ini.
a.    Episode Latar Belakang Tokoh
Beberapa ceriteme yang ada dalam Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi dapat dirangkum dalam sebuah episode yang berjudul latar belakang tokoh. Latar belakang tiga tokoh (Tun, Bawuk dan Hari) ini memperlihatkan berbagai persamaan dan perbedaan yang menguatkan kesan bahwa masing-masing tokoh merupakan transformasi dari tokoh lain.
Transformasi pada ceritema tersebut kita temukan pada oposisi berpasangan dan elemen-elemen yang menyatukan pasangan tersebut. Dalam ceriteme jenis kelamin misalnya T dan B yang perempuan beroposisi dengan H yang laki-laki, tetapi dalam ceriteme keluarga, T dan H yang merupakan anak tunggal beroposisi dengan B, yang merupakan anak bungsu. Di lain pihak dalam ceriteme ekonomi B dan H yang kaya beroposisi dengan T yang miskin, sedang ceriteme posisi dalam keluarga kemudian menyatukan T, B, dan H yang saling beroposisi dan berpasangan dalam berbagai ceriteme sebelumnya.
b.    Episode Kehidupan Remaja
Pada episode ini ditemukan kembali ceriteme-ceriteme yang memperlihatkan variasi dari sebuah tema. Ada berbagai persamaan dan perbedaan yang memisahkan dan menyatukan tokoh yang satu dengan yang lain. Dalam masa remaja ini Tun yang berasal dari priyayi miskin yang tinggal di sebuah kecamatan mempunyai orientasi kehidupan orang di kota. Dia ingin menggapai kehidupan orang-orang kaya di kota. Disini T berlawanan dengan B dan H yang berasal dari keluarga priyayi kaya namun simpati sosial mereka justru pada wong cilik.
Dan disini terlihat lagi oposisi dan penyatuan. Ceriteme sifat-sifat individual menyatukan ketiga tokoh di atas, namun dalam ceriteme orientasi kehidupan tampak oposisi antara B da H terhadap T, sedang dalam ceriteme pendidikan masing-masing berbeda dengan yang lain namun ceriteme selanjutnya menyatukan kembali ketiga tokoh ini.
Ceriteme kehidupan menyatukan T, B, dan H karena mereka semua ternyata sama-sama hidup di antara dua dunia yakni dunia tradisi Jawa dan dunia pendidikan modern, sedang ceriteme kehamilan mempertentangkan H dengan T dan B tetapi ceriteme pernikahan menyatukan T dengan H  dan mempertentangkan mereka  dengan B. T dihamili dengan pacarnya Yos sebelum menikah, sedang H menghamili gadis, pacarnya juga sebelum menikah. Ceriteme jodoh menyatukan kembali T dengan B dan mempertentangkan mereka dengan H. Namun ceriteme pilihan kemudian menyatukan ketiga-tiganya, bukan pilihan orangtua sebagaimana sering terjadi dalam keluarga Jawa lama.
c.    Episode Kehidupan Keluarga Dan Politik
Dari episode ini kita melihat kembali persamaan dan perbedaan pada ceriteme-ceriteme yang membentuknya yang memperlihatkan variasi dari sebuah tema. Namun bebeda dengan ceriteme-ceriteme sebelumnya yang hanya menyangkut tiga tokoh, dalam episode ini sebagian ceriteme mencantumkan tokoh-tokoh pasangan T, B, dan H dan merupakan ceriteme tentang kegiatan tokoh-tokoh baru dalam organisasi PKI.
Ceriteme aktivitas menyatukan semua tokoh, tetapi ceriteme keanggotaan mempertentangkan B dan H dengan T dan yang lainnya karena B dan H bukanlah anggota PKI. Ceriteme pengetahuan memperlawankan H dengan T dan B. Namun ceriteme kegiatan mempertentangkan H dengan B, sedangkan T merupakan unsur pendengar karena T melakukan kegiatan kesenian dan diskusi politik, sedang B hanya melakukan kegiatan diskusi politik dan H hanya melakukan kegiatan kesenian.
d.    Episode Pelarian
Pada ceriteme kepergian, T dan B sangat jelas oposisinya terhadap H. Kalau T dan B pergi bersama suami, H tidak pergi dengan calon istrinya. Namun dalam ceriteme pamitan B dan H ganti beroposisi dengan T, karena T berpamitan kepada orang tuanya sebelum pergi demikian juga halnya dalam ceriteme penitipan karena T menitipkan anaknya kepada ibunya, sedangkan B dan H tidak. Selanjutnya dalam ceriteme penyerahan B berlawanan dengan T dan H karena B kemudian dibiarkan pergi oleh ibunya mencari suaminya lagi, sedangkan T dan H diserahkan kepada yang berwajib.
Pada ceriteme tentang kematian Y, H, dan G tanpa adanya perbedaan-perbedaan namun disini terlihat suatu peralihan yang bertahap. Selanjutnya ceriteme perlawanan menyatukan tokoh G dan Y yang mati tanpa mengadakan perlawanan dan mempertentangkan mereka dengan tokoh H yang mati dengan melakukan perlawanan. Oposisi ini kemudian diredakan lagi oleh ceriteme jumlah anak dan kelahiran anak.
e.    Episode Akhir Kisah
Di sini terlihat berbagai relasi homologi transformasi oposisi antara toko yang satu dengan yang lain. Pada ceriteme penjara, T dan H yang dipenjara beroposisi dengan B yang bisa bebas pergi dengan suaminya. T dan H juga beroposisi lagi dengan B dalam ceriteme pemindahan. Namun ceriteme tempat menyatukan B dan T sekaligus mempertentangkannya dengan H karena H tetap berada dirumah sendiri, sedang T dan B berada di kota lain. Ceriteme-ceriteme selanjutnya memperlihatkan serangkaian transformasi dari pengalaman-pengalaman tokoh T, B, dan H yang membedakan nasib masing-masing di akhir cerita.
Rantai sintakmatis dan para dikmatis ceriteme-ceriteme di atas sangat jelas menunjukkan adanya berbagai variasi pada sebuah tema yang mengandung di dalamnya homologi, oposisi, inversi, dan transformasi dari pengalaman-pengalaman tokoh.

2.3 Struktur Dongeng Umar Kayam
Dalam menguraikan berbagai episode yang dialami oleh tokoh-tokoh T, B dan H telah menempatkan mereka secara sinkronis (paradigmatis) dan diakronis (sintagmatis).
Secara diakronis urutan episode tersebut adalah sebagai berikut: latar belakang tokoh- kehidupan remaja- kehidupan keluarga- dan politik- pelarian- akhir kisah. Urutan episode sejarah kehidupan tersebut menunjukkan tahap-tahap mulai terlepasnya tokoh-tokoh T, B dan H dari keluarga inti mereka. Puncak aktifitas kehidupan mereka terjadi dalam episode “kehidupan keluarga dan politik “.
Atas dasar ceriteme dan episode yang telah diungkapkan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berkenaan dengan tokoh-tokoh T, B, dan H. Pertama-tama mereka ini adalah anak-anak yang cerdas yang memiliki tempat khusus dalam keluarga mereka, keluarga priyayi Jawa. Dalam hubungan anak dan orang tua mereka menenpati tempat yang istimewa. T dan H adalah anak-anak tunggal sehingga perhatian orang tua terhadap mereka tidak harus dibagi kepada anak-anak yang lain, tokoh B biarpun bukan anak tunggal namun dia merupakan anak bungsu perempuan yang istimewa dalam pandangan orang tuanya. Liminalitas budaya dari T, B dan H tercermin dari bagian-bagian ceritera berikut. Mengenai T aspek yang di tonjolkan oleh pengarang adalah aspek kebangsaan, yaitu peralihan dari Jawa ke Indonesia.
Tentang B aspek yang mencuat adalah aspek keagamaan, yaitu antara islam dan kafir yang dalam istilah Jawa disebut “ abangang “. Pada tokoh H aspek keJawaan adalah aspek yang ditampilkan pengarang untuk liminalitas tokoh ini yaitu antara priyayi dan wong cilik.
Dari simpulan-simpulan ini kita dapat mengatakan bahwa tokoh T, B, H adalah individu-individu yang tidak biasa dalam jagad sosial dan budaya mereka, yakni jagad para posisi mereka sebagai individu-individu yang “tidak harus” menjadi korban peristiwa gestapu dalam konteks dongeng tentang mereka.

2.4 Nilai Jawa, Nalar Jawa dan Umar Kayam
Dilihat dari perspektif keilmuan, secara metodologis, Umar Kayam sama sekali tidak melakukan hal yang aneh ataupun ganjil. Yang tidak lazim adalah bahwa jawaban atas pertanyaan yang dikemukakannya diberikan dalam bentuk sejumlah ceritera dengan struktur “sejarah kehidupan” yang tersembunyi, dan “sejarah” ini di banyak tempat ditambahi dengan “karangan”, dengan bumbu imajinasi, yang memang tidak berdasarkan pada realitas empiris.
Dalam posisi ini Umar Kayam lantas tidak sepenuhnya berada di dunia ilmu tetapi juga tidak sepenuhnya di dunia sastra, dunia seni. Dia menempatkan dirinya di antara dua bidang yang oleh banyak orang dipisahkan secara ketat. Posisi Umar Kayam ini mirip dengan posisi tokoh-tokoh T, B dan H, dalam ketiga dongengya, simpati Umar Kayam yang ditunjukkan pada tiga tokoh ini dalam dongengnya ditulisnya. Mungkin merupakan sebuah proyeksi dari situasi dirinya sendiri dalam kehidupan di tanah airnya Indonesia.
Jika dikaitkan dengan posisi Umar Kayam yang ilmuan dan seniman berada di tengah berarti berkarya dengan menyatukan dua hal yang berbeda: ilmu dan seni, menyatukan dongeng dan etnografi. Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi adalah dongeng yang sekaligus juga etnografi.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam makalah ini menerapkan cara analisis struktural seperti yang ditunjukkan oleh Lévi-Strauss dan analisisnya tentang mitos-mitos Indian dari Amerika Selatan.
Beberapa hal yang pantas dicatat dari hasil analisis di atas antara lain adalah: pertama, karya-karya sastra Umar Kayam yang diulas di sini ternyata memiliki benang-benang ceriteme yang terjalin satu sama lain sedemikian rupa sehingga karya-karya tersebut tampak sebagai jumlah variasi yang bergerak di sekitar sebuah tema. Tema tersebut adalah kisah tentang keluarga-keluarga priyayi Jawa beberapa anggotanya terlibat PKI sehingga mereka “harus” dan “ tidak harus“ , karena terjadinya peristiwa gestapu 1965.
Kedua, dalam beberapa karya Umar Kayam tersebut tersembunyi struktur-struktur tertentu yang “menjelaskan” mengapa beberapa tokoh di situ jatuh ke dalam lubang-lubang nasib mereka. Struktur-struktur tersebut adalah struktur “sejarah kehidupan” (life history) dan struktur “segitiga tegak” (aprraid three angel) dari tokoh-tokoh tersebut. Kedua struktur ini juga mencerminkan prinsip-prinsip nalar orang Jawa dalam memandang, menafsirkan dan memahami dunia seputar mereka. Prinsip-prinsip tersebut adalah keselarasan atau harmoni, kesinambungan dan kesatuan. Tiga prinsip ini terlihat dengan jelas dalam cara Umar Kayam menjalin benang-benang ceriteme menjadi satu dalam tiga dongeng etnografisnya.
Ketiga, kebebasan pengarang yang biasa dianggap sebagai sebuah kenyataan yang tak terbantah, ternyata tidak selamanya benar. Kebebasan Umar Kayam dalam menulis ceritera, menjalin  ceriteme, memilih kata-kata, ternyata merupakan sebuah kebebasan yang berada dalam suatu bingkai tertentu, suatu struktur nalar tertentu yang bersifat nirsadar. Struktur tersebut membatasi gerak kreatifitas tanpa disadari.
Keempat, nilai Jawa Sakmadia, tokoh mitis (mythical figure) Semar, sosok nyata Umar Kayam, dan tokoh dongeng etnografis Tun, Bawuk dan Hari dapat ditafsirkan sebagai perwujudan prinsip nalar Jawa yang selalu berusaha menyeimbangkan dan menyatukan elemen-elemen yang berlawanan pada tataran nilai, mitos, individu, dan hasil karya individu. Dalam bahasa strukturalisme tokoh-tokoh Tun, Bawuk, dan Hari adalah transformasi dari tokoh Umar Kayam. Tokoh Umar Kayam adalah transformasi-transformasi dari tokoh Semar dan tokoh adalah transformasi dari nilai sakmadia.

3.2 Saran
Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi merupakan salah satu dongeng karya Umar Kayam. Dalam dongeng tersebut mengandung struktur, mitos, nilai dan nalar Jawa. Dalam makalah ini, penulis telah memaparkan beberapa pembahasan mengenai judul tersebut. Akantetapi penulis menyadari akan banyaknya kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kritik maupun saran sangat diharapkan agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi pembaca maupun penulis pribadi.


DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, S.H. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya. Yogyakarta: Galang Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar