MAKALAH
SRI SUMARAH, BAWUK DAN PARA PRIYAYI
Dosen
Pengampu:
Drs.
H. Agus Salim, M.Pd
Disusun
oleh:
Kelompok
5
1. Dani
Somdani A1B112029
2. Fitri
Lestari A1B112025
3. Herti
Gustina A1B112005
4. Teja
Pratama A1B112003
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang. Dengan seizin Allah
SWT. akhirnya makalah yang kami beri judul Sri Sumirah, Bawuk dan Para Priyayi
dapat terselaikan tepat pada waktunya.
Kemudian
ucapan terima kasih kami haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini baik berupa sarana dan prasarana maupun berupa ide-ide
supaya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah
ini membahas mengenai strukturalisme dalam dongeng Sri Sumarah, Bawuk dan para
Priyayi yang dikarang oleh Umar Kayam. Di dalam makalah ini juga membahas
mengenai unsur mitos dalam karya sastra tersebut. Hal ini dirasa patut untuk
dipelajari bagi mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia sebagai penunjang dalam
pembelajaran sastra.
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan. Bila ada kekurangan, maka kritik maupun saranlah
yang kami harapkan supaya dapat kita pelajari dan perbaiki bersama.
Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
_,
April 2013
Penyusun
Kelompok 5
i
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................
i
DAFTAR
ISI......................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN..................................................................................
1
1.1 Latar
Belakang..........................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah...................................................................................
2
1.3 Tujuan
dan Manfaat Penulisan.............................................................
2
BAB
II PEMBAHASAN....................................................................................
3
2.1 Dongeng
dari Umar Kayam sebagai Mitos...........................................
3
2.2 Analisis
Struktural Dongeng Umar Kayam..........................................
5
2.3 Struktur
Dongeng Umar Kayam.............................................................
8
2.4 Nilai
Jawa, Nalar Jawa dan Umar Kayam............................................
9
BAB
III PENUTUP............................................................................................
11
3.1 Kesimpulan................................................................................................
11
3.2 Saran..........................................................................................................
12
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbeda
dengan analisis mengenai dongeng Bajo sebelumnya, dalam menganalisis dongeng
Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi digunakan penggabungan antara analisis
struktural Lévi-Strauss dengan pendekatan hermeneutik yang ditunjuk oleh
Clifford Geertz (1973) yaitu perspektif struktural-hermeneutik.
Kelemahan
dari hasil analisis antropologi hermeneutik adalah tingginya unsur
subyektivitas peneliti dalam menafsirkan suatu fenomena, sehingga hampir segala
macam tafsir dimungkinkan, sebagaimana tampak dalam berbagai analisis tafsiriah
(interpretive) para ahli antropologi atas mitos, rituil, dan berbagai fenomena
budaya lainnya. Hal ini memang sangat mungkin terjadi karena dalam antropologi
hermeneutik sebuah tafsir atas suatu fenomena apapun wujudnya dibangun di atas
elemen-elemen tafsir yang umumnya memang bersifat sangat subyektif, namun tidak
disadari kesubyektifan oleh si penafsir. Akibatnya sulit bagi kita untuk
menentukan tingkat kebenaran sebuah tafsir (jika kebenaran semacam itu memang
ada).
Kelemahan
semacam itu tentunya akan dapat diatasi jika kita berhasil menggabungkannya
dengan analisis hermeneutis, karena melalui telaah hermeneutislah kita akan
dapat memperoleh kembali ‘daging’ dari fenomena yang kita pelajari. Dengan
menggabungkan cara analisis struktural dan pemahaman hermeneutis inilah saya
berharap kita akan dapat memahami karya-karya Umar Kayam dari sudut pandang
yang berbeda dengan yang sudah biasa diambil oleh para peneliti sastra di
Indonesia pada umumnya, serta dapat menghasilkan sebuah tafsir yang lebih utuh,
lebih holistik.
1.2 Rumusan Masalah
Agar
tidak terjadi penyimpangan atau kerancuan terhadap masalah yang dibahas dalam
makalah ini, maka dibutuhkan rumusan masalah sebagai batasan-batasan terhadap pembahasan
dalam makalah. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini di antaranya sebagai
berikut.
1. Dongeng
dari Umar Kayam sebagai Mitos;
2. Analisis
Struktural Dongeng Umar Kayam;
3. Struktur
Dongeng Umar Kayam;
4. Nilai
Jawa, Nalar Jawa dan Umar Kayam.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini yaitu agar baik pembaca maupun penulis pribadi
dapat mengetahui dan memahami strukturalisme dalam dongeng Sri Sumarah, Bawuk
dan Para Priyayi sebagai suatu mitos. Penulis berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi pembaca maupun bagi penulis pribadi untuk penunjang
pembelajaran dan untuk memperluas wawasan dan pemahaman mengenai sastra
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dongeng dari Umar
Kayam sebagai Mitos
Kisah
pribadi Umar Kayam menunjukkan bahwa ceritera-ceritera pendek dan panjang yang
ditulisnya ketika itu merupakan perwujudan dari kebingungannya menghadapi
situasi di pertengahan tahun 60-an tersebut. Boleh dikatakan bahwa
ceritera-ceritera tersebut juga merupakan hasil dari upayanya untuk menjelaskan
setidaknya pada dirinya sendiri terntang situasi tersebut.
Karya-karya
Umar Kayam dapat diperlakukan seperti mitos adalah gaya dari cara penulisannya
sendiri. Sebagaimana diakui oleh Umar Kayam, empat ceritera ini berbeda dalam
cara ataupun gaya penulisannya dengan ceritera-ceritera pendeknya dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhatan. Kalau
dalam Seribu Kunang-Kunang, Umar Kaya lebih cenderung untuk menulis satu
reportase, maka dalam empat ceritera tersebut dia tidak lagi ingin berdiri
sebagai penulis dan pengamat yang mengembil jarak ketika memaparkan hasil pengamatannya.
Dia ingin lebih melibatkan dirinya sebagai seorang Umar Kayam yang memiliki
tafsir-tafsirnya sendiri atas apa yang dilihatnya, dan kemudian memaparkan
tafsir-tafsir tersebut dalam ceritera. Gaya reportase ternyata telah membuatnya
bosan karena dalam reportase unsur-unsur tafsir yang berasal dari dirinya
sebagai penulis mungkin harus dikekang untuk tidak tampil.
Dengan
paradigma penulisannya yang baru, Umar Kayam kemudian berusaha untuk
menampilkan dirinya sebagai penulis yang memberikan interpretasi terhadap apa
yang dilihat dan dialaminya. Jadi, sewaktu menulis dongeng-dongeng Musim Gugur, Bawuk, Kimono Biru dan Sri Sumarah, tidak lagi mengambil jarak, akan tetapi telah
melibatkan diri di tengah peristiwa itu sebagai aktor yang membuat “
interpretasi”.
Dalam
menulis dongeng-dongeng tersebut, Umar Kayam memiliki tujuan yang berbeda
dengan sewaktu dia menulis ceritera-ceritera pendeknya dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan.
Ceritera-ceritera Musim Gugur kembali
di connecticut, Kimono Biru, Sri Sumarah dan Bawuk merupakan dongeng-dongeng (a) sebuah upaya untuk memahami
peristiwa dahsyat di Indonesia di tahun 1965, (b) Umar kayam mengambil posisi
sebagai “Aktor yang membuat interpretasi.
Kemiripan
antara dongeng orang Jawa dari Umar Kayam dengan etnografi keluarga Puerto Rico
dari Oscar Lewis, apa yang dipaparkan oleh Umar Kayam tentang proses penulisan
ceritera-ceriteranya mengingatkan pada pandangan Claude Lévi-Strauss, mengenai
mitos dalam ulasannya tentang mitos-mitos orang Indian dari Amerika Selatan.
Dalam
salah satu bukunya Lévi-Strauss mengatakan bahwa kehadiran mitos dalam
kehidupan manusia adalah untuk mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi
empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia. Agar dapat memahami
kontradiksi tersebut, nalar manusia kemudian mengindahkan
kontradiksi-kontradiksi ini ke tataran simbolis dengan cara sedemikian rupa
sehingga elemen-elemen yang kontradiktif kemudian dapat diotak-atik dan
terciptalah kemudian sebuah sistem simbol yang tertata rapi dan apik.
Melalui
sistem simbol semacam inilah manusia kemudian memandang, menafsirkan, dan
memahami realitas empiris sehari-hari, sehingga realitas yang tampak
kontradiktif, amburadul, dan tak terpahami lantas juga tampak tertata apik dan
rapi, tidak mengandung kontradiksi ataupun hal-hal yang tidak masuk akal. Jadi,
lewat mitos manusia pada dasarnya menciptakan ilusi-ilusi bagi dirinya bahwa
segala sesuatu itu logis, masuk akal. Di situ mitos menjadi semacam tirai nalar
(yang sadar atau tidak) menentukan cara manusia memandang, memahami dan
menafsirkan kehidupan sehari-hari.
2.2 Analisis Struktural
Dongeng Umar Kayam
Ketika
lévi-Strauss mengatakan bahwa karya-karya sastra tidak atau kurang dapat dianalisis
secara struktural, hal ini tampaknya berangkat dari hasil pengamatannya bahwa
bagian-bagian suatu karya tidak lagi tersusun secara linear, sebagaimana yang
umumnya terlihat pada mitos-mitos Indian dari Amerika Selatan. Sebaliknya
bagian-bagian tersebut bisa di bolak-balik karena digunakannya teknik kilas
balik atau (flash back) oleh si penulis ketika bercerita. Ini membuat analisis
struktural yang menuntut adanya penempatan ceriteme-ceriteme secara sintakmatis,
menjadi agak lebih sulit.
Dari
analisis berbagai ceriteme terlihat adanya episode-episode yang menunjukkan
perjalanan hidup tokoh-tokoh tertentu. Tafsir dan analisis atas episode serta
struktur dari ceriteme inilah kemudian dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
tentang siapa yang tidak harus dan harus menjadi korban dalam peristiwa gestapu
1965 di Indonesia menurut ceritera Umar Kayam. Telaah yang lebih mendalam atas
tokoh-tokoh itu ternyata juga dapat membuka dimensi-dimensi baru tentang
dongeng tersebut, sebagaimana terlihat di bagian akhir tulisan ini.
a.
Episode
Latar Belakang Tokoh
Beberapa
ceriteme yang ada dalam Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi dapat dirangkum
dalam sebuah episode yang berjudul latar belakang tokoh. Latar belakang tiga
tokoh (Tun, Bawuk dan Hari) ini memperlihatkan berbagai persamaan dan perbedaan
yang menguatkan kesan bahwa masing-masing tokoh merupakan transformasi dari
tokoh lain.
Transformasi
pada ceritema tersebut kita temukan pada oposisi berpasangan dan elemen-elemen
yang menyatukan pasangan tersebut. Dalam ceriteme jenis kelamin misalnya T dan B yang perempuan beroposisi dengan H
yang laki-laki, tetapi dalam ceriteme keluarga,
T dan H yang merupakan anak tunggal beroposisi dengan B, yang merupakan anak
bungsu. Di lain pihak dalam ceriteme ekonomi
B dan H yang kaya beroposisi dengan T yang miskin, sedang ceriteme posisi dalam keluarga kemudian
menyatukan T, B, dan H yang saling beroposisi dan berpasangan dalam berbagai
ceriteme sebelumnya.
b.
Episode
Kehidupan Remaja
Pada
episode ini ditemukan kembali ceriteme-ceriteme yang memperlihatkan variasi
dari sebuah tema. Ada berbagai persamaan dan perbedaan yang memisahkan dan
menyatukan tokoh yang satu dengan yang lain. Dalam masa remaja ini Tun yang
berasal dari priyayi miskin yang tinggal di sebuah kecamatan mempunyai
orientasi kehidupan orang di kota. Dia ingin menggapai kehidupan orang-orang kaya
di kota. Disini T berlawanan dengan B dan H yang berasal dari keluarga priyayi
kaya namun simpati sosial mereka justru pada wong cilik.
Dan
disini terlihat lagi oposisi dan penyatuan. Ceriteme sifat-sifat individual menyatukan ketiga tokoh di atas, namun dalam
ceriteme orientasi kehidupan tampak oposisi
antara B da H terhadap T, sedang dalam ceriteme pendidikan masing-masing berbeda dengan yang lain namun ceriteme
selanjutnya menyatukan kembali ketiga tokoh ini.
Ceriteme
kehidupan menyatukan T, B, dan H karena
mereka semua ternyata sama-sama hidup di antara dua dunia yakni dunia tradisi Jawa
dan dunia pendidikan modern, sedang ceriteme kehamilan mempertentangkan H dengan T dan B tetapi ceriteme pernikahan menyatukan T dengan H dan mempertentangkan mereka dengan B. T dihamili dengan pacarnya Yos
sebelum menikah, sedang H menghamili gadis, pacarnya juga sebelum menikah.
Ceriteme jodoh menyatukan kembali T
dengan B dan mempertentangkan mereka dengan H. Namun ceriteme pilihan kemudian menyatukan ketiga-tiganya,
bukan pilihan orangtua sebagaimana sering terjadi dalam keluarga Jawa lama.
c.
Episode
Kehidupan Keluarga Dan Politik
Dari
episode ini kita melihat kembali persamaan dan perbedaan pada ceriteme-ceriteme
yang membentuknya yang memperlihatkan variasi dari sebuah tema. Namun bebeda
dengan ceriteme-ceriteme sebelumnya yang hanya menyangkut tiga tokoh, dalam
episode ini sebagian ceriteme mencantumkan tokoh-tokoh pasangan T, B, dan H dan
merupakan ceriteme tentang kegiatan tokoh-tokoh baru dalam organisasi PKI.
Ceriteme
aktivitas menyatukan semua tokoh,
tetapi ceriteme keanggotaan mempertentangkan
B dan H dengan T dan yang lainnya karena B dan H bukanlah anggota PKI. Ceriteme
pengetahuan memperlawankan H dengan T
dan B. Namun ceriteme kegiatan
mempertentangkan H dengan B, sedangkan T merupakan unsur pendengar karena T
melakukan kegiatan kesenian dan diskusi politik, sedang B hanya melakukan
kegiatan diskusi politik dan H hanya melakukan kegiatan kesenian.
d.
Episode
Pelarian
Pada
ceriteme kepergian, T dan B sangat
jelas oposisinya terhadap H. Kalau T dan B pergi bersama suami, H tidak pergi
dengan calon istrinya. Namun dalam ceriteme pamitan
B dan H ganti beroposisi dengan T, karena T berpamitan kepada orang tuanya
sebelum pergi demikian juga halnya dalam ceriteme penitipan karena T menitipkan anaknya kepada ibunya, sedangkan B
dan H tidak. Selanjutnya dalam ceriteme penyerahan
B berlawanan dengan T dan H karena B kemudian dibiarkan pergi oleh ibunya
mencari suaminya lagi, sedangkan T dan H diserahkan kepada yang berwajib.
Pada
ceriteme tentang kematian Y, H, dan G
tanpa adanya perbedaan-perbedaan namun disini terlihat suatu peralihan yang
bertahap. Selanjutnya ceriteme perlawanan
menyatukan tokoh G dan Y yang mati tanpa mengadakan perlawanan dan mempertentangkan
mereka dengan tokoh H yang mati dengan melakukan perlawanan. Oposisi ini
kemudian diredakan lagi oleh ceriteme jumlah
anak dan kelahiran anak.
e.
Episode
Akhir Kisah
Di sini
terlihat berbagai relasi homologi transformasi oposisi antara toko yang satu
dengan yang lain. Pada ceriteme penjara,
T dan H yang dipenjara beroposisi dengan B yang bisa bebas pergi dengan
suaminya. T dan H juga beroposisi lagi dengan B dalam ceriteme pemindahan. Namun ceriteme tempat menyatukan B dan T sekaligus
mempertentangkannya dengan H karena H tetap berada dirumah sendiri, sedang T
dan B berada di kota lain. Ceriteme-ceriteme selanjutnya memperlihatkan
serangkaian transformasi dari pengalaman-pengalaman tokoh T, B, dan H yang
membedakan nasib masing-masing di akhir cerita.
Rantai
sintakmatis dan para dikmatis ceriteme-ceriteme di atas sangat jelas
menunjukkan adanya berbagai variasi pada sebuah tema yang mengandung di dalamnya
homologi, oposisi, inversi, dan transformasi dari pengalaman-pengalaman tokoh.
2.3 Struktur Dongeng Umar
Kayam
Dalam
menguraikan berbagai episode yang dialami oleh tokoh-tokoh T, B dan H telah
menempatkan mereka secara sinkronis (paradigmatis) dan diakronis (sintagmatis).
Secara
diakronis urutan episode tersebut adalah sebagai berikut: latar belakang tokoh-
kehidupan remaja- kehidupan keluarga- dan politik- pelarian- akhir kisah. Urutan
episode sejarah kehidupan tersebut menunjukkan tahap-tahap mulai terlepasnya
tokoh-tokoh T, B dan H dari keluarga inti mereka. Puncak aktifitas kehidupan
mereka terjadi dalam episode “kehidupan keluarga dan politik “.
Atas
dasar ceriteme dan episode yang telah diungkapkan di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan berkenaan dengan tokoh-tokoh T, B, dan H. Pertama-tama
mereka ini adalah anak-anak yang cerdas yang memiliki tempat khusus dalam
keluarga mereka, keluarga priyayi Jawa. Dalam hubungan anak dan orang tua
mereka menenpati tempat yang istimewa. T dan H adalah anak-anak tunggal
sehingga perhatian orang tua terhadap mereka tidak harus dibagi kepada
anak-anak yang lain, tokoh B biarpun bukan anak tunggal namun dia merupakan
anak bungsu perempuan yang istimewa dalam pandangan orang tuanya. Liminalitas
budaya dari T, B dan H tercermin dari bagian-bagian ceritera berikut. Mengenai
T aspek yang di tonjolkan oleh pengarang adalah aspek kebangsaan, yaitu peralihan
dari Jawa ke Indonesia.
Tentang
B aspek yang mencuat adalah aspek keagamaan, yaitu antara islam dan kafir yang
dalam istilah Jawa disebut “ abangang “. Pada tokoh H aspek keJawaan adalah
aspek yang ditampilkan pengarang untuk liminalitas tokoh ini yaitu antara
priyayi dan wong cilik.
Dari
simpulan-simpulan ini kita dapat mengatakan bahwa tokoh T, B, H adalah
individu-individu yang tidak biasa dalam jagad sosial dan budaya mereka, yakni
jagad para posisi mereka sebagai individu-individu yang “tidak harus” menjadi
korban peristiwa gestapu dalam konteks dongeng tentang mereka.
2.4 Nilai Jawa, Nalar
Jawa dan Umar Kayam
Dilihat
dari perspektif keilmuan, secara metodologis, Umar Kayam sama sekali tidak
melakukan hal yang aneh ataupun ganjil. Yang tidak lazim adalah bahwa jawaban
atas pertanyaan yang dikemukakannya diberikan dalam bentuk sejumlah ceritera
dengan struktur “sejarah kehidupan” yang tersembunyi, dan “sejarah” ini di
banyak tempat ditambahi dengan “karangan”, dengan bumbu imajinasi, yang memang
tidak berdasarkan pada realitas empiris.
Dalam
posisi ini Umar Kayam lantas tidak sepenuhnya berada di dunia ilmu tetapi juga
tidak sepenuhnya di dunia sastra, dunia seni. Dia menempatkan dirinya di antara
dua bidang yang oleh banyak orang dipisahkan secara ketat. Posisi Umar Kayam
ini mirip dengan posisi tokoh-tokoh T, B dan H, dalam ketiga dongengya, simpati
Umar Kayam yang ditunjukkan pada tiga tokoh ini dalam dongengnya ditulisnya.
Mungkin merupakan sebuah proyeksi dari situasi dirinya sendiri dalam kehidupan
di tanah airnya Indonesia.
Jika dikaitkan dengan
posisi Umar Kayam yang ilmuan dan seniman berada di tengah berarti berkarya
dengan menyatukan dua hal yang berbeda: ilmu dan seni, menyatukan dongeng dan
etnografi. Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi adalah dongeng yang sekaligus
juga etnografi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
makalah ini menerapkan cara analisis struktural seperti yang ditunjukkan oleh
Lévi-Strauss dan analisisnya tentang mitos-mitos Indian dari Amerika Selatan.
Beberapa
hal yang pantas dicatat dari hasil analisis di atas antara lain adalah:
pertama, karya-karya sastra Umar Kayam yang diulas di sini ternyata memiliki
benang-benang ceriteme yang terjalin satu sama lain sedemikian rupa sehingga
karya-karya tersebut tampak sebagai jumlah variasi yang bergerak di sekitar
sebuah tema. Tema tersebut adalah kisah tentang keluarga-keluarga priyayi Jawa
beberapa anggotanya terlibat PKI sehingga mereka “harus” dan “ tidak harus“ ,
karena terjadinya peristiwa gestapu 1965.
Kedua,
dalam beberapa karya Umar Kayam tersebut tersembunyi struktur-struktur tertentu
yang “menjelaskan” mengapa beberapa tokoh di situ jatuh ke dalam lubang-lubang
nasib mereka. Struktur-struktur tersebut adalah struktur “sejarah kehidupan”
(life history) dan struktur “segitiga tegak” (aprraid three angel) dari
tokoh-tokoh tersebut. Kedua struktur ini juga mencerminkan prinsip-prinsip
nalar orang Jawa dalam memandang, menafsirkan dan memahami dunia seputar
mereka. Prinsip-prinsip tersebut adalah keselarasan atau harmoni, kesinambungan
dan kesatuan. Tiga prinsip ini terlihat dengan jelas dalam cara Umar Kayam
menjalin benang-benang ceriteme menjadi satu dalam tiga dongeng etnografisnya.
Ketiga,
kebebasan pengarang yang biasa dianggap sebagai sebuah kenyataan yang tak terbantah,
ternyata tidak selamanya benar. Kebebasan Umar Kayam dalam menulis ceritera,
menjalin ceriteme, memilih kata-kata,
ternyata merupakan sebuah kebebasan yang berada dalam suatu bingkai tertentu,
suatu struktur nalar tertentu yang bersifat nirsadar. Struktur tersebut membatasi
gerak kreatifitas tanpa disadari.
Keempat,
nilai Jawa Sakmadia, tokoh mitis (mythical figure) Semar, sosok nyata Umar Kayam,
dan tokoh dongeng etnografis Tun, Bawuk dan Hari dapat ditafsirkan sebagai
perwujudan prinsip nalar Jawa yang selalu berusaha menyeimbangkan dan menyatukan
elemen-elemen yang berlawanan pada tataran nilai, mitos, individu, dan hasil
karya individu. Dalam bahasa strukturalisme tokoh-tokoh Tun, Bawuk, dan Hari
adalah transformasi dari tokoh Umar Kayam. Tokoh Umar Kayam adalah
transformasi-transformasi dari tokoh Semar dan tokoh adalah transformasi dari
nilai sakmadia.
3.2 Saran
Sri
Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi merupakan salah satu dongeng karya Umar Kayam.
Dalam dongeng tersebut mengandung struktur, mitos, nilai dan nalar Jawa. Dalam
makalah ini, penulis telah memaparkan beberapa pembahasan mengenai judul
tersebut. Akantetapi penulis menyadari akan banyaknya kekurangan baik dalam
penulisan maupun dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kritik maupun saran
sangat diharapkan agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi pembaca maupun penulis pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra,
S.H. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss:
Mitos dan Karya. Yogyakarta: Galang Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar