TUGAS
KUMPULAN CERITA RAKYAT JAMBI
Mata
Kuliah : Sastra Daerah
Jambi
Dosen
Pengampu : Dr. Maizar Karim, M.Hum
Disusun
oleh:
KELOMPOK
II
Anggota:
1. Hari
Trisuroyo A1B112015
2. Herly
Okta Syaputra A1B112037
3. Herti
Gustina A1B112005
4. Imadona A1B112007
5. Laxmita
Dewi A1B112011
6. Mahdalena A1B112021
7. Masri
Simbolon A1B112017
8. Melan
Delvia A1B112043
9. Meri
Asparina A1B112031
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2013
DAFTAR ISI
1.
Hary Trisuroyo
·
Putri Tangguk.........................................................................................
2
2. Herti
Gustina
·
Budak Jantan Empat Berdulur..............................................................
14
·
Si Kelingking..........................................................................................
19
3. Herly Okta Saputra
·
Tan Talanai..............................................................................................
26
·
Suku Melayu Timur................................................................................
32
4. Masri Simbolon
·
Legenda Harimau Makan Durian...........................................................
37
5. Meri Asparina
·
Anak Yatim Terbuang............................................................................
46
·
Gadis Soleha...........................................................................................
49
6. Mahdalena
·
Putri Ayu Nyimas Rahma.......................................................................
51
·
Si Kelingking..........................................................................................
56
7. Laxmita Dewi
·
Ayam dan Musang..................................................................................
63
·
Kerbau Beranak Manusia........................................................................
66
8. Imadhona
·
Cerita Putri Pinang Masak, Asal Usul Suku Talang Mamak.................. 68
·
Datuk Kerungkung Bebulu.....................................................................
72
9. Melan Delvia
·
Legenda Danau Kerinci..........................................................................
75
·
Putei Senang...........................................................................................
77
Nama : Hary Tri Suroyo
NIM : A1B112015
PUTRI
TANGGUK
Dimana Putri Tangguk merupakan seorang
petani yang tinggal di Negeri Bunga Tanjung, Kecamatan Danau Kerinci, Provinsi
Jambi, Indonesia. Ia memiliki sawah hanya seluas tangguk, tetapi mampu menghasilkan
padi yang sangat melimpah. Pada suatu hari, Putri Tangguk dikejutkan dengan
sebuah peristiwa aneh di sawahnya. Ia mendapati tanaman padinya telah berubah
menjadi rerumputan tebal. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Temukan jawabannya
dalam cerita Putri Tangguk berikut ini!
* * *
Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci Jambi, ada seorang perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama suami dan tujuh orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bersama suaminya menanam padi di sawahnya yang hanya seluas tangguk. Meskipun hanya seluas tangguk, sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap habis dipanen, tanaman padi di sawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi, muncul lagi, dan begitu seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam menuai padi, tujuh lumbung padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun, kesibukan itu membuatnya lupa mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa mandi sehingga dakinya dapat dikerok dengan sendok. Ia juga tidak sempat bersilaturahmi dengan tetangganya dan mengurus ketujuh orang anaknya.
Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur, Putri Tangguk berkata kepada suaminya yang
sedang berbaring di atas pembaringan.
“Bang! Adik sudah capek setiap hari menuai padi. Adik ingin mengurus anak-anak dan bersilaturahmi ke tetangga, ungkap Putri Tangguk kepada suaminya.
“Lalu, apa rencanamu, Dik?” tanya suaminya dengan suara pelan.
“Begini Bang! Besok Adik ingin memenuhi ketujuh lumbung padi yang ada di samping rumah untuk persediaan kebutuhan kita beberapa bulan ke depan,” jawab Putri Tangguk.
“Baiklah kalau begitu. Besok anak-anak kita ajak ke sawah untuk membantu mengangkut padi pulang ke rumah,” jawab suaminya.
“Ya, Bang!” jawab Putri Tangguk.
Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap karena kelelahan setelah bekerja hampir sehari semalam. Ketika malam semakin larut, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan itu baru berhenti saat hari mulai pagi. akibatnya, semua jalan yang ada di kampung maupun yang menuju ke sawah menjadi licin.
Usai sarapan, Putri Tangguk bersama
suami dan ketujuh anaknya langsung bergegas brengkat untuk menuai padi dan
membawanya ke lumbung. Dalam perjalanan menuju ke sawah, tiba-tiba Putri
Tangguk terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan di belakangnya segera
menolongnya. Walau sudah ditolong, Putri Tangguk tetap marah-marah.
“Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk.
“Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan di sini sebagai pengganti pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.
Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi yang mereka bawa diserakkan di jalan itu sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya membawa pulang sedikit padi dan memasukkannya ke dalam lumbung padi. Sesuai dengan janjinya, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi di sawahnya yang seluas tangguk itu. Kini, ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia membuat baju untuk dirinya sendiri, suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi, kesibukannya menenun kain tersebut lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi ke rumah tetangga dan mengurus ketujuh anaknya.
Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain dari pagi hingga sore hari, sehingga lupa memasak nasi di dapur untuk suami dan anak-anaknya. Putri Tangguk tetap saja asyik menenun sampai larut malam. Ketujuh anaknya pun tertidur semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk pun ikut tidur di samping anak-anaknya.
Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena kelaparan. Ia menangis minta makan. Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya sehingga anak itu tertidur kembali. Selang beberapa waktu, anak-anaknya yang lain pun terbangun secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk kembali tidur. Namun, ketika anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan membujuknya, melainkan memarahinya.
“Hei, kamu itu sudah besar! Tidak perlu dilayani seperti anak kecil. Ambil sendiri nasi di panci. Kalau tidak ada, ambil beras dalam kaleng dan masak sendiri. Jika tidak ada beras, ambil padi di lumbung dan tumbuk sendiri!” seru Putri Tangguk kepada anak sulungnya.
Oleh karena sudah kelaparan, si Sulung pun menuruti kata-kata ibunya. Namun, ketika masuk ke dapur, ia tidak menemukan nasi di panci maupun beras di kaleng.
“Bu! Nasi dan beras sudah habis semua. Tolonglah tumbukkan dan tampikan padi!” pinta si Sulung kepada ibunya.
“Apa katamu? Nasi dan beras sudah habis? Seingat ibu, masih ada nasi dingin di panci sisa kemarin. Beras di kaleng pun sepertinya masih ada untuk dua kali tanak. Pasti ada pencuri yang memasuki rumah kita,” kata Putri Tangguk.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Tahan saja laparnya hingga besok pagi! Ibu malas menumbuk dan menampi beras, apalagi malam-malam begini. Nanti mengganggu tetangga,” ujar Putri Tangguk.
Usai berkata begitu, Putri Tangguk tertidur kembali karena kelelahan setelah menenun seharian penuh. Si Sulung pun kembali tidur dan ia harus menahan lapar hingga pagi hari.
Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan perut keroncongan. Si Bungsu menangis merengek-rengek karena sudah tidak kuat menahan lapar. Demikian pula, keenam anaknya yang lain, semua kelaparan dan minta makan. Putri Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju ke lumbung padi yang berada di samping rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah satu lumbung padinya, ia mendapati lumbungnya kosong.
“Hei, ke mana padi-padi itu?” gumam sang Suami.
Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu lumbung padinya yang lain. Namun, setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir pun biji padi yang tersisa.
“Dik...! Dik...! Cepatlah kemari!” seru sang Suami memanggil Putri Tangguk.
“Ada apa, Bang?” tanya Putri Tangguk dengan perasaan cemas.
“Lihatlah! Semua lumbung padi kita kosong. Pasti ada pencuri yang mengambil padi kita,” jawab sang Suami.
Putri Tangguk hanya ternganga penuh keheranan. Ia seakan-akan tidak percaya pada apa yang baru disaksikannya.
“Benar, Bang! Tadi malam pencuri itu juga mengambil nasi kita di panci dan beras di kaleng,” tambah Putri Tangguk.
“Tapi, tidak apalah, Bang! Kita masih mempunyai harapan. Bukankah sawah kita adalah gudang padi?” kata Putri Tangguk.
Usai berkata begitu, Putri Tangguk langsung menarik tangan suaminya lalu berlari menuju ke sawah. Sesampai di sawah, alangkah kecewanya Putri Tangguk, karena harapannya telah sirna.
“Bang! Pupuslah harapan kita. Lihatlah sawah kita! Jangankan biji padi, batang padi pun tidak ada. Yang ada hanya rumput tebal menutupi sawah kita,” kata Putri Tangguk.
Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya tercengang penuh keheranan menyaksikan peristiwa aneh itu. Dengan perasaan sedih, Putri Tangguk dan suaminya pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Selama dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi sikap dan perbuatannya selama ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap dan perlakuannya terhadap padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan menyerakkannya di jalan yang becek agar tidak licin.
“Ya... Tuhan! Itukah kesalahanku sehingga kutukan ini datang kepada kami?” keluh Putri Tangguk dalam hati.
Sesampainnya di rumah, Putri Tangguk tidak dapat berbuat apa-apa. Seluruh badannya terasa lemas. Hampir seharian ia hanya duduk termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua berjenggot panjang mengenakan pakaian berwarna putih.
“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu mengisi dasar Danau Kerinci sampai ke langit. Tetapi sayang, Putri Tangguk! Kamu orang yang sombong dan takabbur. Kamu pernah meremehkan padi-padi itu dengan menyerakkannya seperti pasir sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah, wahai Putri Tangguk...! Di antara padi-padi yang pernah kamu serakkan itu ada setangkai padi hitam. Dia adalah raja kami. Jika hanya kami yang kamu perlakukan seperti itu, tidak akan menjadi masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu perlakukan seperti itu, maka kami semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan tumbuh di sawahmu. Masa depan kamu dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil kerja sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu dan keluargamu tidak akan bisa makan jika tidak bekerja dulu. Hidupmu benar-benar akan seperti ayam, mengais dulu baru makan....” ujar lelaki tua itu dalam mimpi Putri Tangguk.
Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua itu sudah menghilang. Ia terbangun dari tidurnya saat hari mulai siang. Ia sangat sedih merenungi semua ucapan orang tua yang datang dalam mimpinya semalam. Ia akan menjalani hidup bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia sangat menyesali semua perbuatannya yang sombong dan takabbur dengan menyerakkan padi untuk pelapis jalan licin. Namun, apalah arti sebuah penyesalan. Menyesal kemudian tiadalah guna.
Demikian cerita Putri Tangguk dari Provinsi Jambi. Cerita di atas tergolong mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Di kalangan masyarakat Jambi, mitos ini sering dijadikan nasihat orang tua kepada anak-anaknya agar tidak menyia-nyiakan padi.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keburukan sifat sombong dan takabbur. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Putri Tangguk yang telah meremehkan padi dengan cara menyerakkannya di jalan yang licin sebagai pengganti pasir. Akibatnya, hidupnya menjadi sengsara karena padi-padi tersebut murka kepadanya.
Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa harta dan pekerjaan dapat membuat seseorang lalai, lengah, dan tidak waspada dalam berbuat, sehingga mengakibatkan kebinasaan dan malapetaka. Orang yang memiliki sifat-sifat tersebut biasanya akan menyadari kesalahannya setelah tertimpa musibah. Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan Melayu, “ingat setelah kena” (Tennas Effendy, 1995: 87). Hal ini tampak pada sikap dan perilaku Putri Tangguk, yang baru menyadari dan menyesali semua perbuatannya setelah tertimpa musibah, yakni padi ajaib enggan untuk kembali dan tumbuh lagi di sawahnya.
Sumber:
Kaslani. Buku Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo. 1998.
Dalam cerita ini mengisahkan seorang Raja Jambi
Pertama yang berasal dari negeri Keling (India). Pada suatu ketika, Negeri
Jambi dikacaukan oleh Hantu Pirau. Seluruh warga menjadi resah, karena mereka
tidak bisa keluar rumah mencari nafkah. Bagaimana Raja Jambi menaklukkan Hantu
Pirau itu..? marilah kita simak cerita berikut ini.
* * *
Alkisah, di Negeri Jambi, ada seorang raja yang
terkenal sakti mandraguna. Ia adalah Raja Jambi Pertama yang berasal dari
Negeri Keling. Selain sakti mandraguna, ia juga terkenal arif dan bijaksana. Ia
senantiasa memikirkan nasib dan mengutamakan kepentingan rakyatnya.
Karena kearifanya dia sangat disegani oleh
rakyat-rakyatnya.
Pada suatu ketika, suasana tenang tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan Hantu Pirau. Ia selalu datang menakut-nakuti anak-anak kecil yang sedang bermain dan mengganggu bayi-bayi yang sedang tidur. Jika melihat bayi ataupun anak-anak kecil, Hantu Pirau suka tertawa terkekeh-kekeh kegirangan, sehingga anak-anak menjadi ketakutan dan bayi-bayi pun menangis. Namun, jika para orangtua menjaga anak-anak mereka, hantu itu tidak berani datang mengganggu. Oleh karenanya, para orangtua setiap saat harus selalu menjaga anak-anak mereka baik ketika sedang bermain maupun tidur di buaian. Keadaan tersebut membuat warga menjadi resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah untuk pergi mencari nafkah.
Melihat keadaan itu, para pemimpin masyarakat dari Tujuh Koto, Sembilan Koto, dan Batin Duo Belas atau yang lazim disebut Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan, dan Dubalang Duo Belas, mencoba mengusir hantu tersebut dengan membacakan segala macam mantra yang mereka kuasai. Namun, semuanya sia-sia. Bahkan, kelakuan hantu itu semakin menjadi-jadi. Hampir setiap saat, baik siang maupun malam, ia selalu datang mengganggu anak-anak hingga menangis dan menjerit-jerit ketakutan.
“Segala cara sudah kita lakukan, tapi Hantu Pirau itu tetap saja tidak mau enyah dari negeri ini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dubalang Tujuh bingung.
“Bagaimana kalau kejadian ini kita sampaikan kepada raja?” usul Dubalang Sembilan.
“Aku setuju. Bukankah beliau seorang raja yang sakti mandraguna?” sahut Dubalang Duo Belas.
“Baiklah kalau begitu! Ayo kita bersama-sama pergi menghadap kepada raja,” kata Dubalang Tujuh.
Setelah mendapat kata mufakat, akhirnya ketiga dubalang tersebut segera menghadap Raja Negeri Jambi. Sesampainya di istana, mereka pun segera melaporkan semua peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka.
“Ampun, Baginda! Kami ingin melaporkan sesuatu kepada Baginda,” kata Dubalang Dua Belas.
“Katakanlah! Apakah gerangan yang terjadi di negeri ini, wahai Dubalang?” tanya Raja Jambi ingin tahu.
“Ampun Baginda! Beberapa hari ini, Hantu Pirau selalu datang mengganggu anak-anak kami. Mula-mula mereka merasa geli dan tertawa, tapi lama-kelamaan mereka menangis dan menjerit ketakutan,” jawab Dubalang Duo Belas.
“Ampun, Baginda! Kami sudah melakukan berbagai cara, namun Hantu Pirau itu selalu saja datang mengganggu mereka,” tambah Dubalang Sembilan.
“Bagaimana bentuk dan rupa Hantu Pirau itu? Apakah kalian pernah melihatnya?” tanya Raja Jambi.
“Belum Baginda! Kami hanya sering mendengar suara gelak tawanya kegirangan ketika anak-anak itu menangis dan menjerit-jerit,” jawab Dubalang Duo Belas.
Mendengar laporan para dubalang tersebut, Raja Jambi tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat dan sudah mulai memutih. Ia kemudian beranjak dari singgasananya lalu berjalan mondar-mandir.
“Baiklah kalau begitu. Pulanglah ke negeri kalian dan sampaikan kepada seluruh warga yang pandai membuat lukah ( sejenis alat untuk menangkapa ikan ). agar masing-masing orang membuat sebuah lukah!” titah Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Baginda! Untuk apa lukah itu? Bukankah sekarang belum musim berkarang (mencari ikan)?” tanya Duabalang Duo Belas dengan penuh keheranan.
“Sudahlah, laksanakan saja apa yang aku perintahkan tadi! Jangan lupa, setelah lukah-lukah tersebut selesai, segeralah memasangnya di atas bukit dengan mengikatkannya pada tonggak-tonggak yang kuat. Setelah itu, setiap pagi dan sore kalian bergiliran ke atas bukit untuk melihat lukah-lukah tersebut!” perintah sang Raja.
Mendengar penjelasan sang Raja, ketiga dubalang itu langsung mohon diri untuk melaksanakan perintah. Tak satu pun dari mereka yang berani kembali bertanya kepada raja. Dalam perjalanan pulang, mereka terus bertanya-tanya dalam hati tentang perintah sang Raja.
Sesampainya di negeri masing-masing, ketiga dulabang itu langsung menyampaikan perintah raja kepada seluruh warganya. Para warga hanya terheran-heran ketika menerima perintah itu. Ketika bertanya kepada ketiga dubalang, mereka tidak mendapat jawaban yang pasti. Sebab ketiga dubalang itu juga tidak mengetahui maksud sang Raja. Namun karena itu adalah perintah raja, para warga pun segera membuat lukah, meskipun dalam hati mereka selalu bertanya-tanya. Lukah-lukah tersebut kemudian mereka pasang di atas bukit yang tak jauh dari permukiman penduduk. Setiap pagi dan sore ketiga dubalang itu secara bergiliran naik ke atas bukit untuk melihat dan memeriksa lukah-lukah tersebut. Pada hari pertama, kedua, ketiga hingga hari keenam, belum menunjukkan adanya tanda-tanda yang mencurigakan.
Pada hari ketujuh di pagi hari, Dubalang Duo Belas mendapat giliran naik ke atas bukit untuk memeriksa lukah-lukah tersebut. Alangkah terkejutnya saat ia berada di atas bukit. Ia melihat sesuatu menggelepar-gelepar di dalam sebuah lukah. Bentuknya menyerupai manusia, tetapi kecil. Makhluk itu juga dapat berbicara seperti manusia. Ketika Dubalang Duo Belas mendekat, makhluk aneh itu mengeluarkan suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.
“Hei, sepertinya aku sering mendengar suara itu. Bukankah itu suara Hantu Pirau yang sering mengganggu anak-anak kecil?” tanya Dubalang Duo Belas dalam hati.
Setelah memastikan bahwa suara itu benar-benar Hantu Pirau, maka yakinlah ia bahwa makhluk yang terperangkap dalam lukah itu pastilah Hantu Pirau. Ia pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Baginda! Hamba baru saja dari bukit itu. Hamba menemukan seekor makhluk yang terperangkap ke dalam lukah. Apakah dia itu Hantu Pirau?” tanya Dubalang Duo Belas.
“Benar, dubalang! Bawalah Hantu Pirau itu kemari!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda! Hamba laksanakan!” ucap Dubalang Duo Belas seraya berpamitan.
Sebelum menuju ke atas bukit, ia mengajak Dubalang Sembilan dan Dubalang Tujuh untuk bersama-sama mengambil lukah tersebut. Setelah membuka tali pengikat lukah dari tonggak, ketiga dubalang tersebut membawa lukah yang berisi Hantu Pirau itu ke hadapan sang Raja.
“Sudah tahukah kalian, wahai dubalang! Makhluk inilah yang bernama Hantu Pirau yang sering menganggu anak-anak kecil,” ungkap sang Raja.
“Mengerti Baginda!” jawab ketiga dubalang itu serentak.
“Pengawal! Siapkan pedang yang tajam! Aku akan memotong-motong tubuh hantu ini,” perintah sang Raja kepada seorang pengawal.
Mendengar ancaman tersebut, Hantu Pirau itu pun langsung memohon ampun kepada Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Tuan! Janganlah bunuh hamba! Jika Tuan sudi melepaskan hamba dari lukah ini, hamba akan memenuhi segala permintaan Tuan. Bukankah Tuan adalah Raja yang arif dan bijaksana?”
“Baiklah, kalau begitu! Aku hanya ada dua permitaan. Pertama, setelah keluar dari lukah ini, tinggalkan negeri ini dan jangan pernah kembali mengganggu wargaku lagi, terutama anak-anak kecil. Kedua, serahkan cincin pinto-pinto (pinta-pinta, yakni cincin sakti, apo yang kuminta harus ado) itu kepadaku!” kata sang Raja.
Hantu Pirau pun langsung menyanggupi permintaan Raja Jambi. Setelah dikeluarkan dari lukah, ia pun segera menyerahkan cincin pinto-pinto nya kepada sang Raja, lalu pergi meninggalkan Negeri Jambi. Sejak itu, Negeri Jambi tidak pernah lagi diganggu oleh Hantu Pirau. Keadaan negeri kembali aman, damai dan tenang. Seluruh penduduk kembali melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dengan perasaan aman dan tenang.
Beberapa tahun setelah peristiwa Hantu Pirau itu, Raja Negeri Jambi tiba-tiba berpikir ingin membuktikan kesaktian cincin pinto-pinto pemberian Hantu Pirau. Namun karena keinginannya tidak ingin diketahui oleh rakyat Negeri Jambi, maka ia pun menyampaikan kepada rakyatnya bahwa dia akan pulang ke negerinya di Keling (India) dalam waktu beberapa lama.
Sesampai di negerinya, Raja Jambi pun segera menguji kesaktian cincin pinto-pinto itu.
“Hei cincin pinto-pinto! Jadikanlah Kota Bambay ini sebagai kota yang bertahtakan mutiara, batu permata, dan intan berlian!” pinta Raja Jambi.
Dalam waktu sekejap, suasana Kota Bombay tiba-tiba berubah menjadi gemerlap. Seluruh sudut kota dipenuhi dengan mutiara, batu permata dan intan berlian. Alangkah senang hati sang Raja melihat pemandangan yang indah dan menggiurkan itu. Ia pun enggan untuk kembali ke Negeri Jambi. Namun sebagai raja yang arif dan bijaksana, beberapa tahun kemudian ia mengutus salah seorang putranya yang bernama Sultan Baring untuk menggantikannya sebagai Raja Jambi.
Mendapat perintah itu, Sultan Baring pun segera berangkat ke Negeri Jambi bersama dengan beberapa orang pengawalnya. Sesampainya di Negeri Jambi, ia pun segera menyampaikan amanah ayahnya kepada seluruh rakyat Jambi bahwa sang Ayah tidak dapat lagi memerintah Negeri Jambi karena sudah tua. Setelah itu, ia membacakan surat pengangkatannya sebagai Raja Jambi Kedua setelah ayahnya. Rakyat Jambi pun menyambutnya dengan gembira, karena ia juga seorang Raja yang arif dan bijaksana seperti ayahnya. Konon, Sultan Baring inilah yang menurunkan raja-raja, sultan-sultan maupun raden-raden berikutnya, seperti Sultan Taha Saifuddin dan Raden Ino Kartopati.
* * *
Demikian cerita Raja Jambi Penakluk Hantu Pirau dari
daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang
mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat diambil dari cerita di atas
adalah keutamaan sifat musyawarah mufakat untuk mengatasi segala permasalahan.
Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Dubalang Tujuh, Dubalang
Sembilan, dan Dubalang Duo Belas. Ketika sudah tidak sanggup mengatasi Hantu
Pirau, mereka segera bermusyawarah untuk mencari jalan keluar. Dalam kehidupan
orang Melayu, musyawarah dan mufakat sangatlah dijunjung tinggi, dihormati dan
dimuliakan, karena dengan musyawarah segala kesulitan yang dihadapi mudah untuk
diselesaikan
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa ilmu pengetahuan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, karena dengan ilmu pengetahuan segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah. Oleh karenanya, setiap orang dituntut untuk rajin belajar agar mempunyai pengetahuan yang luas.
Nama : Herti Gustina
NIM :
A1B112005
BUDAK JANTAN EMPAT BERDULUR
Pada
zaman dahulu, ada empat anak laki-laki bersaudara. Walaupun keempat anak
tersebut merupakan saudara kandung dan dibesarkan di lingkungan yang sama,
akantetapi mereka mempunyai watak yang sangat jauh berbeda. Mereka dan kedua
orang tuanya dibuang ke sebuah pulau terpencil di sebelah timur Sepucuk Jambi
Sembilan Lurah. Sekarang pulau tersebut dikenal dengan nama Pulau Berhala.
Keadaan Pulau Berhala yang sekarang tidak sama keadaannya dengan pada saat
Pulau tersebut dihuni oleh keempat anak tersebut. Dahulu tempat tersebut merupakan
pulau karang yang tandus, hanya sebatang atau dua batang pepohonan dan pisang
hutan yang bisa tumbuh.
Karena
suatu fitnah, Pak Jasmino dan anggota keluarganya di buang ke pulau tersebut
oleh Penguasa Kerajaan Melayu Jambi. Mereka dibuang dengan tidak diberi satupun
perbekalan kecuali piranti dapur dan alat bertani yang seadanya.
Pak
Jasmino dengan dibantu oleh istri dan keempat anaknya akhirnya mampu membuat
pondok kecil dengan bahan-bahan seadanya yang mereka dapatkan baik yang ada
dari dalam pulau tersebut maupun yang dihanyutkan oleh arus ke pantai Pulau
tersebut. Mereka memakan segala yang bisa di makan di tempat tersebut.
Si
Sulung, demikian nama budak yang tertua, karena tidak tahan lapar, Ia
berhari-hari berada di pantai. Ikan-ikan yang terdampar di pantai ditangkapnya
baik dengan tangan maupun dengan sebilah kayu yang Ia tancapkan di badan ikan.
Kemudian cepat-cepat Ia melahapnya mentah-mentah karena tidak mau
dulur-dulurnya sampai mengetahui apa yang dilakukannya.
Lain
halnya dengan Si Bungsu, dulurnya yang paling bungsu. Ia pergi ke tempat yang
paling tinggi di pulau karang tersebut. Dari tempat tersebut Dia mengamati
keadaan di sekitar permukaan pulau tersebut. Pandangannya sesekali mengarah ke
pantai. Tampak dari kejauhan Si Sulung menceburkan badannya ke laut kemudian
naik ke permukaan sambil memakan sesuatu.
“Ha.....,
ada rupanya yang dimasukkan Si Sulung ke dalam kerongkongannya. Aku? Ah, aku
tidak suka mengganggu kebebasan makhluk apapun namanya. Apalagi membunuhnya!”
kata Si Sulung seraya berbicara pada dirinya sendiri.
Kemudian
dialihkan lagi pandangannya ke bawah, tampak Si Abang, begitu nama budak lelaki
anak kedua dari pasangan Jasmino dan Bungo. Si Abang tampak sedang
mengorek-ngorek tanah. Tidak henti-hentinya Ia mengorek hingga menyemburkan menyemburkan
mata air. Akhirnya Ia bertolak pinggang karena senang melihat air yang
menyembur ke permukaan. Tanah yang digalikannya tersebut kemudian menjadi
sebuah telaga. Di telaga tersebut, berhari-hari Si Abang merendamkan badannya
hingga melupakan makan. Dia hanya minum dan berendam sepuas-puasnya di telaga
yang Ia buat tersebut.
Selanjutnya
dialihkan lagi pandangannya ke bawah, bertolak belakang dengan keberadaan Si
Abang yang sedang asyik bermain-main dengan telaga yang dibuatnya sendiri tersebut,
tepatnya di sebelah barat. Di sebelah barat tampak Si Adik, begitulah panggilan
untuk anak lelaki ketiga dari pasangan Jasmino dan Bungo. Dia sedang asyik
memakan daun-daunan mentah dan buah-buahan pisang hutan. Dia terlihat sangat
rakus melahap dedaunan tersebut.
“Jadi...,
hanya aku yang tidak berusaha sendiri mencari pengisi perut? Mengapa aku tidak
berusaha dan berikhtiar? Tidak, aku tidak suka merusak lingkungan hidupku. Aku
akan turun untuk menemui Ayah dan Bunda”, katanya bagaikan orang gila.
Sesampainya
di pondokan, terlihat olehnya Ayah dan Ibunya sedang tertidur dengan sangat
pulas sekalipun pada hari siang bolong. “Lapar agaknya! Mengapa Ayah dan Ibu
tidak berusaha sebagaimana dulur-dulurku? Ya..., akan kubangunkan.” Kata Si
Bungsu berbicara dengan dirinya sendiri.
“Bungsu?
Engkau datang, Bungsu?” tanya ibunya yang telah terbangun dari tidurnya.
Ayahnya kemudian terbangun dan bertanya, “ Mana dulur-dulurmu, Bungsu?”
Pertanyaan
ayah dan ibunya kemudian dijawabnya dengan menceritakan segala yang telah
dilihatnya. Berkali-kali Ayah dan Ibunya menggeleng-gelengkan kepala seraya
tidak menyukai sikap ketiga anaknya tersebut. Ayahnya kemudian berkata
“Demikian itu hanya senang sementara, Bungsu! Untuk hidup tidak cukup dengan
ikan-ikan. Tidak pula cukup dengan dedaunan dan buah-buahan. Sekalipun air jadi
pokok kehidupan, tetapi ada air saja tidak cukup.”
“Bukankah
lebih baik dari yang aku kerjakan, Ayah. Aku hanya memandang mereka, sedangkan
perutku keroncongan.”
“Perilakumu
tidak juga baik, Bungsu.” Kata Ayahnya.
“Menurut
Ayah mana yang baik?” Tanya Si Bungsu.
“Semuanya
itu tidak baik.” Jawab Ayah.
“Yang
baik bagaimana, Ayah?” tanya Si Bungsu kebingungan.
Pak
Jasmino kemudian menjelaskan pendapatnya kepada Si Bungsu. Dikatakannya, sebagai
manusia yang dianugerahi akal pikiran haruslah berbudaya. Budaya adalah
pikiran, akal budi. Dengan mengolahnya maka akan menghasilkan buah budaya yang
disebut hasil budaya atau kebudayaan. Leluhur kita tegasnya, berbudaya dengan ikan
sebelum dimakan hendaknya dimasak terlebih dahulu, memakan sesuatu juga tidak
dengan rakus, bukan seperti yang dilakukan Si Sulung dan Si Adik. Agak berbudaya
Si Abang yang berhasil mengolah pikirnya hingga menghasilkan sumber mati air.
Andaikan kesemuanya tersebut dipadukan, maka akan baguslah kehidupan di pulau
ini, dan tidak menutup kemungkinan tempat ini akan subur dengan ditumbuhi
tumbuh-tumbuhan.
“Jadi
Ayah, aku mesti mengolah dan mengotak-ngatik akal budiku?”
“Terserah
kepadamu, Bungsu! Ayah tidak lama lagi hidup di alam fana ini. Rasanya tidak
lama lagi Ayah akan meninggalkanmu.”
Tak
lama kemudian, Ibunya meninggal dan disusul dengan Ayahnya. Si Bungsu meraung
sedih dan ketiga dulurnya yang mendengar suara Si Bungsu langsung menemui Si
Bungsu dan pecahlah suara tangis di pondokan tersebut.
Setelah
segala proses penguburan orang tua mereka selesai, Si Sulung kemudian berkata,
“Aku yang tertua dari kalian. Mulai saat ini kita cari garis kehidupan
masing-masing, agar kita tetap hidup menjelang ajal menjemput. Aku akan ke
laut, di sana aku mencari makan. Biarkanlah aku jadi orang laut.”
“Baik,
Sulung”, sela Si Bungsu. “Si Abang akan meninggalkan kami juga?”
“Ya,
aku akan meninggalkan pulau karang ini. Akan kucari tempat-tempat yang ada air
tawarnya. Dimana tempat yang ada danau dan sungai, di sana aku akan bermukim.”
“Aku
akan pergi juga, Bungsu”, kata Si Adik. “Aku akan pergi ke tempat yang tanahnya
subur, agar aku dapat bercocok tanam. Tetapi ingat, jika kelak engkau akan
mencariku, aku tidak di gunung, tidak di lembah, tetapi di tanah subur di tepi
sungai yang besar.”
“Baiklah...!
Turutlah kehendak hati masing-masing! Aku tidak usah dipikirkan, karena aku
akan mengotak-ngatik akal budiku sebagaimana diamanatkan almarhum dan
almarhumah.”
“Engkau
akan tetap di pulau karang ini, Bungsu?”
“Entahlah...,
sementara begitu!”
Setelah
mereka selesai berkumpul dan berbicara, ketiga kakak Si Bungsu kemudian
bergegas pergi meninggalkan Si Bungsu sendiri di pulau terpencil tersebut. Si
Sulung dengan sebatang kayu yang terdampar di tepi pantai, dia menyeberang ke
pantai Ujungjabung. Dialah yang diduga asal-usul Suku Bajau, si orang laut yang
suka mengembara dan hidup di laut.
Si
Abang dengan caranya sendiri berhasil menyeberangi pantai Ujungjabung. Kemudian
Si Abang pergi ke arah barat. Setelah sampai di pertemuan sungai yang hulunya
bercabang dua, yakni sekarang Muaratembesi. Di sanalah Dia menetap dan menikahi
gadis asli di daerah tersebut. Di sanalah dia mengawali hidup barunya dengan
akal budi dan dayanya. Konon, Dialah asal muasal orang Melayu.
Berbeda
dengan Si Adik yang suka sekali mengasingkan diri, dia berenang menuju pantai
Ujungjabung. Dia kemudian terus berjalan siang malam ke arah barat sampai di
pedalaman kawasan Bukit Duo Belas dan
menetap di sana. Di sana dia menikahi orang rimba yang ada di situ dan diduga dialah
asal-usul orang Kubu.
Si
Bungsu yang tinggal sendirian di pulau terpencil tersebut termenung mengingat
pesan orangtuanya. Terbesit di benaknya, “apakah kedua dulur-dulurku selamat?”
Lalu dia menarik nafas panjang dan berbisik sendiri “Kuciptakan hasil budayaku
sendiri”. Si Bungsu menuju ke pantai, mengumpulkan kayu-kayu yang terdampar dan
menjadikannya rakit. Rakit tersebut dianggapnya sebagai hasil budaya buah
tangannya. Sayup-sayup dia melihat sebuah kapal, lalu dia bakar kayu-kayu.
Asap-asap kayu yang mengepul membawa kapal tersebut menghampirinya. Dengan
kapal itu dia menumpang kapal tersebut sampai di pantai barat Pulau Sumatera
dan berjalan menuju ke arah Timur. Ia terhenti di kaki gunung tertinggi di
Pulau Sumatera. Dia berfikir bahwa tempat itulah yang akan Ia ciptakan
kebudayaan. Dialah asal-usul orang Kerinci.
ADN,
Mailoeddin, dkk. Budaya Daerah Jambi
Cerita Rakyat Jilid 1. 1994. Jambi: PT. Rakyan Putra.
Alkisah, di sebuah dusun di Negeri
Jambi, ada sepasang suami-istri yang miskin. Mereka sudah puluhan tahun membina
rumah tangga, namun belum dikaruniai anak. Segala usaha telah mereka lakukan
untuk mewujudkan keinginan mereka, namun belum juga membuahkan hasil. Sepasang
suami-istri itu benar-benar dilanda keputusasaan. Suatu ketika, dalam keadaan
putus asa mereka berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya Tuhan Yang Maha Tahu segala yang
ada di dalam hati manusia. Telah lama kami menikah, tetapi belum juga
mendapatkan seorang anak. Karuniankanlah kepada kami seorang anak! Walaupun
hanya sebesar kelingking, kami akan rela menerimanya,” pinta sepasang
suami-istri itu.
Beberapa bulan kemudian, sang Istri
mengandung. Mulanya sang Suami tidak percaya akan hal itu, karena tidak ada
tanda-tanda kehamilan pada istrinya. Di samping karena umur istrinya sudah tua,
perut istrinya pun tidak terlihat ada perubahan. Meski demikian, sebagai
seorang wanita, sang Istri benar-benar yakin jika dirinya sedang hamil. Ia
merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Ia pun berusaha
meyakinkan suaminya dengan mengingatkan kembali pada doa yang telah diucapkan
dulu.
“Apakah Abang lupa pada doa Abang
dulu. Bukankah Abang pernah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan
seorang anak walaupun sebesar kelingking?” tanya sang Istri mengingatkan.
Mendengar pertanyaan itu, sang Suami
pun termenung dan mengingat-ingat kembali doa yang pernah dia ucapkan dulu.“O
iya, kamu benar, istriku! Sekarang Abang percaya bahwa kamu memang benar-benar
hamil. Pantas saja perutmu tidak kelihatan membesar, karena bayi di dalam
rahimmu hanya sebesar kelingking,” kata sang Suami sambil mengelus-elus perut
istrinya.
Waktu terus berjalan. Tak terasa
usia kandungan istrinya telah genap sembilan bulan. Pada suatu malam, sang
Istri benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki sebesar kelingking. Betapa
bahagianya sepasang suami-istri itu, karena telah memperoleh seorang anak yang
sudah lama mereka idam-idamkan. Mereka pun memberinya nama Kelingking. Mereka
mengasuhnya dengan penuh kasih sayang hingga menjadi dewasa. Hanya saja,
tubuhnya masih sebesar kelingking.
Pada suatu hari, Negeri Jambi
didatangi Nenek Gergasi. Ia adalah hantu pemakan manusia dan apa saja yang
hidup. Kedatangan Nenek Gergasi itu membuat penduduk Negeri Jambi menjadi
resah, termasuk keluarga Kelingking. Tak seorang pun warga yang berani pergi ke
ladang mencari nafkah. Melihat keadaan itu, Raja Negeri Jambi pun segera
memerintahkan seluruh warganya untuk mengungsi.
“Anakku! Ayo bersiap-siaplah! Kita
harus pindah dari tempat ini untuk mencari tempat lain yang lebih aman,” ajak
ayah Kelingking.
Mendengar ajakan ayahnya itu,
Kelingking terdiam dan termenung sejenak. Ia berpikir mencari cara untuk
mengusir Nenek Gergasi itu. Setelah menemukan caranya, Kelingking pun berkata
kepada ayahnya, “Tidak, Ayah! Aku tidak mau pergi mengungsi.”
“Apakah kamu tidak takut ditelan
oleh Nenek Gergasi itu?” tanya ayahnya.
“Ayah dan Emak jangan khawatir. Aku
akan mengusir Nenek Gergasi itu dari negeri ini,” jawab si Kelingking.
“Bagaimana cara kamu mengusirnya,
sedangkan tubuhmu kecil begitu?” tanya emaknya.
“Justru karena itulah, aku bisa
mengusirnya,” jawab si Kelingking.
“Apa maksudmu, Anakku?” tanya
emaknya bingung.
“Begini Ayah, Emak. Tubuhku ini
hanya sebesar kelingking. Jadi, aku mudah bersembunyi dan tidak akan terlihat
oleh hantu itu. Aku mohon kepada Ayah agar membuatkan aku lubang untuk tempat
bersembunyi. Dari dalam lubang itu, aku akan menakut-nakuti hantu itu. Jika
hantu itu telah mati, akan aku beritakan kepada Ayah dan Emak serta semua
penduduk,” kata Kelingking.
Sang Ayah pun memenuhi permintaan
Kelingking. Ia membuat sebuah lubang kecil di dekat tiang rumah paling depan.
Setelah itu, ayah dan emak Kelingking pun berangkat mengungsi bersama warga
lainnya. Maka tinggallah sendiri si Kelingking di dusun itu. Ia pun segera
masuk ke dalam lubang untuk bersembunyi.
Ketika hari menjelang sore, Nenek
Gergasi pun datang hendak memakan manusia. Alangkah marahnya ketika ia melihat
kampung itu sangat sepi. Rumah-rumah penduduk tampak kosong. Begitu pula dengan
kandang-kandang ternak.
“Hai, manusia, kambing, kerbau, dan
ayam, di mana kalian? Aku datang ingin menelan kalian semua. Aku sudah lapar!”
seru Nenek Gergasi dengan geram.
Kelingking yang mendengar teriakan
itu pun menyahut dari dalam lubang.
“Aku di sini, Nenek Tua.”
Nenek Gergasi sangat heran mendengar
suara manusia, tapi tidak kelihatan manusianya. Ia pun mencoba berteriak
memanggil manusia. Betapa terkejutnya ia ketika teriakannya dijawab oleh sebuah
suara yang lebih keras lagi. Hantu itu pun mulai ketakutan. Ia mengira ada
manusia yang sangat sakti di kampung itu. Beberapa saat kemudian, si Kelingking
menggertaknya dari dalam lubang persembunyiannya.
“Kemarilah Nenek Geragasi. Aku juga
lapar. Dagingmu pasti enak dan lezat!”
Mendengar suara gertakan itu, Nenek
Gergasi langsung lari tungganglanggang dan terjerumus ke dalam jurang dan mati
seketika. Si Kelingking pun segera keluar dari dalam lubang tempat
persembunyiannya. Dengan perasaan lega, ia pun segera menyampaikan berita
gembira itu kepada kedua orangtuanya dan para warga, kemudian mengajak mereka
kembali ke perkampungan untuk melaksanakan keseharian seperti biasanya. Mereka
pun sangat kagum pada kesaktian Kelingking.
Berita tentang keberhasilan
Kelingking mengusir Nenek Gergasi itu sampai ke telinga Raja. Kelingking pun
dipanggil untuk segera menghadap sang Raja. Kelingking ditemani oleh ayah dan
emaknya.
“Hai, Kelingking! Benarkah kamu yang
telah mengusir Nenek Gergasi itu?” tanya sang Raja.
“Benar, Tuanku! Untuk apa hamba
berbohong,” jawab si Kelingking sambil memberi hormat.
“Baiklah, Kelingking. Aku percaya
pada omonganmu. Tapi, ingat! Jika hantu pemakan manusia itu datang lagi, maka
tahu sendiri akibatnya. Kamu akan kujadikan makanan tikus putih peliharaan
putriku,” acam sang Raja.
“Ampun, Tuanku! Jika hamba terbukti
berbohong, hamba siap menerima hukuman itu. Tapi, kalau hamba terbukti tidak
berbohong, Tuanku berkenan mengangkat hamba menjadi Panglima di istana ini,”
pinta Kelingking.Walaupun permintaan Kelingking itu sangatlah berat, sang Raja
menyanggupinya dengan pertimbangan bahwa mengusir hantu Nenek Gergasi tidaklah
mudah.Setelah itu, Kelingking bersama kedua orangtuanya memohon diri untuk
kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ayah dan emaknya selalui dihantui
rasa cemas dan takut kalau-kalau Nenek Gergasi kembali lagi. Hal itu berarti
nyawa anaknya akan terancam. Sesampainya di rumah, mereka pun meminta kepada
Kelingking agar menceritakan bagaimana ia berhasil mengusir hantu itu.
Kelingking pun menceritakan semua peristiwa itu dari awal kedatangan hantu itu
hingga lari tungganglanggang.
“Apakah kamu yakin Nenek Gergasi
tidak akan kembali lagi ke sini?” tanya ayahnya.
Mendengar pertanyaan itu, Kelingking
terdiam. Hatinya tiba-tiba dihinggapi rasa ragu. Jangan-jangan hantu itu
kembali lagi. Rupanya, si Kelingking tidak mengetahui bahwa Nenek Gergasi itu telah
mati karena terjerumus ke dalam jurang.
Seminggu telah berlalu, Nenek
Gergasi tidak pernah muncul lagi. Namun, hal itu belum membuat hati Kelingking
tenang. Suatu hari, ketika pulang dari ladang bersama ayahnya, ia menemukan
mayat Nenek Gergasi di jurang. Maka yakinlah ia bahwa Nenek Gergasi telah mati
dan tidak akan lagi mengganggu penduduk Negeri Jambi.
Keesokan harinya, Kelingking bersama
kedua orangtuanya segera menghadap raja untuk membuktikan bahwa ia benar-benar
tidak berbohong. Dengan kesaksian kedua orangtuanya, sang Raja pun percaya dan
memenuhi janjinya, yakni mengangkat Kelingking menjadi Panglima.
Setelah beberapa bulan menjadi
Panglima, Kelingking merasa perlu seorang pendamping hidup. Ia pun menyampaikan
keinginannya itu kepada kedua orangtuanya.“Ayah, Emak! Kini aku sudah dewasa.
Aku menginginkan seorang istri. Maukah Ayah dan Emak pergi melamar putri Raja
yang cantik itu untukku?” pinta Kelingking.Alangkah terkejutnya kedua
orangtuanya mendengar permintaan Kelingking itu.“Ah, kamu ini ada-ada saja
Kelingking! Tidak mungkin Baginda Raja mau menerima lamaranmu. Awak kecil,
selera gedang (besar),” sindir ayahnya.
“Tapi, kita belum mencobanya, Ayah!
Siapa tahu sang Putri mau menerima lamaranku,” kata Kelingking.
Mulanya kedua orangtuanya enggan
memenuhi permintaan Kelingking. Tapi, setelah didesak, akhirnya mereka pun
terpaksa menghadap dan siap menerima caci maki dari Raja. Ternyata benar,
ketika menghadap, mereka mendapat cacian dari Raja.“Dasar anakmu si Kelingking
itu tidak tahu diuntung! Dikasih sejengkal, minta sedepa. Sudah diangkat
menjadi Panglima, minta nikah pula!” bentak sang Raja.
Mendengar bentakan itu, kedua
orangtua Kelingking tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun pulang tanpa membawa
hasil. Mendengar berita itu, Kelingking tidak berputus asa. Ia meminta agar
mereka kembali lagi menghadap Raja, namun hasilnya pun tetap nihil. Akhirnya,
Kelingking memutuskan pergi menghadap bersama ibunya. Sesampainya di istana,
mereka tetap disambut oleh keluarga istana. Sang Putri pun hadir dalam
pertemuan itu. Kelingking menyampaikan langsung lamarannya kepada Raja.
“Ampun, Tuanku! Izinkanlah hamba
menikahi putri Tuanku,” pinta Kelingking kepada sang Raja.
Mengetahui bahwa ayahandanya pasti
akan marah kepada Kelingking, sang Putri pun mendahului ayahnya
berbicara.“Ampun, Ayahanda! Perkenankanlah Ananda menerima lamaran si
Kelingking. Ananda bersedia menerima Kelingking apa adanya,” sahut sang Putri.
“Nanti engkau menyesal, Putriku.
Masih banyak pemuda sempurna dan gagah di negeri ini. Apa yang kamu harapkan
dari pemuda sekecil Kelingking itu,” ujar sang Raja.
“Ampun, Ayahanda! Memang banyak
pemuda gagah di negeri ini, tapi apa jasanya kepada kerajaan? Sementara si
Kelingking, meskipun tubuhnya kecil, tapi ia telah berjasa mengusir dan
membunuh hantu Nenek Gergasi,” tandas sang Putri.
Mendengar pernyataan putrinya, sang
Raja tidak berkutik. Ia baru menyadari bahwa ternyata si Kelingking telah
berjasa kepada kerajaan dan seluruh penduduk di negeri itu. Akhirnya, sang Raja
pun menerima lamaran si Kelingking.
Seminggu kemudian. Pesta pernikahan
Kelingking dengan sang Putri dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan
dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan seni dan tari. Tamu undangan berdatangan
dari berbagai penjuru Negeri.Dari kejauhan, tampak hanya sang Putri yang duduk
sendirian di pelaminan. Si Kelingking tidak kelihatan karena tubuhnya terlalu
kecil. Di antara tamu undangan, ada yang berbisik-bisik membicarakan tentang
kedua mempelai tersebut.“Kenapa sang Putri mau menikah dengan si Kelingking?
Bagaimana ia bisa mendapatkan keturunan, sementara suaminya hanya sebesar
kelingking?” tanya seorang tamu undangan.
“Entahlah! Tapi, yang jelas, sang
Putri menikah dengan si Kelingking bukan karena ingin mendapatkan keturunan,
tapi ia ingin membalas jasa kepada si Kelingking,” jawab seorang tamu undangan
lainnya.
Usai pesta pernikahan putrinya, sang
Raja memberikan sebagian wilayah kekuasaannya, pasukan pengawal, dan tenaga
kerja kepada si Kelingking untuk membangun kerajaan sendiri. Setelah istananya
jadi, Kelingking bersama istrinya memimpin kerajaan kecil itu. Meski hidup
dalam kemewahan, istri Kelingking tetap menderita batin, karena si Kelingking
tidak pernah mengurus kerajaan dan sering pergi secara diam-diam tanpa
memberitahukan istrinya. Namun, anehnya, setiap Kelingking pergi, tidak lama
kemudian seorang pemuda gagah menunggang kuda putih datang ke kediaman
istrinya.
“Ke mana suamimu si Kelingking?”
tanya pemuda gagah itu.
“Suamiku sedang bepergian. Kamu
siapa hai orang muda?” tanya sang Putri.
“Maaf, bolehkah saya masuk ke
dalam?” pinta pemuda itu.
“Jangan, orang muda! Tidak baik
menurut adat,” cegat sang Putri.
Pemuda itu pun tidak mau memaksakan
kehendaknya. Dia pun berpamitan dan pergi entah ke mana. Melihat gelagat aneh
pemuda itu, sang Putri pun mulai curiga. Pada malam berikutnya, ia berpura-pura
tidur. Si Kelingking yang mengira istrinya sudah tidur pulas pergi secara
diam-diam. Namun, ia tidak menyadari jika ternyata istrinya membututinya dari
belakang.Sesampainya di tepi sungai, si Kelingking pun langsung membuka pakaian
dan menyembunyikannya di balik semak-semak. Kemudian ia masuk berendam ke dalam
sungai seraya berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebentar setelah membaca doa,
tiba-tiba seorang pemuda gagah berkuda putih muncul dari dalam sungai.
Alangkah, terkejutnya sang Putri menyaksikan peristiwa itu.
“Hai, bukankah pemuda itu yang
sering datang menemuiku?” gumam sang Putri.Menyaksikan peristiwa itu, sadarlah
sang Putri bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Dengan cepat,
ia pun segera mengambil pakaian si Kelingking lalu membawanya pulang dan segera
membakarnya. Tidak berapa lama setelah sang Putri berada di rumah, pemuda
berkuda itu datang lagi menemuinya lalu berpamitan seperti biasanya. Namun,
ketika sang Putri akan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba pemuda gagah itu kembali
lagi menemuinya.
“Maafkan Kanda, Istriku! Percayalah
pada Kanda, Dinda! Kanda ini adalah si Kelingking. Kanda sudah tidak bisa lagi
menjadi si Kelingking. Pakaian Kanda hilang di semak-semak. Selama ini Kanda
hanya ingin menguji kesetiaan Dinda kepada Kanda. Ternyata, Dinda adalah istri
yang setia kepada suami. Izinkanlah Kanda masuk, Dinda!” pinta pemuda gagah
itu.
Dengan perasaan senang dan gembira,
sang Putri pun mempersilahkan pemuda itu masuk ke dalam rumah, karena ia tahu
bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Setelah itu, sang Putri
pun bercerita kepada suaminya.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dindalah yang
mengambil pakaian Kanda di semak-semak dan sudah Dinda bakar. Dinda bermaksud
melakukan semua ini karena Dinda ingin melihat Kanda seperti ini, gagah dan
tampan,” kata sang Putri.Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia
karena mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup
bahagia. Si Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan
rakyatnya hidup damai dan sejahtera.
Nama : Herly
Octa Saputra
NIM :
A1B112037
TAN TALANAI
Tan Talanai adalah seorang raja yang pernah memerintah
di sebuah kerajaan di Jambi pada sekitar pertengahan abad ke-15 Masehi. Sang
raja memiliki seorang bayi laki-laki yang diharapkan dapat meneruskan tahta
sebagai Raja Jambi. Namun, baru beberapa hari setelah putranya lahir, Raja Tan
Talanai justru membuangnya ke lautan lepas. Mengapa Raja Tan Talanai membuang
putra kandungnya sendiri ke laut? Lalu, bagaimana nasib anak yang malang itu
selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Tan Talanai Berikut ini!
* * *
Pada zaman dahulu kala, Negeri Jambi dipimpin oleh
seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Dewa Sekerabah atau biasa dikenal
si Pahit Lidah. Namun sayang, sang raja tidak mempunyai keturunan sehingga
ketika ia wafat, Negeri Jambi menjadi kacau balau. Rakyatnya membentuk
kelompok-kelompok dan kemudian saling berperang satu sama lain.
Kabar tentang kekacauan di Negeri Jambi tersebar
hingga ke berbagai penjuru. Mendengar kabar tersebut, Tan Talanai yang
memerintah di Rabu Menarah, Turki, berambisi untuk menguasai Negeri Jambi.
Dengan berbagai upaya, akhirnya ia berhasil mengusai negeri itu dan menjadi
raja di sana.
Tan Talanai adalah raja yang arif dan bijaksana
sehingga rakyat negeri itu kembali damai, makmur, dan sejahtera. Seluruh rakyat
menyukai gaya kepemimpinan Tan Talanai. Sang raja pun amat bahagia karena
merasa hidupnya telah sempurna. Selain memiliki kekuasaan dan dihormati oleh
rakyatnya, ia juga mempunyai harta benda yang melimpah. Namun, ada satu hal
yang selalu mengganjal di pikiran Tan Talanai, yaitu karena ia belum mempunyai
anak. Ia senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar dikaruniai
keturunan.
“Ya, Tuhan! Berilah hamba seorang putra yang kelak
akan menggantikan kedudukan hamba sebagai pemimpin di negeri ini,” Tan Talanai
memohon dengan khusyuk.
Permintaan Tan Talanai terkabul. Sebulan kemudian,
sang permaisuri pun mengandung. Alangkah senangnya hati Tan Talanai mendengar
kabar tersebut. Ia selalu berdoa semoga bayinya lahir dengan selamat.
Beberapa bulan kemudian, sang permaisuri melahirkan
seorang anak laki-laki yang tampan. Tan Talanai menyambutnya dengan perasaan
bahagia. Selang tiga hari setelah bayi itu lahir, Tan Talanai mendapat laporan
dari ahli nujum istana bahwa kehadiran bayi itu justru akan membawa malapetaka
bagi kerajaannya.
“Malapetaka apa yang kamu maksud?” tanya Tan Talanai
kepada ahli nujumnya dengan cemas.
“Suatu saat jika telah dewasa, anak itu akan membunuh
Baginda,” jawab si ahli nujum.
“Apa katamu? Dia akan membunuhku?” tanya Tan Talanai
dengan terkejut, “Oh, ini tidak mungkin terjadi!”
Raja Negeri Jambi itu mulanya ragu dengan apa yang
baru saja didengarnya. Namun karena amat percaya dengan ucapan si ahli nujum
istana, maka sang raja pun segera memerintahkan patihnya, Datuk Emping Besi,
untuk membuang putranya ke lautan.
“Datuk Emping Besi, hanyutkan anak itu ke tengah
laut!” titah Tan Talanai.
Datuk Emping Besi sebenarnya tidak tega membuang bayi
itu, namun karena perintah raja ia pun terpaksa melakukannya. Sementara itu,
sang permaisuri yang mengetahui anak semata wayangnya itu hendak dibuang ke
laut menjadi bersedih hati. Ia pun segera membujuk sang raja agar mengurungkan
niatnya.
“Kanda, Dinda berharap Kanda tidak membuang putra kita
satu-satunya,” pinta sang permaisuri. “Masih ingatkah Kanda bahwa anak itu kita
peroleh setelah bertahun-tahun kita menunggu? Tapi, setelah karunia itu datang,
justru Kanda hendak menyia-nyiakannya.”
“Tapi, Dinda. Apalah gunanya kita mempunyai seorang
putra jika kelak akan membunuh ayahnya sendiri?” sanggah Tan Talanai.
Sang permaisuri pun tidak kuasa mencegah keinginan Tan
Talanai. Akhirnya, Datuk Emping Besi bersama beberapa pengawal istana segera
memasukkan bayi itu ke dalam peti lalu membuangnya ke lautan lepas. Peti yang
berisi bayi itu pun hanyut terbawa arus gelombang laut hingga terdampar di
perairan Negeri Siam (sekarang negara Thailand).
Sementara itu, ratu Negeri Siam yang bernama Tuan
Putri sedang asyik memancing di laut dengan menggunakan perahu bersama
pengawalnya. Saat itu, tiba-tiba ia melihat sebuah peti terapung di permukaan air
laut.
“Hai, lihat ada peti yang hanyut?” seru Tuan Putri.
Tuan Putri pun memerintahkan kepada para pengawalnya
untuk mengambil peti itu dan dinaikkan ke atas perahu mereka.
“Ayo, cepat buka peti itu!” ujar Tuan Putri penasaran.
“Baik, Tuan Putri!” jawab seorang pengawal seraya
membuka penutup peti itu.
Alangkah terkejutnya Tuan Putri karena peti itu berisi
seorang bayi laki-laki mungil yang sedang tidur nyenyak.
“Hai, anak siapa ini? Sungguh tega hati orang tuanya
yang telah membuangnya,” Tuan Putri berkata dengan perasaan iba..
Setelah diperiksa, ternyata pada dinding peti itu
terdapat sebuah tanda yang menunjukkan bahwa bayi tersebut adalah putra Tan
Talanai, sang Raja Jambi. Meskipun demikian, Tuan Putri tetap membawa pulang
bayi itu ke istananya. Alangkah senangnya hati Tuan Putri karena memang sudah
lama ia mendambakan seorang anak.
Sejak itu, putra Tan Talanai itu menjadi salah satu
anggota keluarga Kerajaan Siam. Di bawah asuhan Tuan Putri, bayi itu tumbuh
menjadi seorang anak yang cerdas dan sakti. Ia sangat mahir bermain silat
karena sejak kecil ia dilatih ilmu olah kanuragan oleh para pendekar Kerajaan
Siam. Selain itu, anak itu juga pandai bergaul dengan teman-teman sebayanya.
Suatu hari, sepulang dari bermain bersama
teman-temannya, anak itu duduk termenung seorang diri di pendapa istana.
Hatinya sedih karena teman-temannya sering mengolok-oloknya bahwa ia tidak
mempunyai ayah. Menyadari bahwa dirinya memang selama ini hanya dirawat dan
dibesarkan oleh Tuan Putri, ia pun segera menemui ibunya itu untuk menanyakan
siapa sebenarnya ayahnya.
“Bu, bolehkah Ananda menanyakan suatu hal kepada Ibu?”
tanya anak itu.
“Apa yang ingin kamu tanyakan, Putraku?” Tuan Putri
balik bertanya.
“Begini, Bu. Ananda malu setiap hari diolok-olok oleh
teman-teman kalau Ananda tidak mempunyai Ayah. Kalau boleh tahu siapa
sebenarnya ayah Ananda, Bu?”
Mendengar pertanyaan itu, Tuan Putri menghela nafas
panjang. Kemudian Tuan Putri menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di
Negeri Jambi yang bernama Tan Talanai.
“Lalu, bagaimana Ananda bisa berada di istana ini,
Bu?” tanya anak itu bingung.
“Hmmm… keadaan ini memang sangat sulit untuk
dipercaya, Putraku,” kata Tuan Putri.
“Apa maksud Ibu?” anak itu semakin bingung.
“Ketahuilah, Putraku. Sebenarnya, aku bukanlah ibu
kandungmu. Ibu hanya menemukanmu terapung-apung di tengah laut saat kamu masih
bayi dan merawatmu. Kedua orang tuamu saat ini berada di Negeri Jambi,” jelas
Tuan Putri.
Mendengar penjelasan itu, anak itu menjadi marah. Ia
pun bertekad untuk menghabisi nyawa ayahnya yang telah tega membuangnya sewaktu
masih bayi.
“Dasar orang tua tidak berperasaan! Ia pantas
dibinasakan!” geram si anak menahan amarah.
Anak itu pun menyusun rencana untuk melakukan
penyerangan ke Negeri Jambi pada tahun depan. Tuan Putri yang mengetahui
rencana itu, berupaya membujuk anak itu agar mengurungkan niatnya agar tidak
terjadi peperangan antara anak dengan orang tuanya sendiri. Namun, anak itu
tetap bertekad keras untuk menyerang kerajaan yang dipimpin oleh ayah
kandungnya itu. Akhirnya, Tuan Putri secara diam-diam mengirim utusan ke Negeri
Jambi untuk memberitahukan Tan Talanai mengenai rencana anaknya itu.
Di Negeri Jambi, Tan Talanai yang telah mendengar
berita tersebut menjadi marah. Ia pun memerintahkan para menterinya untuk mempersiapkan
pertahanan di sekitar ibukota Negeri Jambi.
Singkat cerita, genap satu tahun sudah berlalu. Putra
Tan Talanai bersama para pasukannya sedang bergerak menuju ke Jambi. Setiba di
negeri itu, perang antara dua pasukan yang masing-masing dipimpin oleh anak dan
ayah itu tidak dapat dihindari. Pasukan sang anak langsung menyerang dan dapat
mengalahkan pasukan sang Ayah, yang tersisa hanya Raja Tan Talanai. Pertarungan
satu lawan satu pun terjadi. Ayah dan anak itu sama-sama sakti sehingga duel berlangsung
dengan seru sampai pada akhirnya Tan Talanai mengalah karena menyadari semua
kekhilafannya.
“Baiklah, Putraku. Jika Ananda memang benar-benar
ingin membunuh Ayah, ambillah sebuah batu yang runcing lalu tikamkan ke
tubuhku. Hanya itu satu-satunya cara yang dapat membunuh Ayah,” kata Tan
Talanai. “Tapi, sebelum Ananda lakukan itu, tolong dengarkan dulu penjelasan
Ayah. Ayah benar-benar sangat menyesal telah percaya begitu saja pada ramalam
ahli nujum yang mengatakan bahwa Ananda akan mencelakai Ayah.”
Mendengar penjelasan dari ayahnya, hati anak itu
menjadi luluh. Ia pun memeluk sang ayah.
“Maafkan Ananda, Ayah! Ananda sudah lancang ingin
membunuh Ayah,” ucap anak itu sambil meneteskan air mata.
“Sudahlah, Putraku! Ayahlah yang harusnya minta maaf
karena telah menyia-nyiakanmu,” kata sang ayah.
Anak itu pun memaafkan semua kekhilafan ayahandanya
dan mengajak ayah serta ibu kandungnya untuk tinggal di Kerajaan Siam bersama
Tuan Putri. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia. Beberapa tahun kemudian,
putra Tan Talanai itu diangkat menjadi raja yang kemudian menurunkan Raja-raja
Siam berikutnya. Hingga saat ini, sebagian orang percaya bahwa Raja Siam
berasal dari Jambi dan Raja Jambi berasal dari Turki.
* * *
Demikian cerita Tan Talanai dari daerah Jambi. Pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya kita jangan
cepat percaya pada ramalan karena akan berakibat buruk bagi diri kita sendiri,
sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Tan Talanai. Oleh karena percaya pada
ramalam ahli nujum, ia pun tega membuang putra kandungnya sendiri. Perbuatan
Raja Tan Talanai tersebut tentu merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Pesan moral lain yang terkandung dalam cerita di atas
adalah keutamaan sifat pemaaf sebagaimana yang ditunjukkan oleh putra Raja Tan
Talanai. Ia dengan lapang dada memaafkan segala kesalahan ayahnya yang telah
membuangnya ke lautan. Dengan sifat pemaaf ini, kehamornisan keluarga dapat
selalu terjaga dan perselisihan pun dapat terhindarkan.
SUKU MELAYU TIMUR
Suku Melayu Timur termasuk
salah satu suku bangsa Melayu yang kini sebagian besar mendiami daerah Kuala
Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Konon, orang
yang disebut-sebut sebagai nenek moyang suku ini bernama Datuk Kedanding, yang
diduga merupakan keturunan dari orang-orang Minadanau (Filipina). Bagaimana
kisah selengkapnya mengenai asal-usul suku ini? Simak kisahnya dalam cerita Asal
Mula Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal berikut ini!
* * *
Ratusan tahun silam, di Negeri Melabang, Mindanau
(kini menjadi sebuah wilayah di Filipina), berdiri sebuah kerajaan yang
diperintah oleh seorang raja bernama Sultan Iskandar Bananai. Sang Raja memiliki
dua orang putra yang bernama Patukan (sulung) dan Mata Empat (bungsu). Kedua
pangeran itu memiki tabiat yang bertolak belakang. Pangeran Patukan adalah
seorang pemuda tampan yang baik hati, berbudi luhur, dan suka menolong.
Sedangkan, Pangeran Mata Empat memiliki sifat yang sangat buruk, kasar, tidak
sopan, dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Raja sudah menasehati anak
bungsunya itu, tapi kelakuan Pangeran Mata Empat justru semakin menjadi-jadi.
Sang Raja sangat malu dengan sifat dan kelakuan putranya itu.
Suatu hari, Sultan Iskandar Bananai memanggil seluruh
panglima dan penasehatnya untuk bermusyawarah di ruang sidang istana.
“Wahai, para panglima dan penasehat kerajaan! Kalian
pasti sudah tahu dengan sifat dan perilaku putraku, Mata Empat. Aku mengumpulkan
kalian untuk membicarakan masalah ini,” kata sang Raja, “Terus terang, aku
sudah tidak sanggup lagi mengatasi kelakuannya. Apakah kalian mempunyai
pandangan mengenai hal ini?”
Mendengar pertanyaan sang Raja, para panglima dan
penasehat kerajaan tertunduk diam. Mereka semua berpikir keras untuk mencari
jalan keluar dari permasalahan tersebut. Beberapa saat kemudian, salah seorang
penasehat kerajaan angkat bicara.
“Ampun, Baginda. Izinkanlah hamba menyampaikan saran
untuk mengatasi kelakuan putra Baginda,” kata penasehat kerajaan itu.
“Apakah saranmu itu? Katakanlah!” jawab sang Raja
dengan tidak sabar.
“Ampun, Baginda. Jika hamba boleh menyarankan,
alangkah baiknya jika Pangeran Mata Empat diasingkan dari negeri ini,” ungkap
penasehat kerajaan itu.
“Apa maksudmu diasingkan?” tanya sang Raja bingung.
“Ampun Baginda jika kata-kata hamba terlalu kasar.
Maksud hamba, barangkali akan lebih baik jika Pangeran Mata Empat diperintahkan
untuk pergi merantau mencari pengalaman,” jelas penasehat itu.
“Hmmm... saran yang bagus,” sahut sang Raja, “Aku
setuju saran itu.”
“Bagaimana dengan pendapat yang lain? Apakah kalian
setuju saran ini?” tanyanya seraya memandangi para peserta sidang lainnya.
“Setuju, Baginda,” jawab para peserta sidang dengan
serentak.
“Baiklah kalau begitu. Tolong panggilkan Pangeran Mata
Empat untuk menghadapku sekarang,” titah sang Raja.
Salah seorang panglima bergegas memanggil sang
Pangeran. Tidak lama kemudian, panglima itu pun kembali bersama Pangeran Mata
Empat. Saat tiba di ruang sidang, sang Pangeran terlihat kebingungan melihat
semua pembesar kerajaan sedang berkumpul menghadap ayahandanya.
“Ada apa Ayah memanggilku?” tanya Pangeran Mata Empat.
Dengan halus, Sultan Iskandar Bananai pun menyampaikan
hasil keputusan rapat itu kepada putranya. Mendengar keputusan itu, Pangeran
Mata Empat sangat marah.
“Ayah, keputusan ini tidak adil. Kenapa aku saja yang
disuruh merantau, sementara Abangku tidak?” tanya Pangeran Mata Empat dengan
kesal.
“Maafkan Ayah, Putraku! Ini sudah keputusan bersama
dalam sidang,” jawab sang Raja.
Pangeran Mata Empat tetap saja merasa keberatan. Ia
tidak ingin kalau hanya dirinya saja yang disuruh pergi merantau.
“Ayah, demi keadilan, Abang Patukan juga harus pergi
merantau. Tidak hanya aku,” pinta Pangeran Mata Empat.
Mendengar permintaan itu, Sultan Iskandar Bananai
justru yang keberatan. Ia amat sayang kepada Patukan. Ia adalah tumpuan
harapannya yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai raja. Setelah lama
berpikir, akhirnya sang Raja memenuhi permintaan itu.
“Baiklah, Putraku. Demi keadilan, Ayah memenuhi
permintaanmu. Abangmu pun akan Ayah perintahkan untuk pergi merantau,” ujar
sang Raja.
Pangeran Patukan adalah pemuda yang penurut. Maka,
ketika sang Ayah memintanya pergi merantau, ia tidak menolak. Bahkan, ia
menyambutnya dengan senang hati. Keesokan harinya, kedua pangeran itu
bersiap-siap untuk berlayar. Pangeran Patukan diberi sebuah kapal layar yang
dilengkapi perbekalan makanan serta beberapa pengawal dan dayang-dayang.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat diberi sebuah rakit yang juga dilengkapi
dengan perbekalan, pengawal, dan dayang-dayang. Ketika keduanya hendak
berangkat, Sultan Iskandar Bananai bersama permaisuri dan segenap rakyat
berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk melepas kepergian dua pangeran itu.
“Semoga kalian berhasil, wahai putra-putraku,” ucap
sang Raja melepas kedua putranya dengan doa.
“Terima kasih, Ayahanda! Nanda pun berharap agar Ayah
dan Ibunda tetap menjaga kesehatan,” kata Pangeran Patukan seraya mencium
tangan kedua orang tuanya.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat sudah berada di
atas rakit tanpa menyalami ayah dan ibundanya. Bahkan, ketika rakit itu mulai
meninggalkan pelabuhan, ia berkacak pinggang, tanpa melambaikan tangan sebagai
tanda perpisahan. Rupanya, ia masih kesal dengan keputusan ayahnya yang
mengharuskan dirinya pergi meninggalkan istana. Lain halnya dengan Pangeran
Patukan, ia terus melambaikan tangan kepada orang-orang yang melepasnya di
pelabuhan hingga kapal layarnya hilang dari pandangan mata.
Kedua pangeran itu berlayar terpisah tanpa tentu arah
untuk mencari keberuntungan masing-masing. Setelah berhari-hari berlayar, kedua
putra raja itu terombang-ambing di tengah laut. Suatu ketika, rakit Pangeran
Empat Mata terhempas badai hingga hancur berkeping-keping. Seluruh penumpangnya
jatuh ke laut dan terbawa arus gelombang. Untung ia berhasil meraih salah satu
potongan rakitnya. Ia pun terapung-apung di atas potongan rakit itu hingga
akhirnya terdampar di Tanah Merah (kini dekat Palembang). Konon, Pangeran Empat
Mata menetap di daerah itu hingga akhir hayatnya.
Sementara itu, Pangeran Patukan juga mengalami nasib
sama. Kapal layarnya dihempas badai dan gelombang besar hingga hancur. Seluruh
pengawal dan dayang-dayangnya tenggelam di tengah laut. Sang Pangeran pun dapat
menyelamatkan diri hingga terdampar di Pulau Lingga. Untung nasib baik berpihak
kepadanya karena ia berhasil ditemukan oleh Raja Lingga dan kemudian dibawa ke
istana.
“Hai, anak muda siapa kamu dan dari mana asalmu?”
tanya Raja Lingga.
“Ampun, Baginda. Hamba Pangeran Patukan, putra sulung
Sultan Iskandar Bananai dari Negeri Mindanau,” jawab sang Pangeran.
Pangeran Patukan kemudian menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya hingga terdampar di Pulau Lingga. Mendengar cerita itu, Raja Lingga
merasa amat gembira.
“Oh, kebetulan sekali, Pangeran. Sudah bertahun-tahun
kami menikah, tapi sampai sekarang Tuhan belum juga mengaruniai kami seorang
putra,” ungkap Raja Lingga, “Jika Pangeran berkenan, aku ingin mengangkat
Pangeran sebagai putraku. Setelah aku wafat kelak, engkaulah yang akan
menggantikanku sebagai raja di negeri ini.”
Mulanya, Pangeran Patukan bingung atas permintaan Raja
Lingga itu. Di negerinya, ia juga diharapkan untuk menjadi pengganti
ayahandanya sebagai raja. Namun, setelah mempertimbangkan bahwa Raja Lingga
telah menyelamatkannya, maka ia pun menerima permintaan tersebut. Sejak itulah,
Pangeran Patukan tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja Lingga.
Beberapa tahun kemudian, Raja Lingga wafat. Pangeran
Patukan pun dinobatkan sebagai Raja Lingga yang baru. Ia memerintah dengan adil
dan bijaksana sehingga dalam waktu singkat negeri itu menjadi makmur dan
sejahtera. Ia pun amat dicintai oleh rakyatnya.
Suatu hari, berita tentang Pangeran Patukan menjadi
Raja Lingga sampai juga ke Negeri Mindanau. Seluruh rakyat Mindanau menyambut
gembira kabar tersebut, terutama Sultan Iskandar Bananai dan permaisurinya.
Banyak di antara rakyat Mindanau yang ingin pindah ke Pulau Lingga untuk
mengabdi kepada Pangeran Patukan. Maka, dengan izin Sultan Iskandar Bananai,
penduduk Mindanau pun mulai berangsur-angsur pindah ke Negeri Lingga.
Semasa perpindahan penduduk Mindanau ke Pulau Lingga,
sebagian di antara mereka ada yang tersesat sampai ke Kuala Tungkal akibat
tidak tahu arah. Salah satunya adalah adalah Datuk Kedanding bersama
keluarganya. Konon, Datuk Kedanding inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang
orang-orang Suku Melayu Timur yang bermukim di daerah Kuala Tungkal.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Suku Melayu Timur di
Kuala Tungkal dari Provinsi Jambi. Kisah ini hanyalah sebuah
cerita rakyat yang diyakini oleh masyarakat tempat cerita ini berasal. Sebuah
cerita rakyat tidak selalu terkait dengan fakta-fakta sejarah. Tapi, yang lebih
penting adalah bagaimana kita bisa memahami dan mengamalkan pesan-pesan moral
yang terkandung di dalamnya. Salah pesan moral tersebut adalah bahwa orang yang
baik hati seperti Pangeran Patukan pada akhirnya akan mendapat anugerah.
Terbukti, ketika ia diangkat sebagai anak oleh Raja Lingga dan kemudian
dinobatkan menjadi raja di negeri tersebut. (Samsuni/sas/260/06-11)
Nama :
Masri Simbolon
NIM : A1B112017
LEGENDA HARIMAU MAKAN DURIAN
Desa Kemingking Dalam merupakan
termasuk wilayah kecamatan Taman Rajo, kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Daerah ini terkenal dengan berbagai macam hasil bumi salah satunya adalah
durian. Di desa Kemingking Dalam, musim durian biasanya tiba satu atau dua
tahun sekali dengan hasil yang berlimpah. Durian dari daerah ini terkenal
karena bentuknya yang tidak terlalu besar namun memiliki rasa khas yang manis
dan legit. Setiap musim panen tiba, masyarakat desa Kemingking Dalam akan
berbondong-bondong menunggui durian yang runtuh di kebun mereka masing-masing.
Mereka menjaga kebun ini bersama keluarga mereka baik di waktu siang maupun
malam. Tetapi, ketika musim panen hampir usai dan buah yang ada di pohon
tinggal sedikit, masyarakat desa Kemingking Dalam tidak akan lagi menunggui
kebun mereka di malam hari. Berkenaan dengan kebiasaan ini, terdapat sebuah
cerita di dalamnya.
Pada suatu masa ketika desa
Kemingking Dalam masih merupakan desa dengan pemerintahan tersendiri dan
raja-rajanya masih berkuasa. Rakyat hidup berdampingan dalam kedamaian dan
kesejahteraan berkat pemimpin yang bijaksana. Namun, tiba-tiba segala
kemakmuran itu terganggu dengan hadirnya seekor harimau besar dari negeri
seberang. Harimau ini buas, bengis, dan lapar. Ia tidak hanya menghabisi ternak
warga masyaraka, tetapi lambat laun harimau ini mulai menyerang manusia.
Membuat belasan orang meninggal sedangkan puluha lainnya luka-luka dengan cacat
pada tubuhnya.
Melihat hal ini, Raja yang
berkuasa di saat itu tidak dapat tinggal diam. Ia kemudian memerintahkan salah
seorang prajuritnya yang paling sakti untuk mengatasi krisis yang terjadi di
kerajaannya. Prajurit ini dengan patuh pergi mencari harimau untuk mengusir
atau membunuhnya. Ketika berhadapan dengan sang harimau prajurit ini langsung
menyerang dengan segala daya upaya yang dimilikinya. Namun sang harimau yang
sangat besar dan kuat dapat dengan mudah mematahkan pedang dan tombak senjata
sang prajurit serta melukai prajurit hingga terluka parah.
Mengetahui kondisinya yang tidak
lagi memungkinkannya untuk bertarung secara maksimal, sang prajurit kemudian
melarikan diri dari sang harimau dengan segenap kesaktiannya yang tersisa ia
dapat menghindari pengejaran si harimau selama beberapa musim. Hingga akhir
tahun itu tiba, cidera yang diderita sang prajurit masih belum pulih
sepenuhnya. Ia masih belum sanggup untuk melawan sang harimau yang terus
mengejarnya seorang diri. Hingga ketika itu sampailah sang prajurit di sebuah
daerah yang masih merupakan bagian dari wilayah Desa Kemingking Dalam sekarang
ini yang dipenuhi aroma manis dan tanahnya dipenuhi buah yang penuh duri.
Di tempat ini sang prajurit tidak
dapat lagi melarikan diri dan ia telah bertekad untuk melawan sang harimau
apapun taruhannya. Ketika sang harimau mendapati sang prajurit tidak lagi
melarikan diri ia pun menyerang sang prajurit tanpa ampun. Mereka kemudian
bertarung dengan seluruh kemampuan mereka. Hingga kemudian sang prajurit
menyadari kehadiran buah yang permukaannya dipenuhi duri itu. Ia kemudian
menggunakan buah yang di masa kini dikenal dengan nama Durian sebagai
senjatanya. Sang prajurit melempar harimau jahat itu dengan durian terus
menerus hingga harimau itu terluka parah dan menyadari bahwa ia telah kalah.
Saat hendak menghabisi sang
harimau, harimau pun meminta ampun atas semua kesalahan yang telah ia lakukan
di masa lalu. Ia pun berjanji kepada sang prajurit untuk tidak lagi menyerang
warga asalkan ia diperbolehkan untuk melahap sebagian dari buah yang penuh duri
yang tumbuh di tanah mereka itu. Karena rasa kasihan dan iba serta karena
melihat kesungguhan dari sang harimau, maka sang prajurit pun membiarkan harimau
untuk terus hidup dengan syarat ia tidak akan mendapat ampun lagi apabila ia
melanggar janjinya pada sang prajurit.
Maka setelah sekian lama dalam
pelarian kembalilah sang prajurit dengan kemenangan di pihaknya. Ia pun
melaporkan segala yang terjadi kepada Rajanya dan meneruskan sumpah sang
harimau kepada seluruh masyarakat untuk dihormati dan dipatuhi. Hingga
sekarang, sumpah sang harimau terus dijaga oleh masyarakat desa Kemingking
Dalam. Sehingga meskipun hutan desa Kemingking Dalam termasuk dalam wilayah
kekuasaan harimau, harimau-harimau ini tidak pernah menampakkan diri ataupun
menyerang warga. Mereka hanya muncul di waktu malam ketika musim durian hampir
usai untuk melahap buah-buah terakhir yang telah diperjanjikan untuknya. Dikutip dari cerita rakyat masyarakat sekitar Desa Kemingking
dengan perubahan dan gubahan seperluny
RAJA JAMBI PENAKLUK HANTU PIRAU
Raja
Jambi dalam cerita ini adalah Raja Jambi Pertama yang berasal dari negeri
Keling (India). Pada suatu ketika, Negeri Jambi dikacaukan oleh hantu Pirau.
Seluruh warga menjadi resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah mencari
nafkah. Bagaimana Raja Jambi menaklukkan Hantu Pirau itu? Kisahnya dapat Anda
ikuti dalam cerita Raja Jambi Penakluk Hantu Pirau berikut.
* * *
Alkisah,
di Negeri Jambi, ada seorang raja yang terkenal sakti mandraguna. Ia adalah
Raja Jambi Pertama yang berasal dari Negeri Keling. Selain sakti mandraguna, ia
juga terkenal arif dan bijaksana. Ia senantiasa memikirkan nasib dan
mengutamakan kepentingan rakyatnya. Keadaan ini membuat rakyat tenang dalam
melakukan pekerjaan sehari-hari mencari nafkah. Itulah sebabnya, ia sangat
disegani oleh seluruh rakyatnya.
Pada suatu ketika, suasana tenang
tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan Hantu Pirau. Ia selalu datang
menakut-nakuti anak-anak kecil yang sedang bermain dan mengganggu bayi-bayi
yang sedang tidur. Jika melihat bayi ataupun anak-anak kecil, Hantu Pirau suka
tertawa terkekeh-kekeh kegirangan, sehingga anak-anak menjadi ketakutan dan
bayi-bayi pun menangis. Namun, jika para orangtua menjaga anak-anak mereka,
hantu itu tidak berani datang mengganggu. Oleh karenanya, para orangtua setiap
saat harus selalu menjaga anak-anak mereka baik ketika sedang bermain maupun
tidur di buaian. Keadaan tersebut membuat warga menjadi resah, karena mereka
tidak bisa keluar rumah untuk pergi mencari nafkah.
Melihat keadaan itu, para pemimpin
masyarakat dari Tujuh Koto, Sembilan Koto, dan Batin Duo Belas atau yang lazim
disebut Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan, dan Dubalang Duo Belas, mencoba
mengusir hantu tersebut dengan membacakan segala macam mantra yang mereka
kuasai. Namun, semuanya sia-sia. Bahkan, kelakuan hantu itu semakin
menjadi-jadi. Hampir setiap saat, baik siang maupun malam, ia selalu datang
mengganggu anak-anak hingga menangis dan menjerit-jerit ketakutan.
“Segala cara sudah kita lakukan,
tapi Hantu Pirau itu tetap saja tidak mau enyah dari negeri ini. Apa yang harus
kita lakukan sekarang?” tanya Dubalang Tujuh bingung.
“Bagaimana kalau kejadian ini kita
sampaikan kepada raja?” usul Dubalang Sembilan.
“Aku setuju. Bukankah beliau
seorang raja yang sakti mandraguna?” sahut Dubalang Duo Belas.
“Baiklah kalau begitu! Ayo kita
bersama-sama pergi menghadap kepada raja,” kata Dubalang Tujuh.
Setelah mendapat kata mufakat,
akhirnya ketiga dubalang tersebut segera menghadap Raja Negeri Jambi.
Sesampainya di istana, mereka pun segera melaporkan semua peristiwa yang sedang
menimpa negeri mereka.
“Ampun, Baginda! Kami ingin
melaporkan sesuatu kepada Baginda,” kata Dubalang Dua Belas.
“Katakanlah! Apakah gerangan yang
terjadi di negeri ini, wahai Dubalang?” tanya Raja Jambi ingin tahu.
“Ampun Baginda! Beberapa hari ini,
Hantu Pirau selalu datang mengganggu anak-anak kami. Mula-mula mereka merasa
geli dan tertawa, tapi lama-kelamaan mereka menangis dan menjerit ketakutan,”
jawab Dubalang Duo Belas.
“Ampun, Baginda! Kami sudah
melakukan berbagai cara, namun Hantu Pirau itu selalu saja datang mengganggu
mereka,” tambah Dubalang Sembilan.
“Bagaimana bentuk dan rupa Hantu
Pirau itu? Apakah kalian pernah melihatnya?” tanya Raja Jambi.
“Belum
Baginda! Kami hanya sering mendengar suara gelak tawanya kegirangan ketika
anak-anak itu menangis dan menjerit-jerit,” jawab Dubalang Duo Belas.
Mendengar laporan para dubalang
tersebut, Raja Jambi tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat dan
sudah mulai memutih. Ia kemudian beranjak dari singgasananya lalu berjalan
mondar-mandir.
“Baiklah kalau begitu. Pulanglah ke
negeri kalian dan sampaikan kepada seluruh warga yang pandai membuat lukah[1]
agar masing-masing orang membuat sebuah lukah!” titah Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Baginda! Untuk apa lukah
itu? Bukankah sekarang belum musim berkarang (mencari ikan)?” tanya
Duabalang Duo Belas dengan penuh keheranan.
“Sudahlah, laksanakan saja apa yang
aku perintahkan tadi! Jangan lupa, setelah lukah-lukah tersebut selesai,
segeralah memasangnya di atas bukit dengan mengikatkannya pada tonggak-tonggak
yang kuat. Setelah itu, setiap pagi dan sore kalian bergiliran ke atas bukit
untuk melihat lukah-lukah tersebut!” perintah sang Raja.
Mendengar penjelasan sang Raja,
ketiga dubalang itu langsung mohon diri untuk melaksanakan perintah. Tak satu
pun dari mereka yang berani kembali bertanya kepada raja. Dalam perjalanan
pulang, mereka terus bertanya-tanya dalam hati tentang perintah sang Raja.
Sesampainya di negeri
masing-masing, ketiga dulabang itu langsung menyampaikan perintah raja kepada
seluruh warganya. Para warga hanya terheran-heran ketika menerima perintah itu.
Ketika bertanya kepada ketiga dubalang, mereka tidak mendapat jawaban yang
pasti. Sebab ketiga dubalang itu juga tidak mengetahui maksud sang Raja. Namun
karena itu adalah perintah raja, para warga pun segera membuat lukah,
meskipun dalam hati mereka selalu bertanya-tanya. Lukah-lukah tersebut
kemudian mereka pasang di atas bukit yang tak jauh dari permukiman penduduk.
Setiap pagi dan sore ketiga dubalang itu secara bergiliran naik ke atas bukit
untuk melihat dan memeriksa lukah-lukah tersebut. Pada hari pertama,
kedua, ketiga hingga hari keenam, belum menunjukkan adanya tanda-tanda yang
mencurigakan.
Pada hari ketujuh di pagi hari,
Dubalang Duo Belas mendapat giliran naik ke atas bukit untuk memeriksa lukah-lukah
tersebut. Alangkah terkejutnya saat ia berada di atas bukit. Ia melihat sesuatu
menggelepar-gelepar di dalam sebuah lukah. Bentuknya menyerupai manusia,
tetapi kecil. Makhluk itu juga dapat berbicara seperti manusia. Ketika Dubalang
Duo Belas mendekat, makhluk aneh itu mengeluarkan suara yang sudah tidak asing
lagi di telinganya.
“Hei, sepertinya aku sering
mendengar suara itu. Bukankah itu suara Hantu Pirau yang sering mengganggu
anak-anak kecil?” tanya Dubalang Duo Belas dalam hati.
Setelah memastikan bahwa suara itu
benar-benar Hantu Pirau, maka yakinlah ia bahwa makhluk yang terperangkap dalam
lukah itu pastilah Hantu Pirau. Ia pun segera melaporkan hal itu kepada
Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Baginda! Hamba baru
saja dari bukit itu. Hamba menemukan seekor makhluk yang terperangkap ke dalam lukah.
Apakah dia itu Hantu Pirau?” tanya Dubalang Duo Belas.
“Benar, dubalang! Bawalah Hantu
Pirau itu kemari!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda! Hamba laksanakan!”
ucap Dubalang Duo Belas seraya berpamitan.
Sebelum menuju ke atas bukit, ia
mengajak Dubalang Sembilan dan Dubalang Tujuh untuk bersama-sama mengambil lukah
tersebut. Setelah membuka tali pengikat lukah dari tonggak, ketiga
dubalang tersebut membawa lukah yang berisi Hantu Pirau itu ke hadapan
sang Raja.
“Sudah tahukah kalian, wahai
dubalang! Makhluk inilah yang bernama Hantu Pirau yang sering menganggu
anak-anak kecil,” ungkap sang Raja.
“Mengerti Baginda!” jawab ketiga
dubalang itu serentak.
“Pengawal! Siapkan pedang yang
tajam! Aku akan memotong-motong tubuh hantu ini,” perintah sang Raja kepada
seorang pengawal.
Mendengar ancaman tersebut, Hantu
Pirau itu pun langsung memohon ampun kepada Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Tuan! Janganlah bunuh
hamba! Jika Tuan sudi melepaskan hamba dari lukah ini, hamba akan
memenuhi segala permintaan Tuan. Bukankah Tuan adalah Raja yang arif dan
bijaksana?”
“Baiklah, kalau begitu! Aku hanya
ada dua permitaan. Pertama, setelah keluar dari lukah ini,
tinggalkan negeri ini dan jangan pernah kembali mengganggu wargaku lagi,
terutama anak-anak kecil. Kedua, serahkan cincin pinto-pinto
(pinta-pinta, yakni cincin sakti, apo yang kuminta harus ado) itu
kepadaku!” kata sang Raja.
Hantu Pirau pun langsung
menyanggupi permintaan Raja Jambi. Setelah dikeluarkan dari lukah, ia
pun segera menyerahkan cincin pinto-pinto nya kepada sang Raja, lalu
pergi meninggalkan Negeri Jambi. Sejak itu, Negeri Jambi tidak pernah lagi
diganggu oleh Hantu Pirau. Keadaan negeri kembali aman, damai dan tenang. Seluruh
penduduk kembali melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dengan perasaan aman
dan tenang.
Beberapa tahun setelah peristiwa
Hantu Pirau itu, Raja Negeri Jambi tiba-tiba berpikir ingin membuktikan
kesaktian cincin pinto-pinto pemberian Hantu Pirau. Namun karena
keinginannya tidak ingin diketahui oleh rakyat Negeri Jambi, maka ia pun
menyampaikan kepada rakyatnya bahwa dia akan pulang ke negerinya di Keling
(India) dalam waktu beberapa lama.
Sesampai di negerinya, Raja Jambi
pun segera menguji kesaktian cincin pinto-pinto itu.
“Hei cincin pinto-pinto!
Jadikanlah Kota Bambay ini sebagai kota yang bertahtakan mutiara, batu permata,
dan intan berlian!” pinta Raja Jambi.
Dalam waktu sekejap, suasana Kota
Bombay tiba-tiba berubah menjadi gemerlap. Seluruh sudut kota dipenuhi dengan
mutiara, batu permata dan intan berlian. Alangkah senang hati sang Raja melihat
pemandangan yang indah dan menggiurkan itu. Ia pun enggan untuk kembali ke
Negeri Jambi. Namun sebagai raja yang arif dan bijaksana, beberapa tahun kemudian
ia mengutus salah seorang putranya yang bernama Sultan Baring untuk
menggantikannya sebagai Raja Jambi.
Mendapat perintah itu, Sultan
Baring pun segera berangkat ke Negeri Jambi bersama dengan beberapa orang
pengawalnya. Sesampainya di Negeri Jambi, ia pun segera menyampaikan amanah
ayahnya kepada seluruh rakyat Jambi bahwa sang Ayah tidak dapat lagi memerintah
Negeri Jambi karena sudah tua. Setelah itu, ia membacakan surat pengangkatannya
sebagai Raja Jambi Kedua setelah ayahnya. Rakyat Jambi pun menyambutnya dengan
gembira, karena ia juga seorang Raja yang arif dan bijaksana seperti ayahnya.
Konon, Sultan Baring inilah yang menurunkan raja-raja, sultan-sultan maupun
raden-raden berikutnya, seperti Sultan Taha Saifuddin dan Raden Ino Kartopati.
* * *
Demikian cerita Raja Jambi
Penakluk Hantu Pirau dari daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk
ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang
dapat diambil dari cerita di atas adalah keutamaan sifat musyawarah mufakat
untuk mengatasi segala permasalahan. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan
perilaku Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan, dan Dubalang Duo Belas. Ketika
sudah tidak sanggup mengatasi Hantu Pirau, mereka segera bermusyawarah untuk
mencari jalan keluar. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah dan mufakat
sangatlah dijunjung tinggi, dihormati dan dimuliakan, karena dengan musyawarah
segala kesulitan yang dihadapi mudah untuk diselesaikan. Dikatakan dalam tunjuk
Aja Melayu:
apa tanda hidup
berilmu,
manfaat mufakat ianya tahu
duduk berunding bersanding bahu
sebelum melangkah memberi tahu
sebelum terlanjur mencari guru
sebelum menyalah bertanya dahulu
manfaat mufakat ianya tahu
duduk berunding bersanding bahu
sebelum melangkah memberi tahu
sebelum terlanjur mencari guru
sebelum menyalah bertanya dahulu
Pelajaran lain yang dapat dipetik
dari cerita di atas adalah bahwa ilmu pengetahuan sangatlah penting dalam
kehidupan manusia, karena dengan ilmu pengetahuan segala kesulitan dapat
diatasi dengan mudah. Oleh karenanya, setiap orang dituntut untuk rajin belajar
agar mempunyai pengetahuan yang luas. Menurut orang tua-tua Melayu, manfaat
ilmu pengetahuan bukan saja untuk kepentingan pribadi, juga bermanfaat bagi
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Itulah sebabnya, dalam kehidupan
orang Melayu, menuntut ilmu pengetahuan sangatlah diutamakan. Dikatakan dalam
tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda dengarlah
pesan,
menuntut ilmu engkau utamakan
banyakan amal kuatkan iman
supaya dirimu dikasihi Tuhan
bertuah parang karena hulunya,
bulu dikepal elok terasa
bertuah orang karena ilmunya
ilmu diamalkan hidup sentosa
menuntut ilmu engkau utamakan
banyakan amal kuatkan iman
supaya dirimu dikasihi Tuhan
bertuah parang karena hulunya,
bulu dikepal elok terasa
bertuah orang karena ilmunya
ilmu diamalkan hidup sentosa
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Kaslani. 1998. Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo.
- Anonim. “Jambi” (http://id.wikipedia.org/wiki/Jambi, diakses tanggal 29 September 2008).
- Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
[1] Lukah
adalah salah satu jenis alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu.
Nama : Meri Asparina
NIM : A1B112031
ANAK
YATIM TERBUANG
Ada tiga orang anak yatim dan
semuanya laki-laki mereka tinggal bersama ibu tiri mula-mula iibu tiri sangat
sayang terhadap ketiga anak laki-laki tersebut tetapi lama-kelamaan rasa sayang
berubah menjadi benci ketika ada ayahnya ketiga lelaki tersebut sangat
disayangi oleh ibu tirinya diwaktu ayahnya pergi ketiga anak lelaki itu pukul
dengan kayu.akhirnya ia mengatakan ang bukan-bukan kepada ayah anak yatim itu
ketiga anakmu itu pemalas kerjanya hanya makan sehingga ayah anak yatim tadi
terpengaruh kepada isterinya.ayah anak yati itu sangat sayang kepada isterinya
karena rupanya yang cantik,masih muda.hingga akhirnya ayah anak yatim menerima
usulan dari isterinya dan dikorbankannyalah anak kandung denganmmbuangnya
kedalam hutan kalau ketiga anak tersebut dibunuh semua orang akan tau jika
dibuang kedalam hutan mereka akan beralasan ketiga anak lelaki tersebut lari
dari rumah.
Sesuai dengan rencana sebelum pergi
kehutan mereka makan malam terlebih dahulu.kemudian mereka bersepakat untuk
mencari kayu besok bersama ketiga anak lelaki tersebut.ibu tirinya
mempersiapkan nai secukupnya,beras air minum kuali dan korek api.keesokkan
paginya berangkatlah kelima orang itu kehutan tempanya yang sangat jauh pada
sorenya mereka baru sampai kehutan
yang sangat jauh .ayah dan ibu tirinya bekata disinilah kita mengumpulkan
kayu-kayu kalian kumpulkan saja dulu nanti diikatkan kayunya,kedua anak-anak
mereka hanya bisa patuh,tetapi anak sulung mereka agak curiga,ia curiga kenapa
sejauh ini mencari kayu lama kemudian ktika mereka mengumpulkan kayu ayahnya
berkata kalian terus saja bekerja ayah pergi sebentar mengawani ibu ke sungai.lalu
pergilah ayah dan ibu nya itu bukannya kesungai malah pulang kerumah.ketiga
anak itu sudah lama menunggu namun orang tuanya belum juga datang hingga mereka
berteriak memanggil kedua orang tuanya akhirnya anak sulung berkata kesinilah
kalian berdua dibawah kayu ini.kita beristirahat disini saj kita ini sengaja
dibuang oleh ayah kita dan ibu tiri itu jadi sore itu ketiga anak yatim tadi mulai dengan kisah baru hidup dengan
terlunta-lunta.
Keesokan paginya setelah ketiga anak
itu makan mereka memulai perjalanan tak
tentu arah.diwaktu perjalanan mereka capek disitu lah mereka beristirahat dan
jika hari sudah malam disanalah mereka
berhenti untuk tidur.dan pada waktu malam itu anak sibungsu bermimpi dia
bermimpi kalau dia bertemu burung esok hari jika burung itu ditemukkan bunuh
dan masak burung itu untuk dimakan.diantara ketiga anak itu barang siapa yang
memakan kepalanya akan menjadi raja,dan barang siapa yang memakan paha sebelah
kanan akan menjadi perdana mentri dan barang siapa yang memakan paha sebela
kiri akan menjadi kepala pegawai istana.keesokkan harinya burung yang ada di
mimpi sibungsu itu memang benar-benar ada dipohon kayu tempat ketiga anak itu
tidur tadi malam.sisulung mencoba mendekati burung itu ternyata burung itu
jinak dan sisulung berhasil mendapatkan burung itu lalu burung itu dibunuh dan
dimasak untuk disantap sebelum menyamtap burung itu ketiga anak yatim itu
bersepakat dulu siapa yang makan kepala burung,paha sebela kanan dan paha
sebelah kiri.akhirnya sibungsu makan kepala burung itu dan anak kedua memakan
paha sebelah kanan dan yang paha yang sebelah kiri dimakan oleh sisulung.
Mereka menganggap mimpi itu sebagai
mimpi biasa saja dan tidak berfikir akan menjadi kenyataan lalu mereka
melanjutkan perjalanan mereka mencari jalan keluar dari hutan tersebut
kadang-kadang mereka tersesat dan masuk ke semak-semak.ketika malam datang
ketiga anak yatim itu terasa capek dan beristirahat untuk tidur di bawa pohon
yang sangat besar malam itu tiba-tiba hujan turun dan diikuti petir angin puting
beliung pohon kayu yang besar tempat mereka tidur itu roboh dan kayu yang
kecil-kecil it terbang-terbang dalam peristiwa gelap gulita malam itu ketiga
anak yatim itu terpisahkan mereka bertiga saling menduga bahwa kakak atau adik
sudah mati karena ditimpa kayu,ketiga
lelaki itu mencari peruntungan masing-masing,sudah hampir 10 thn
mereka berputar-putar mencari jaln keluar dari hutan tersebut tampa tau arah.
Diwaktu sibungsu berjalan seorang
diri dia bertemu dengan gajah
putih walaupun dimana sibungsu bersembunyi
sigajah putih itu tau hingga akhirnya
sibungsu ditangkap ole belalai gajah putih tersebut dan dibawanya berlari ke sebuah negri,hampir
sebulan dia dipunggung gajah putih itu,sibungsu heran kenapa sigajah putih itu membawanya masuk kenegri
diwaktu sesampainya digerbang ternyata
gajah itu membawanya keistana dan banyak
yang menyambut kedatangannya
dan disambut dengan
acara kebesaran.sibungsu digendong
di mandiin dikasi baju yang bagus lalu dibawalah sibungsu ke raja istana itu
dan dari situlah sibungsu tau kalau gajah putih itu dilepaskn oleh raja untuk
mencari lelaki yang pantas untuk menjadi menantunya dan menjadi suami
puterinya yang menjadi pengganti raja
yang sudah tua.dan akhirnya sibungsu menjadi raja yang sudah hidup tenang,damai
dan senang.tetapi sibungsu tiba-tiba teringat sama kakak-kakaknya dua orang itu sibungsu sedih dan
teringat akan mimpinya dulu.
Setelah dua tahun sibungsu menjadi
raja perdana mentripun harus ditukar karena umurnya yang sudah tua memang adat negeri melepaskan gajah
keramat (gajah putih) dengan upacara ,akhirnya gajah itu bertemu dengan lelaki
yang sedang terlunta-lunta dihutan iyapun di tangkap gajah dan dibawa keistana
tidak bisa diungkapkan bagaimana keterharuan siraja muda itu tersebut dimana yang
dibawa gajah itu adalah kakak kandungnya yang no2 sebagai calon pardana mentri
akhirnya bertemula sibungsu dengan kakak no2 nya yang terpisahkan dengan
peristiwa hujan itu dan gembiralah raja muda itu si bungsu jadi raja dan kakak
no2 nya menjadi perdana mentri sekarang tinggal si sulung yang tidak jelas nasib nya.
Kira-kira setahun kemudian kerajaan ingin menggantikan kepala pengawal
istana dilepaskanlah gajah keramat (gajah putih) untuk mencari calon.aktu itu
pula gajah putih tadi pulang dengan membawa sisulung kakak kandung raja muda
hingga diangkatlah jadi kepala pegawal istana.jadi benar tabir mimpi sibungsu
raja muda itu tentang burung masalalu dan itulah akhir ketiga anak yatim adek
kakak yang di buang ibu tiri dan ayahnya kedalam hutan telah berkumpul diistana
negeri antah-berantah jadi yang bungsu
jadi raja yang tengah menjadi perdana menteri dan yang tertua jadi kepala
pengawal istana
GADIS SOLEHA
Mengaji
itu penting orang yang malas mengaji atau tidak mau mengaji dia tidak bakal tau
mana yang bagus dan mana yang buruk.jika diwaktu kecil tidak pernah mengaji
dewasanya bisa menjadi hantu.begitulah guru ngaji mengajar muridnya,diantara
yang ngaji,ada seorang anak yang sangat rajin ia pandai mengaji sehingga ia
menjadi seorang wanita yang soleha siapakah nama anak tersebut kurang tau
tetapi karena dia seorang gadis yang soleha maka orang memanggilnya dengan
sebutan gadis soleha.nasehat-nasehat guru ngajinya selalu dituruti seperti
tidak diperbplehkan melawan kedua orang tua,mematuhi perintah guru,menghormati
orang yang lebih tua darinya,sayang terhadap anak kecil,sering bersedekah,kalau
menikah nantinya jangan melawan suami dan setiap mengerjakan sesuatu jangan
lupa membaca bismillah.
Dan
ada juga seorang lelaki yang tidak mau mengaji,tidak pernah sholat dan orangnya
preman tetapi disisi bagusnya lelaki itu sangat giat dan rajin bekerja,pencuri
juga tidak. Akan tetapi orang tua gadis soleha itu menyukai lelaki yang seperti
itu dalam arti kata mnyukai lelaki kuduk hitam jadi menantunya dan dinikahinyalah anaknya
tadi.gadis yang soleha itu menuruti apa kata ayahnya,sebab pelajaran dari guru
ngaji tadi perintah dari orang tua itu harus di turuti dan jangan di bantah
jadi menikahlah si gadis soleha itu dengan lelaki yang berkuduk hitam itu.
Tiap-tiap
mulai bekerja gadis soleha itu selalu membaca basmallah menghidupi air keran
saja membaca basmallah dan lain-lain.setiap apapun yang di kerjakannya atau
yang dilakukannya selalu membaca basmallah.akhirnya suaminya membencinya dengan
sikapnya yang seperti itu,suaminya ingin memarahinya tapi tidak berani karena
berada di rumah mertuanya.kemudian si gadis soleha itu dan suaminya bersepakat
untuk berpisah dengan mertuanya(tempat tinggal baru).
Waktu
pindah kerumah yang spesial untuk mereka berdua timbullah niat di hati suaminya
untuk membunuh isterinya karna suaminya sudah membenci isterinya yang selalu
membaca basmallah itu.malah kadang-kadang isterinya itu menyuruh suaminya
membaca basmallah di setiap apapun yang akan di kerjakan atau yang di lakukannya
dan menginginkan suaminya untuk shalat.tidak ada tanggapan dari suaminya dan
malah kadang-kadang suaminya marah tetapi isterinya selalu berkata seperti itu
juga.
Pada
pagi itu suaminya itu pergi keladang ,waktu di ladang di atas pohon kayu suaminya
melihat sarang lebah,dengan semangat berhasillah suaminya itu mengambil sarang
lebah dan di simpan di dalam sarungnya itu,di ikatnya ujung dan pangkal setelah
itu di angkat dengan kayu dan di bawa pulang.sesampai di rumah sarang lebah
beserta kayu itu di perlihatkannya ke pada isterinya itu.kata suami:cepat buka
barang yang saya bawakan itu karna saya mau ke belakang sebentar untuk mencuci
kaki.dalam hati suaminya berkata ‘kalau dia mati nanti alasan ku cukup kuat
karena isteri ku mati di sengat oleh lebah yang sangat banyak’.
Karena
isterinya patuh kepada suaminya,diwaktu membuka barang yang di bawa suaminya
dari ladang tadi isterinya tidak lupa membaca basmallah dan si isterinya tadi
memasukkan barang itu kedalam ember.dalam hati isterinya: ’Dimana suami ku
mengambil emas-emas ini kalau seperti ini kami bisa menjadi kaya’.suaminya
mengintip di sebuah dinding.lama setelah itu tidak ada tanda-tanda terdengar
isterinya menangis di sengat lebah,heranlah suaminya itu dan suaminya bertanya
kepada isterinya : dimana barang tadi? Dijawab oleh isteri sudah saya masukkan
keember tadi. lalu timbullah tanda tanya besar dihati suaminya dan hatinya
berkata memangnya barang yang saya bawa itu yang isinya lebah itu apakah tidak
dilihat oleh isterinya? . suaminya bingung bagaimana caranya lagi untuk
membunuh isterinya?
Pada
esok harinya suaminya itu juga pergi keladang.dan melihat sarang tawon yang
besar ditepi jalan,lalu sarang tawon itu dimasukkannya kedalm sarung untuk di
bawa pulang supaya tawon itu bisa menyengat isterinya langsung mati setelah
suaminya sesampai dirumah dimasukkan barang yang dibawa suaminya pulang pada
sebuah ember. Isterinya berkata dalam hati : hmm dari kemaren banyak sekali
suamiku membawa emas sebesar jagung dari mana suamiku ini mendapatkannya’.suaminya
heran kenapa isterinya tidak mati juga,kenapa tawon itu tidak dapat
menyengatnya kata suaminya didalam hati’.
Keesokkannya
suaminya pun pergi isterinyapun bertanya ; bang jangan lah pergi hari ini yang
masih ada dirumah belum terjual istirahat saja dulu,sebaiknya kita kepasar saja
hari ini untuk menjual emas tersebut.suaminyapun heran hingga suaminya bertan
ya pada isterinya dimanakah emas itu? Suaminyapun melihat dalam ember ternyata
benar-benar ada 2 ember emas hingga akhirnya terbongkarlah bahwa suaminya ingin
membunuh isterinya tersebut.
Nama :
Mahdalena
NIM : A1B112021
PUTRI AYU
NYIMAS RAHIMA
Putri Ayu adalah gelar yang diberikan kepada
seorang pejuang wanita dari Jambi bernama Nyi Mas Rahima. Ia
mendapat gelar Putri Ayu karena memiliki paras yang cantik jelita. Tidak hanya
cantik, Putri Ayu juga disebut-sebut sebagai pejuang wanita
melawan penjajah Belanda. Bagaimana sepak terjang Putri Ayu atau Nyi Mas
Rahima dalam menghadapi para kompeni Belanda? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam
cerita Putri Ayu Nyimas Rahima berikut ini.
* * *
Dahulu, di Tanah Pulih atau tepatnya di daerah Tanjung
Pasir, Jambi, ada seorang gadis cantik bernama Putri Rahima. Ia adalah putri
semata wayang Kemas Mahmud, seorang tokoh yang dihormati di kampung itu.
Kecantikan Putri Rahima bagai bidadari dari kahyangan. Selain cantik, ia juga
pandai mengaji dengan suara yang merdu. Sopan-santun dan budi-bahasanya pun
amat elok. Kemahirannya memasak, menjahit, menenun, dan merenda membuat putri
Kemas Mahmud itu semakin sempurna sebagai gadis idaman bagi setiap
pemuda.
Kabar tentang kecantikan Putri Rahima tersebar hingga
ke seluruh pelosok wilayah Jambi, meskipun pada saat itu sedang berkecamuk
perang melawan Belanda. Para pemuda pejuang Jambi yang banyak bergerilya ke
tengah-tengah hutan pun mendengar kabar tersebut. Berita itu juga sampai ke
telinga Sultan Muhammad yang memerintah di daerah Kampung Lereng. Ia adalah
sultan yang masih muda, tampan, dan berwibawa. Ia juga terkenal saleh dan taat
beribadah.
Suatu hari, Sultan Muhammad diam-diam meninggalkan
istana untuk membuktikan berita tentang kecantikan Putri Rahima. Ternyata
benar, saat melihat kecantikan putri Kemas Mahmud itu, Sultan Muhammad berdecak
kagum.
“Oh, Putri Rahima benar-benar gadis yang sempurna.
Kecantikannya sungguh luar biasa dan tiada tandingannya di negeri ini,” gumam
Sultan Muhammad dengan kagum.
Kecantikan Putri Rahima telah memikat hati Sultan
Muhammad. Ia pun tak sabar lagi ingin segera meminangnya. Setelah kembali ke
istana, sultan muda itu segera mengumpulkan beberapa pembesar kerajaan dan
kemudian mengutus mereka untuk meminang Putri Rahima.
“Maaf, Pak Kemas. Kedatangan kami kemari untuk
menyampaikan pinangan Tuan kami Sultah Muhammad untuk putri Pak Kemas,” kata
salah seorang utusan.
“Kami menyambut baik atas niat baik raja kalian. Tapi,
berilah kami waktu satu hari untuk merundingkan masalah ini bersama keluarga
kami,” pinta Pak Kemas, “Tuan-tuan boleh kembali ke mari besok untuk mengetahui
keputusan dari keluarga kami.”
Para utusan Sultan Muhammad pun berpamitan pulang ke
istana dan pada esok harinya mereka kembali ke rumah Kemas Mahmud.
“Bagaimana hasil perundingan keluarga, Pak Kemas?”
tanya seorang utusan Sultan Muhammad.
Kemas Mahmud pun menyampaikan hasil musyawarah bersama
keluarga besarnya melalui ungkapan seperti berikut:
“Dari buat ke Batang Asai, singgah bermalam di
Dusun Kerak; Urusan adat sudah selesai, tinggal lagi urusan sarak.”
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Kemas Mahmud dan
keluarga besarnya menerima pinangan Sultan Muhammad. Kini, tinggal pelaksanaan
pesta pernikahan Putri Rahima dan Sultan Muhammad. Namun karena saat itu dalam
keadaan perang, maka kedua belah pihak bersepakat untuk meniadakan pesta
pernikahan agar tidak mengundang perhatian penjajah Belanda. Namun, pesta
tersebut diganti dengan acara sedekah hari pengantin.
Setelah sah menjadi permaisurinya, Sultan Muhammad pun
memboyong Putri Rahima ke istana. Sejak itulah, putri semata wayang Kemas
Mahmud itu tinggal di istana dengan gelar Nyi Mas Rahima. Ia pun hidup
berbahagia dan saling mengasihi dengan suaminya.
Dua tahun kemudian, Nyi Mas Rahima melahirkan seorang
putra dan diberi nama Pangeran Adipati. Kehadiran sang pangeran kecil di
tengah-tengah keluarga menambah kebahagian Sultan Muhammad dan permaisurinya.
Kasih sayang sang Sultan kepada Nyi Mas Rahima pun semakin dalam. Namun, di
tengah-tengah kebahagiaan mereka tersebut, peperangan semakin berkecamuk.
Sebagai warga negara yang baik, Sultan Muhammad pun merasa terpanggil untuk
membela tanah air.
Sultan Muhammad kerap meninggalkan istana karena harus
bertempur melawan penjajah Belanda. Hal itu membuat perhatian terhadap
keluarganya semakin berkurang. Untung Nyi Mas Rahima seorang ibu yang
bijaksana. Ia selalu memberi pengertian kepada putranya yang sudah mulai tumbuh
menjadi kanak-kanak yang cerdas tentang perjuangan sang Ayah.
“Putraku, Adipati. Ayahmu adalah seorang pejuang.
Itulah sebabnya ia selalu pergi meninggalkan kita demi membela tanah air yang
tercinta ini,” ujar Nyi Mas Rahima.
Nasehat tersebut selalu Nyia Mas Rahima sampaikan
kepada putranya setiap kali sang Ayah pergi berperang. Maka, jadilah Pangeran
Adipati sebagai anak yang berjiwa kesatria. Ia bahkan seringkali berceloteh
ingin membantu ayahnya mengusir penjajah Belanda.
“Bunda..., kenapa Ayah tidak pernah mengajak Pati ikut
berperang? Padahal, Pati ingin sekali membantu Ayah mengusir penjajah itu,”
kata Pangeran Adipati.
“Pati, Putraku. Engkau masih kecil. Kelak jika kamu
sudah besar, Ayah pasti akan mengajakmu. Saat ini, kita hanya bisa mendukung
perjuangan Ayah dengan doa agar selamat dari peperangan,” ujar Nyi Mas Rahima.
Nyi Mas Rahima terus melantunkan doa demi keselamatan
sang Suami dan pasukannya. Namun, tak jarang ia merasa cemas menunggu
kepulangan suaminya dari medan perang.
Sementara itu, sikap permusuhan penjajah Belanda
semakin hari semakin merajalela. Mereka terus memperluas wilayah kekuasaannya
di hampir wilayah Jambi. Bahkan, mereka telah membangun benteng pertahanan di
sekitar istana. Keaadan itu membuat Nyi Mas Rahima bertambah cemas. Apalagi
saat itu dia sedang mengandung anak keduanya.
Ketika suaminya sedang meninggalkan istana, serdadu
Belanda kerap berkeliaran di sekitar istana. Ia merasa bahwa tanah airnya
semakin terancam. Di samping itu, ia juga selalu mencemaskan keselamatan
suaminya yang sudah beberapa hari belum kembali dari medan perang.
Perasaan-perasaan itu terus membebani batinnya. Di saat kandungannya semakin
besar, ia menjadi lemah dan sering sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal
dunia sebelum melahirkan anak keduanya.
Kepergian sang Bunda memberi duka yang sangat dalam
bagi Pangeran Adipati. Ditambah pula kabar tentang keberadaan sang Ayah belum
juga diketahui rimbanya. Untuk mengenang Nyi Mas Rahima yang ramah, penyayang,
dan selalu mendukung perjuangan suaminya, para keluarga istana kemudian
membuatkan makam yang dikelilingi tembok untuk Nyi Mas Rahima. Mereka pun terus
menjaga dan merawat makam itu.
Sementara itu, kehadiran serdadu Belanda membuat
benteng di sekitar istana semakin terancam. Akhirnya, keluarga istana
memutuskan untuk mengungsi ke hulu Batang Hari Jambi dengan memboyong Pangeran
Adipati. Suatu malam, mereka pun meninggalkan istana secara diam-diam. Keesokan
hari, para serdadu Belanda pun segera menempati istana yang telah kosong.
Betapa terkejutnya mereka saat melihat sebuah makam yang bersih dan indah.
“Hai, makam siapakah yang indah ini?” tanya salah
seorang serdadu Belanda.
“Entahlah. Tapi, saya yakin penghuni makam ini pasti
bukanlah orang sembarangan,” jawab serdadu Belanda lainnya.
Penasaran ingin mengetahui perihal makam itu, salah
seorang serdadu Belanda mencari keterangan kepada warga di sekitar istana.
“Makam siapakah yang ada di dekat istana itu?” tanya
serdadu itu kepada salah seorang warga.
“Makam itu adalah milik seorang putri yang ayu bernama
Nyi Mas Rahima, permaisuri Sultan Muhammad. Ayu fisiknya, juga ayu batinnya. Ia
selalu mendukung perjuangan suaminya dengan tulus ikhlas dan rela mengorbankan
kebahagiaannya berkumpul bersama keluarganya,” jelas warga itu.
Sejak itulah, para serdadu Belanda menyebut makam itu
dengan sebutan Makam Putri Ayu. Hingga kini, keindahan dan kebersihan Makam
Putri Ayu masih tetap terjaga. Makam itu dikelilingi tembok berwarna kuning dan
beratapkan seng. Batu nisannya terbuat dari kayu bulian berwarna merah tua dan
makamnya sendiri terbuat dari marmer berwarna biru. Dulu, makam Makam Putri Ayu
berada di kawasan Benteng atau berdekatan dengan Masjid Al Falah Kota Jambi.
Pada tahun 1980, makam itu dipindahkan ke Jalan Kemboja, RT 07, Kelurahan
Sungaiputri, Telanaipura, Kota Jambi.
* * *
Demikian cerita Putri Ayu Nyi Mas Rahima
dari daerah Jambi. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah
keutamaan cinta tanah air sebagaimana yang ditunjukkan oleh perjuangan Nyi Mas
Rahima dalam mendukung sang suami melawan penjajah Belanda.
Sumber
Dongeng cerita
rakyat.blogspot.com/2011/04/putri-ayu-nyimas-rahima.html
SIKELINGKING
Si Kelingking adalah seorang pemuda miskin yang
tinggal di sebuah kampung di daerah Jambi, Indonesia. Ia dipanggil Kelingking
karena ukuran tubuhnya hanya sebesar jari kelingking. Walaupun demikian, ia
mempunyai istri seorang putri raja yang cantik jelita. Bagaimana si Kelingking
dapat mempersunting seorang putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Si Kelingking berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah dusun di Negeri Jambi, ada sepasang suami-istri yang miskin. Mereka sudah puluhan tahun membina rumah tangga, namun belum dikaruniai anak. Segala usaha telah mereka lakukan untuk mewujudkan keinginan mereka, namun belum juga membuahkan hasil. Sepasang suami-istri itu benar-benar dilanda keputusasaan. Suatu ketika, dalam keadaan putus asa mereka berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya Tuhan Yang Maha Tahu segala yang ada di dalam hati manusia. Telah lama kami menikah, tetapi belum juga mendapatkan seorang anak. Karuniankanlah kepada kami seorang anak! Walaupun hanya sebesar kelingking, kami akan rela menerimanya,” pinta sepasang suami-istri itu.
Beberapa bulan kemudian, sang Istri mengandung. Mulanya sang Suami tidak percaya akan hal itu, karena tidak ada tanda-tanda kehamilan pada istrinya. Di samping karena umur istrinya sudah tua, perut istrinya pun tidak terlihat ada perubahan. Meski demikian, sebagai seorang wanita, sang Istri benar-benar yakin jika dirinya sedang hamil. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Ia pun berusaha meyakinkan suaminya dengan mengingatkan kembali pada doa yang telah diucapkan dulu.
“Apakah Abang lupa pada doa Abang dulu. Bukankah Abang pernah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan seorang anak walaupun sebesar kelingking?” tanya sang Istri mengingatkan.
Mendengar pertanyaan itu, sang Suami pun termenung dan mengingat-ingat kembali doa yang pernah dia ucapkan dulu.“O iya, kamu benar, istriku! Sekarang Abang percaya bahwa kamu memang benar-benar hamil. Pantas saja perutmu tidak kelihatan membesar, karena bayi di dalam rahimmu hanya sebesar kelingking,” kata sang Suami sambil mengelus-elus perut istrinya. Waktu terus berjalan. Tak terasa usia kandungan istrinya telah genap sembilan bulan. Pada suatu malam, sang Istri benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki sebesar kelingking. Betapa bahagianya sepasang suami-istri itu, karena telah memperoleh seorang anak yang sudah lama mereka idam-idamkan. Mereka pun memberinya nama Kelingking. Mereka mengasuhnya dengan penuh kasih sayang hingga menjadi dewasa. Hanya saja, tubuhnya masih sebesar kelingking.
Pada suatu hari, Negeri Jambi didatangi Nenek Gergasi. Ia adalah hantu pemakan manusia dan apa saja yang hidup. Kedatangan Nenek Gergasi itu membuat penduduk Negeri Jambi menjadi resah, termasuk keluarga Kelingking. Tak seorang pun warga yang berani pergi ke ladang mencari nafkah. Melihat keadaan itu, Raja Negeri Jambi pun segera memerintahkan seluruh warganya untuk mengungsi. “Anakku! Ayo bersiap-siaplah! Kita harus pindah dari tempat ini untuk mencari tempat lain yang lebih aman,” ajak ayah Kelingking.
Mendengar ajakan ayahnya itu, Kelingking terdiam dan termenung sejenak. Ia berpikir mencari cara untuk mengusir Nenek Gergasi itu. Setelah menemukan caranya, Kelingking pun berkata kepada ayahnya, “Tidak, Ayah! Aku tidak mau pergi mengungsi.”
“Apakah kamu tidak takut ditelan oleh Nenek Gergasi itu?” tanya ayahnya.
“Ayah dan Emak jangan khawatir. Aku akan mengusir Nenek Gergasi itu dari negeri ini,” jawab si Kelingking.
“Bagaimana cara kamu mengusirnya, sedangkan tubuhmu kecil begitu?” tanya emaknya.
“Justru karena itulah, aku bisa mengusirnya,” jawab si Kelingking. “Apa maksudmu, Anakku?” tanya emaknya bingung.“Begini Ayah, Emak. Tubuhku ini hanya sebesar kelingking. Jadi, aku mudah bersembunyi dan tidak akan terlihat oleh hantu itu. Aku mohon kepada Ayah agar membuatkan aku lubang untuk tempat bersembunyi. Dari dalam lubang itu, aku akan menakut-nakuti hantu itu. Jika hantu itu telah mati, akan aku beritakan kepada Ayah dan Emak serta semua penduduk,” kata Kelingking.
Sang Ayah pun memenuhi permintaan Kelingking. Ia membuat sebuah lubang kecil di dekat tiang rumah paling depan. Setelah itu, ayah dan emak Kelingking pun berangkat mengungsi bersama warga lainnya. Maka tinggallah sendiri si Kelingking di dusun itu. Ia pun segera masuk ke dalam lubang untuk bersembunyi. Ketika hari menjelang sore, Nenek Gergasi pun datang hendak memakan manusia. Alangkah marahnya ketika ia melihat kampung itu sangat sepi. Rumah-rumah penduduk tampak kosong. Begitu pula dengan kandang-kandang ternak.
“Hai, manusia, kambing, kerbau, dan ayam, di mana kalian? Aku datang ingin menelan kalian semua. Aku sudah lapar!” seru Nenek Gergasi dengan geram.
Kelingking yang mendengar teriakan itu pun menyahut dari dalam lubang.
“Aku di sini, Nenek Tua.” Nenek Gergasi sangat heran mendengar suara manusia, tapi tidak kelihatan manusianya. Ia pun mencoba berteriak memanggil manusia. Betapa terkejutnya ia ketika teriakannya dijawab oleh sebuah suara yang lebih keras lagi. Hantu itu pun mulai ketakutan. Ia mengira ada manusia yang sangat sakti di kampung itu. Beberapa saat kemudian, si Kelingking menggertaknya dari dalam lubang persembunyiannya.
“Kemarilah Nenek Geragasi. Aku juga lapar. Dagingmu pasti enak dan lezat!”
Mendengar suara gertakan itu, Nenek Gergasi langsung lari tungganglanggang dan terjerumus ke dalam jurang dan mati seketika. Si Kelingking pun segera keluar dari dalam lubang tempat persembunyiannya. Dengan perasaan lega, ia pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada kedua orangtuanya dan para warga, kemudian mengajak mereka kembali ke perkampungan untuk melaksanakan keseharian seperti biasanya. Mereka pun sangat kagum pada kesaktian Kelingking.
Berita tentang keberhasilan Kelingking mengusir Nenek Gergasi itu sampai ke telinga Raja. Kelingking pun dipanggil untuk segera menghadap sang Raja. Kelingking ditemani oleh ayah dan emaknya. “Hai, Kelingking! Benarkah kamu yang telah mengusir Nenek Gergasi itu?” tanya sang Raja. “Benar, Tuanku! Untuk apa hamba berbohong,” jawab si Kelingking sambil memberi hormat. “Baiklah, Kelingking. Aku percaya pada omonganmu. Tapi, ingat! Jika hantu pemakan manusia itu datang lagi, maka tahu sendiri akibatnya. Kamu akan kujadikan makanan tikus putih peliharaan putriku,” acam sang Raja.
“Ampun, Tuanku! Jika hamba terbukti berbohong, hamba siap menerima hukuman itu. Tapi, kalau hamba terbukti tidak berbohong, Tuanku berkenan mengangkat hamba menjadi Panglima di istana ini,” pinta Kelingking. Walaupun permintaan Kelingking itu sangatlah berat, sang Raja menyanggupinya dengan pertimbangan bahwa mengusir hantu Nenek Gergasi tidaklah mudah. Setelah itu, Kelingking bersama kedua orangtuanya memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ayah dan emaknya selalui dihantui rasa cemas dan takut kalau-kalau Nenek Gergasi kembali lagi. Hal itu berarti nyawa anaknya akan terancam. Sesampainya di rumah, mereka pun meminta kepada Kelingking agar menceritakan bagaimana ia berhasil mengusir hantu itu. Kelingking pun menceritakan semua peristiwa itu dari awal kedatangan hantu itu hingga lari tungganglanggang.
“Apakah kamu yakin Nenek Gergasi tidak akan kembali lagi ke sini?” tanya ayahnya.
Mendengar pertanyaan itu, Kelingking terdiam. Hatinya tiba-tiba dihinggapi rasa ragu. Jangan-jangan hantu itu kembali lagi. Rupanya, si Kelingking tidak mengetahui bahwa Nenek Gergasi itu telah mati karena terjerumus ke dalam jurang.
Seminggu telah berlalu, Nenek Gergasi tidak pernah muncul lagi. Namun, hal itu belum membuat hati Kelingking tenang. Suatu hari, ketika pulang dari ladang bersama ayahnya, ia menemukan mayat Nenek Gergasi di jurang. Maka yakinlah ia bahwa Nenek Gergasi telah mati dan tidak akan lagi mengganggu penduduk Negeri Jambi.
Keesokan harinya, Kelingking bersama kedua orangtuanya segera menghadap raja untuk membuktikan bahwa ia benar-benar tidak berbohong. Dengan kesaksian kedua orangtuanya, sang Raja pun percaya dan memenuhi janjinya, yakni mengangkat Kelingking menjadi Panglima.
Setelah beberapa bulan menjadi Panglima, Kelingking merasa perlu seorang pendamping hidup. Ia pun menyampaikan keinginannya itu kepada kedua orangtuanya.
“Ayah, Emak! Kini aku sudah dewasa. Aku menginginkan seorang istri. Maukah Ayah dan Emak pergi melamar putri Raja yang cantik itu untukku?” pinta Kelingking.
Alangkah terkejutnya kedua orangtuanya mendengar permintaan Kelingking itu.
“Ah, kamu ini ada-ada saja Kelingking! Tidak mungkin Baginda Raja mau menerima lamaranmu. Awak kecil, selera gedang (besar),” sindir ayahnya. “Tapi, kita belum mencobanya, Ayah! Siapa tahu sang Putri mau menerima lamaranku,” kata Kelingking.
Mulanya kedua orangtuanya enggan memenuhi permintaan Kelingking. Tapi, setelah didesak, akhirnya mereka pun terpaksa menghadap dan siap menerima caci maki dari Raja. Ternyata benar, ketika menghadap, mereka mendapat cacian dari Raja.
“Dasar anakmu si Kelingking itu tidak tahu diuntung! Dikasih sejengkal, minta sedepa. Sudah diangkat menjadi Panglima, minta nikah pula!” bentak sang Raja.
Mendengar bentakan itu, kedua orangtua Kelingking tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun pulang tanpa membawa hasil. Mendengar berita itu, Kelingking tidak berputus asa. Ia meminta agar mereka kembali lagi menghadap Raja, namun hasilnya pun tetap nihil. Akhirnya, Kelingking memutuskan pergi menghadap bersama ibunya. Sesampainya di istana, mereka tetap disambut oleh keluarga istana. Sang Putri pun hadir dalam pertemuan itu. Kelingking menyampaikan langsung lamarannya kepada Raja.
“Ampun, Tuanku! Izinkanlah hamba menikahi putri Tuanku,” pinta Kelingking kepada sang Raja.
Mengetahui bahwa ayahandanya pasti akan marah kepada Kelingking, sang Putri pun mendahului ayahnya berbicara. “Ampun, Ayahanda! Perkenankanlah Ananda menerima lamaran si Kelingking. Ananda bersedia menerima Kelingking apa adanya,” sahut sang Putri.
“Nanti engkau menyesal, Putriku. Masih banyak pemuda sempurna dan gagah di negeri ini. Apa yang kamu harapkan dari pemuda sekecil Kelingking itu,” ujar sang Raja.
“Ampun, Ayahanda! Memang banyak pemuda gagah di negeri ini, tapi apa jasanya kepada kerajaan? Sementara si Kelingking, meskipun tubuhnya kecil, tapi ia telah berjasa mengusir dan membunuh hantu Nenek Gergasi,” tandas sang Putri. Mendengar pernyataan putrinya, sang Raja tidak berkutik. Ia baru menyadari bahwa ternyata si Kelingking telah berjasa kepada kerajaan dan seluruh penduduk di negeri itu. Akhirnya, sang Raja pun menerima lamaran si Kelingking.
Seminggu kemudian. Pesta pernikahan Kelingking dengan sang Putri dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan seni dan tari. Tamu undangan berdatangan dari berbagai penjuru Negeri. Dari kejauhan, tampak hanya sang Putri yang duduk sendirian di pelaminan. Si Kelingking tidak kelihatan karena tubuhnya terlalu kecil. Di antara tamu undangan, ada yang berbisik-bisik membicarakan tentang kedua mempelai tersebut. “Kenapa sang Putri mau menikah dengan si Kelingking? Bagaimana ia bisa mendapatkan keturunan, sementara suaminya hanya sebesar kelingking?” tanya seorang tamu undangan. “Entahlah! Tapi, yang jelas, sang Putri menikah dengan si Kelingking bukan karena ingin mendapatkan keturunan, tapi ia ingin membalas jasa kepada si Kelingking,” jawab seorang tamu undangan lainnya.
Usai pesta pernikahan putrinya, sang Raja memberikan sebagian wilayah kekuasaannya, pasukan pengawal, dan tenaga kerja kepada si Kelingking untuk membangun kerajaan sendiri. Setelah istananya jadi, Kelingking bersama istrinya memimpin kerajaan kecil itu. Meski hidup dalam kemewahan, istri Kelingking tetap menderita batin, karena si Kelingking tidak pernah mengurus kerajaan dan sering pergi secara diam-diam tanpa memberitahukan istrinya. Namun, anehnya, setiap Kelingking pergi, tidak lama kemudian seorang pemuda gagah menunggang kuda putih datang ke kediaman istrinya. “Ke mana suamimu si Kelingking?” tanya pemuda gagah itu. “Suamiku sedang bepergian. Kamu siapa hai orang muda?” tanya sang Putri. “Maaf, bolehkah saya masuk ke dalam?” pinta pemuda itu.
“Jangan, orang muda! Tidak baik menurut adat,” cegat sang Putri.
Pemuda itu pun tidak mau memaksakan kehendaknya. Dia pun berpamitan dan pergi entah ke mana. Melihat gelagat aneh pemuda itu, sang Putri pun mulai curiga. Pada malam berikutnya, ia berpura-pura tidur. Si Kelingking yang mengira istrinya sudah tidur pulas pergi secara diam-diam. Namun, ia tidak menyadari jika ternyata istrinya membututinya dari belakang.
Sesampainya di tepi sungai, si Kelingking pun langsung membuka pakaian dan menyembunyikannya di balik semak-semak. Kemudian ia masuk berendam ke dalam sungai seraya berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebentar setelah membaca doa, tiba-tiba seorang pemuda gagah berkuda putih muncul dari dalam sungai. Alangkah, terkejutnya sang Putri menyaksikan peristiwa itu.
“Hai, bukankah pemuda itu yang sering datang menemuiku?” gumam sang Putri.
Menyaksikan peristiwa itu, sadarlah sang Putri bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Dengan cepat, ia pun segera mengambil pakaian si Kelingking lalu membawanya pulang dan segera membakarnya. Tidak berapa lama setelah sang Putri berada di rumah, pemuda berkuda itu datang lagi menemuinya lalu berpamitan seperti biasanya. Namun, ketika sang Putri akan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba pemuda gagah itu kembali lagi menemuinya.
“Maafkan Kanda, Istriku! Percayalah pada Kanda, Dinda!
Kanda ini adalah si Kelingking. Kanda sudah tidak bisa lagi menjadi si
Kelingking. Pakaian Kanda hilang di semak-semak. Selama ini Kanda hanya ingin
menguji kesetiaan Dinda kepada Kanda. Ternyata, Dinda adalah istri yang setia
kepada suami. Izinkanlah Kanda masuk, Dinda!” pinta pemuda gagah itu.
Dengan perasaan senang dan gembira, sang Putri pun mempersilahkan pemuda itu masuk ke dalam rumah, karena ia tahu bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Setelah itu, sang Putri pun bercerita kepada suaminya. “Maafkan Dinda, Kanda! Dindalah yang mengambil pakaian Kanda di semak-semak dan sudah Kanda bakar. Dinda bermaksud melakukan semua ini karena Dinda ingin melihat Kanda seperti ini, gagah dan tampan,” kata sang Putri. Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia karena mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia. Si Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Si Kelingking dari daerah Jambi,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
pelajaran moral yang dapat dipetik dari cerita di atas bahwa bentuk dan ukuran
tubuh seseorang tidak dapat dijadikan pedoman rendah atau luhurnya kepribadian
seseorang. Hal ini tampak pada diri si Kelingking, meskipun ukuran tubuhnya
kecil, tapi ia telah berjasa kepada rakyat dan negerinya, karena telah mengusir
Nenek Gergasi.
Sumber
Blogspot.com/2009/02.sikelingking-kaslani.buku cerita
rakyat dari jambi 2.html jakarta. Grasindo 1998
Nama : Laxmita
Dewi
NIM : A1B112011
AYAM DAN MUSANG
Suatu ketika ada seseorang
yang tinggal ditepi sawah, kerjanya hanya pergi kesawah.disamping itu ia juga memelihara ayam ,tapi tidak terlalu
peduli dengan ayamnya tersebut. Salah satu dari ayamnya itu ada yang tinggal
disemak-semak jauh daru rumahnya.diantara ayamnya tersebut ada ayam yang jarang
pulang kekandangnya ,diantaranya seekor ayam jantan , seekor ayam betina dan juga beberapa anak ayam. . seekor ayam
berkata “hey,,,jangan sampai kalian terpisah jauh dari kami , ada banyak musang
, nanti kalian bisa dimakan! Duhh aku
takut kata anak-anak yang lain.
Ada seekor ayam hitam , ayam itu tidak
pernah mendengar nasehat ayah dan induknya selalu saja kehilangan ayam hitam
tersebut. Dia selalu bermain, kadang-kadang sudah sorepun belum pulang. Setelah
Semua kebingungan mencarinya , ia baru pulang. Ketika ia ditegur oleh ayah dan
induk nya ia hanya diam, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Hari ini si hitam tadi
terpisah lagi dari ibu dan ayahnya.ia bermain lagi,ia tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakan orang
tuanya.haripun mulai sore,ia sedang berada di semak-semak hingga ia tertangkap
oleh musang. musang tersebut memegang kaki si ayam,ia menjerit kesakitan,ia
berkata kepada musang,sang,sang!jangan makan aku,aku terlalu kecil untuk kau
makan mendingan kau makan ibu dan ayah ku.tapi bagaimana caranya aku bisa
menangkap ayah dan ibu mu?kata musang.itu mudah.setiap malam kami tidur dibawah
pohon kopi.kau bisa menangkap siapa saja yang kau mau,ibu atau ayah.asal jangan
kau memakan ku.jangan-jangan kau membohongi ku.kata si musang .tidak!aku tidak
akan membohongi mu.oleh musang yang termakan usul ayam tadi dilepaskanlah anak
ayam tersebut.
Hari semakin
sore,pulanglah anak ayam hitam tadi.dari mana kamu(ayam hitam)hari sudah
malam,hari sudah gelap kau baru pulang.kami sudah mencari kamu kemana-mana. Si
ayam hitam menjawab “gini bu, aku tadi ditangkap oleh musang , sumpah aku tidak
bohong” :”kamu jangan banyak alasan, jika kamu ditangkap musang kamu pasti
sudah mati diterkamnya ” kata si ayah ayam hitam. “ayah, dia melepasku karan aku berkata percuma makan ayam kecil
sepertiku , kau tidak akan kenyang ,mending kau memakan ayah dan ibuku, terus
aku katakan kalau kita tinggal dibawah pohon kopi , kalau ibu dan ayah tidak
percaya nanti musang akan datang ke pohon kopi ”
Setelah mendengar cerita
si ayam hitam tersebut, ibu dan ayahnya mengucapkan atagfirullah . kamu ayam
hitam yang bodoh , apa kamu tidak sayang kepada kami, jika kami mati siapa ibu
kalian, siapa ayah kalian? Apa kalian ingin jadi anak durhaka ? kata si
ayah. Ayah dan ibunya pun mulai
berunding untuk pindah dibawah tanaman terong.
Hari mulai gelap ,
musang datang ke pohon kopi. Ayam ayam
tersebut melihat musang dari bawah tanaman cabe. “jangan ribut” kata ayah.
Musang melihat kebawah pohon kopi , ternyata tidak ada satupun ayam di bawah
pohon tersebut, hanya kotoran ayam-ayam itu. Musangpun menjilat Sedikit kotoran
ayam . musangpun mencari ayam-ayam
tersebut hingga sore , tapi tetap tidak
pernah ketemu.musangpun pergi.
Esok harinya , ayam hitam
ditegur ayah dan ibunya. Tapi, ayam hitam itu sudah pergi entah kemana .ia
ditangkap oleh musang yang melihatnya dari semak-semak , musang memegang kaki
ayam hitam . “ini dia ,yang membohongiku kemaren,aku tidak melihat kalian dibawah pohon kopi
semalam ” kata musang . lalu dijawab oleh ayam hitam “kami memang melihat kamu
dibawah pohon kopi semalam , tapi kjami langsung pindah ke bawah tanaman cabe,
aku tidak akan berani membohongimu musang , sebaiknya kau lepaskan aku. Malam
ini kami tinggal dibawah tanaman cabe ” musang pun percaya ,hingga musang
melepaskan ayam hitam itu.
Hari sudah larut ayam
hitam sudah samnpai dirumah. Kakinya yang masih sakit berdarah karna kuku
musang. Ayah dan ibunya pun memarahi ayam hitam tersebut, tapi tidak dihiraukan.
Ia memang anak ayam yang nakal .stelah dimarahi temannyapun bertanya “ayam
hitam , kenapa dengan kakimu ,ada masalah apa lagi?” “aku ditangkap musang
lagi” jawab ayam hitam. Apakah kau
mengatakan kita tinggal bibawah tanaman cabe? :kata ayah “ya ialah yah, kalau tidak aku bisa
dimakannya” merekapun bergegas untuk pindah ke tempat lain.
Akhirnya ayam-ayam itu
pindah ke bawah tanaman terong. Malam itu adalah malam yang dingin disertai
hujan. Kira-kira jam delapan ,musang datang kebawah tanaman cabe, musang
tertipu lagi oleh ayam hitam tersebut .musang terus mencari ayam-ayam itu .dan
musang berkata”mungkin ayam-ayam itu sudah pindah, aku tertipu lagi oleh ayam
hitam itu,jika besok aku ketemu lagi dengan ayam itu , tidak akan kulepaskan
,akan kumakan dia”
Sekian lama musang mencari
ayam-ayam itu ,dibawah pohon mangga
tidak terlihat ,dibawah pohon jambu air , dibawah pohon kopi juga tidak
terlihat.ayam-ayam itu sudah ketakutan, sebab antara pohon jambu air sudah dekat jarak tanaman terong. Mereka melihat
kedepan kebelakang , kekiri kekanan.
Alkisah berikutmnya , hari
mulai gelap dan dingin. Anak ayam warna kuning sakit perut, masuk angin. Ia
berkata”ibu aku ingin kentut” mereka menjawab serentak”jangan,,,” lihat musang
dekat dengan kita.nanti kentut mu di dengar oleh si musang,pasti dia tau kalau
kita di sini!aku tidak bisa menahannya lagi,kata si kuning. kentut saja tapi
pelan-pelan .,kata ayah.maka kentutlah si kuning tadi:puiiiih!.si musangpun
mencium, musangpun berkata ini pasti bau kentut si ayam itu.anak ayampun mulai
ketakutan.lalu musang pergi ke bawah pohon jambu air.
Hujan mulai gerimis.ayam
hitampun ingin kentut.ia tidak tahan lagi, perlahan-lahan ia pun kentut, musang
mencium bau kentut ayam tadi, setelah lama ia mencari juga tidak pernah ketemu,
setelah itu ayah ayam yang mulai masuk angin.tanpa disadari ayah ayam tersebut
kentut:poooooooh.......musangpun tau ayam-ayam itu berada dibawah tanaman
terong.si musang langsung menyergap, dapat lah ayah ayam menjadi makan malam
musang.
Paginya induk ayam berhasil
mengumpulkan anak-anaknya yang terpisah malam tadi.sekarang kalian sudah
menjadi anak yatim,kata si induk ayam ke pada ankanya.ayah kalian telah menjadi
makanan si musang, hari sudah malam merekapun tidur di bawah pohon
jeruk.seperti malam kemarin, hujan gerimis turun pada malam itu.musangpun
tertidur,.sementara itu si kuning masih sakit perut dan mengeluarkan angin
,tapi yang paling berbahaya bunyi kentut si induk ayam, seperti bunyi kentut
ayah ayam kemarin:pooooh.....akhirnya si musangpun mendapatkan anak induk ayam
sebagai makan malamnya.karna si ulah ayam hitam tadi jadi lah merekapun menjadi
anak yatim piatu.timbul rasa penyesalan dari si ayam hitam itu, tapi apalah
gunanya menyesal kemudian tak ada gunanya.
KERBAU
BERANAK MANUSIA
Pada zaman dahulu, seorang
anak lelaki dari satu keluarga, ingin membuka sebuah ladang, Karna ia telah
dewasa. Pagi-pagi ia telah pergi ladang
ayahnya. Untuk memeriksa ladang tersebut.
Kira-kira jam lima sore ia telah sampai pada batu besar dalam sebuah
hutan ,tidaK jauh dari ladang ayahnya .Tiba-tiba ia terkejut, melihat seekor kerbau keluar dari batu besar itu tadi,ia pun mendekati batu besar tersebut, ketika ia
melihat batu itu tidak terlihat batu yang bolong . “ini pasti kerbau hutan ,
besok aku harus membawa panah , akan kupanah dia”
Pagi-pagi dia pergi tanpa
memberitahu siapapun,dari dalam semak tidak jauh dari batu besar itu, ia
melihat kerbau ,tapi dia belum juga keluar dari batu besar . Dia hanya melihat
batu terbuka lalu tertutup lagi dengan sendirinya. Karna ia melihat kejadian yang dia alami sangat aneh ia
mengurungkan niatnya untuk memanah kerbau itu . Seharian ia berada
disemak-semak untuk melihat kerbau misterius itu”kapan kerbau itu keluar ” dia
terus menunggu sampai hari menjelang sore .
Jam sudah menunjukkan jam enam sore ,
kerbau itu pun datang menuju batu besar itu. Hari itu hujan panas , ia melihat kerbau menggesekkan tanduknya
kebatu besar itu sambil bersyair .
lah muggarou hujan panih kunai lah
bucaggiu tandeuk dipapo
itulah tanda ibumu telah datang bukalah pintu
“apa lagi ini , kerbau bisa bicara”
lama kelamaan ,pintu batu besar itu terbuka .ia melihat dari kejauhan ternyata
yang membuka pintu itu adalah seorang wanita. “wahh ada seorang gadis !, oo begitu cara dia membuka pintu,
aku harus mempelajarinya ” kata si anak lelaki”
Setlah itu setiap harinya ia terus mendatanagi batu besar dengan tujuan
untuk mendengarkan apa yang dikatakan kerbau itu supaya pintu batu besar itu
bisa terbuka . ia hanya pergi sendiri tanpa seorangpun yang tau , bahkan ayah
dan ibunya pun tidak mengetahuinya. Pagi-pagi sekali ia pergi ,malamnyanbaru
pulang. “kau sangat rajin berladang ” kata ayahnya.
Lebih dari sepuluh hari ia
memperhatikan batu besar itu tadi. Ia sedikit tau mengenai cara membuka pintu
batu besar “tapi kok tidak ada
tanda-tanda hujan, padahal pintu itu terbuka pada saat hujan” panas” .ia pun
berencana untuk melempar pasir keatas batu itu .ia sangat penasaran terhadap
batu besar dan gadis itu . dilemparkanlah pasir-pasir dan menggesekkan kayu
sambil bersyair
lah
muggarou hujan panih kunai
lah
bucaggiu tandeuk dipapo
itulah tanda ibumu telah datang bukalah pintu
terbukalah pintu batu besar tadi , ia
langsung masuk dan langsung memegang tangan gadis tersebut. Anak gadis itu
terkejut “jangan kau takut” kata anak lelaki . Daapatlah ia mengetahui mengapa ada seorang gadis dan kerbau dalam
sebuah batu. Mereka bersepakat tentang rahasia sang kerbau. Anak lelaki itupun pulang dan anak gadis itu
tetap berada dalam batu besar.
Sesuai dengan kesepakatan kemaren .
pagi-pagi anak lelaki itu sudah datang . induk kerbau pergi entah kemana, anak gadis dan anak lelaki itu
bertemu seperti kemarin . mereka sama-sama mengikuti kemana kerbau itu pergi.
Kira-kira tidak jauh dari batu besar, ternyata ketika dilihat induk kerbau
membuka baju. Lalu disembunyikan dalam semak-semak , jadi jika induk kerbau
pulang kerumah ia kan memakai baju . Setelah dia menyembunyikan baju disemak-semak
ia langsung pergi bekerja kerumah orang lain. “pantas dia punya , kuali , cabe
, piring, ” kata anak lelaki
Anak gadis dengan anak lelaki itu
bersepakat untuk mengambil baju induk kerbau. Lalu Baju tersebut dibawa kebatu besar untuk dibakar , agar ibunya
tidak menjadi seekor kerbau lagi , tapi apa yang terjadi? Baju yang dibakar
meledak karna api . ada yang meledak lalu menjadi , rumah ada yang meledak lalu jadi sawah , ladang ada
lagi menjadi kolam penuh dengan ikan-ikan didalamnya . mereka heran ketika
melihat itu semua. Apa kata si lelaki”kalau seperti ini kita bisa hidup kaya
raya”
Sorepun datang , kerbau pulang,
setelah mencari baju nya yang ternyata telahg dibakar anaknya sendiri. Kerbau
teroaksa pulang tanpa mengenakan baju kerbau . sampailah kerbau dibatu besar .
ia melihat suasana disana telah beurbah jadi sebuah desa dengan rumah yang
mewah, lalu ia memanggil orang yang berada dirumah mewah itu , ternyata yang
lkeluar adalah anaknya sendiri. Ibunya
lalu mengakui kalau ibunya dulu pernah disihir .tapi karna bajunya telah
dibakar , ibunya telah kEmbali seperti manusia normal . pEnghujung cerita anak
gadis itu menikah dengan anak lelaki yang berladang . merekapun hidup bahagia.
Nama :
Imadhona
NIM :
A1B112007
Suku
Talang Mamak tersebar
di empat kecamatan yaitu Batang Gansal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat,
Kabupaten Indragiri Hulu dan di Dusun Semarantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan
Sumai, Kabupaten Tebo, Jambi. Salah satu versi asal usul suku Talang Mamak
yang sangat terkenal diceritakan dalam cerita rakyat tentang Putri Pinang
Masak. Konon, di Indragiri hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan
secara kembar. Ketujuh putra tersebut menjadi pemuda yang gagah berani,
sedangkan ketujuh putri tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Dari ketujuh putri
tersebut, salah seorang di antaranya yang termolek, Putri Pisang Masak namanya.
Berikut kisahnya menurut ceritarakyatnusantara.com.
Alkisah, pada zaman dahulu, tersebutlah sebuah kisah di Negeri Simbul, Siberida, Indragiri, Riau. Di negeri itu hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan secara kembar siam. Marudum Sakti lahir kembar dengan Putri Pinang Masak (sulung), Buyung Selamat dengan Putri Mayang Mengurai, Sampurago dengan Subang Bagelan, Tonggak de Tonang dengan Putri Pandan Bajelo, Sapu Jagat dengan Putri Loyang Bunga Emas, Roger dan Putri Setanggi, dan yang bungsu Tuntun dengan Putri Bungsu.
Ketujuh putra tersebut tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani, sedangkan ketujuh kembarannya tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Dari ketujuh putra tersebut, Roger adalah yang paling gagah dan pemberani. Sementara, dari ketujuh putri, Putri Pinang Masak adalah yang termolek.
Pada suatu hari, seluruh warga heboh, karena tiba-tiba Putri Pinang Masak hilang. Ketujuh saudara laki-lakinya sibuk mencarinya ke sana kemari, namun tak juga mereka temukan. Roger yang gagah dan pemberani kemudian pergi menyusuri berbagai tempat hingga bertemu dengan Datuk Motah. Dari Datuk itulah ia memperoleh kabar bahwa kakaknya, Putri Pinang Masak, dibawa lari dan dikawinkan dengan Raja Dewa Sikaraba Daik oleh Paduka Raja Telni Telanai dari Jambi.
Setelah mendengar kabar keberadaan kakaknya, Roger segera melaporkan kabar itu kepada saudara-saudaranya. Mereka kemudian berkumpul untuk mengadakan musyawarah. “Wahai, Adikku Roger! Kita semua sudah tahu, bahwa di antara kita bersaudara engkaulah yang paling gagah dan pemberani. Maka sepantasnyalah engkau yang harus menjemput Putri Pisang Masak ke Jambi,” kata Marudum Sakti kepada adiknya. “Benar, Abang! Kami setuju dengan pendapat Abang Marudum Sakti,” tambah Tuntun, adik Bungsunya. “Ya, kami juga sepakat,” sahut saudara-saudaranya yang lain serentak. Akhirnya, diputuskan Roger diutus ke Jambi untuk membawa pulang Putri Pinang Masak dengan damai.
Keesokan harinya, Roger berangkat ke Jambi seorang diri. Negeri Jambi dijaga ketat, karena terjadi pertentangan antara Raja Telni Telanai dengan Belanda. Setelah melakukan perundingan dengan para pengawal istana, Roger pun diizinkan untuk menemui Raja Telni Telanai.
“Hai, Orang Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Raja Telni.
“Ampun, Baginda! Hamba Roger. Hamba berasal dari Indragiri,” jawab Roger, tanpa memberitahukan sang Raja kalau dirinya adalah adik kandung Putri Pinang Masak.
“Apa gerangan yang membawamu kemari, Roger?” Raja Telni kembali bertanya.
“Ampun, Baginda! Jika Baginda berkenan, izinkahlah hamba ikut membantu mengusir Belanda dari negeri ini,” Roger memohon kepada Raja Telni.
Raja Telni menyambutnya dengan gembira, seraya berkata, “Baiklah, Roger! Kamu boleh tinggal di istana ini.”
Sejak itulah, Roger tinggal di istana Kerajaan Jambi. Putri Pinang Masak telah mengetahui keberadaan adiknya itu, namun ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang hubungan mereka.
Untuk menguji keperkasaan Roger, berkali-kali Raja Telni mengutusnya untuk menumpas para perampok yang berkeliaran di perairan Jambi. Oleh karena kesaktiannya, Roger selalu berhasil, sehingga ia diangkat menjadi dubalang negeri. Tak lama kemudian, Roger pun diperkenankan untuk ikut berperang melawan Belanda.
Pada malam sebelum berangkat ke medan perang, diam-diam Putri Pinang Masak menemui adiknya dan memberinya selendang cindai sebagai pusaka. Berbekal cindai dan kesaktiannya, Roger pun berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Segenap raja Jambi menyambutnya sebagai pahlawan. Oleh karena jasa-jasanya terhadap kerajaan, Raja Telni Telanai menganugerahkan gelar “Datuk” dan mengukuhkan Roger sebagai “Dubalang Utama”. Maka lengkaplah gelar Roger sebagai ”Datuk Dubalang Utama Roger”.
Waktu terus berjalan. Raja Telni Telanai mulai sakit-sakitan. Akhirnya, ia pun menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada putranya, Raja Dewa Sikaraba Daik. Namun sejak pemerintahan dipegang oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, kerajaan menjadi lemah. Banyak pengkhianat muncul di lingkungan istana. Kesempantan itu kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk menekan raja muda itu.
Setelah terus dibujuk dan didesak oleh para hulubalang yang menjadi mata-mata Belanda, akhirnya Raja Dewa Sikaraba Daik yang lemah itu mau menandatangani perjanjian perdamaian dengan Belanda. Datuk Roger pun ditangkap. Dengan tangan diikat, Datuk Roger dibawa ke kapal untuk ditenggelamkan di tengah-tengah samudera.
Namun, sewaktu akan menaiki kapal, tiba-tiba terjadi peristiwa gaib. Dengan izin Allah, Roger tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Lama Roger tidak muncul, sehingga orang-orang Belanda menganggapnya telah mati.
Sepeninggal Datuk Roger, Belanda kemudian menyerang Kerajaan Jambi. Banyak pasukan Raja Dewa Sikaraba Daik yang gugur. Mereka pun semakin terdesak oleh Belanda. Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba Datuk Roger muncul. Kemudian ia memohon izin kepada Raja Sikaraba Daik untuk melawan Belanda. Dengan keperkasaannya, Roger dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Para pengkhianat kerajaan kemudian ditangkap dan dihukum mati. Kerajaan Jambi kembali aman dan damai. Raja Dewa Sikaraba Daik pun memimpin rakyat Jambi dengan arif dan bijaksana.
Melihat kondisi sudah kembali aman, Datuk Roger pun bermaksud kembali ke Indragiri. Ia pun segera menghadap Raja Dewa Sikaraba Daik, “Ampun, Baginda! Kini saatnya hamba harus pulang. Jika Baginda memerlukan Hamba, panggillah hamba di Desa Siambul, di Hulu Batang Gangsal, Siberida, Indragiri,” kata Datuk Roger.
Mengetahui adiknya akan kembali ke Indragiri, Putri Pinang Masak segera bersimpuh di hadapan suaminya, Raja Dewa Sikaraba Daik, ”Maafkan Dinda, Kanda! Sebenarnya Dinda adalah kakak kandung Datuk Roger. Izinkanlah Dinda pulang ke Indragiri bersamanya. Dinda akan segera kembali ke istana ini untuk melahirkan putra kita.” Raja Dewa Sikaraba Daik terkejut mendengar perkataan Putri Pinang Masak. “Benarkah itu, Datuk Roger?” tanya sang Raja penasaran. “Benar, Baginda Raja!” jawab Roger singkat.
Akhirnya, Raja Dewa Sikaraba Daik mengetahui hubungan persaudaran mereka yang selama ini dirahasiakan. Namun, mengingat Datuk Roger telah berjasa kepada kerajaan Jambi, sang Raja pun memakluminya. Dengan berat hati, Raja Dewa Sikaraba Daik mengizinkan Putri Pinang Masak pulang ke Indragiri bersama adiknya.
Keesokan harinya, sebelum kakak beradik itu berangkat, Raja Dewa Sikaraba Daik menyerahkan Plakat Kerajaan yang berisi maklumat bahwa hutan di daerah Jambi diserahkan kepada anak cucunya melalui keturunan dari Putri Pinang Masak.
Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah Roger dan Putri Pinang Masak di Indragiri. Mereka disambut oleh masyarakat Siambul dengan suka-cita dan haru. Untuk meluapkan perasaan gembira tersebut, masyarakat desa mengadakan upacara gawai atau selamatan. Dalam suasana gembira tersebut, Datuk Marudum Sakti berkata, “Keluarga kita sudah utuh kembali. Peristiwa ini hendaknya kita jadikan pelajaran berharga agar selalu membela dan melindungi saudara-saudara kita.”
Sesuai dengan Plakat Kerajaan yang diberikan oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, selanjutnya anak keturunan Putri Pinang Masak berkembang menjadi Suku Kubu dan Talang Mamak yang menguasai hutan Jambi. Hingga kini, kedua suku tersebut masih dapat ditemukan di daerah-daerah pedalaman di Indragiri Hulu dan Jambi.
Cerita rakyat dari Kabupaten Tebo,
Jambi
Cerita
Datuk Kerungkung Bebulu erat kaitannya dengan legenda terjadinya Bukit
Siguntang. Datuk ini bernama lengkap Datuk Baju Merah Kerungkung Bebulu. Gelar
baju merah karena setiap kali berperang bajunya selalu memerah oleh percikan
darah lawan-lawannya. Disebut kerungkung bebulu, karena ketika dilahirkan
kerungkungnya ditumbuhi bulu.
Awal kisah bermula dari Sang Raja Negeri Selado Sumai yang kehilangan pedang pusaka warisan leluhur bernama Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan. Entah di mana rimbanya dan tidak mengetahui siapa yang mencurinya, diperintahkanlah Datuk Kerungkung Bebulu yang sakti tiada tanding di kerajaan Salado Sumai untuk mencari pedang tersebut.
Perintah dijalankan, tanpa takut dan gentar. Seorang diri menjelajahi rimba dan kembah gunung. Di suatu goa batu yang kelam dan dingin, Datuk Kerungkung Bebulu merayap menyusup di kegelapan goa. Sampai di ujung goa di atas sebuah batu papak duduk sesosok orang tua yang komat kamit membaca rapalan. Dari lubang di atas sang pertapa menyorot cahaya matahari bak lampu fokus dan sinartersebut menerpa sebilah pedang pusaka kerajaan yang hilang dan kini sudah dipangkuan Datuk Panglimo Tahan Akik asal Ranah Pagaruyung.
Awal kisah bermula dari Sang Raja Negeri Selado Sumai yang kehilangan pedang pusaka warisan leluhur bernama Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan. Entah di mana rimbanya dan tidak mengetahui siapa yang mencurinya, diperintahkanlah Datuk Kerungkung Bebulu yang sakti tiada tanding di kerajaan Salado Sumai untuk mencari pedang tersebut.
Perintah dijalankan, tanpa takut dan gentar. Seorang diri menjelajahi rimba dan kembah gunung. Di suatu goa batu yang kelam dan dingin, Datuk Kerungkung Bebulu merayap menyusup di kegelapan goa. Sampai di ujung goa di atas sebuah batu papak duduk sesosok orang tua yang komat kamit membaca rapalan. Dari lubang di atas sang pertapa menyorot cahaya matahari bak lampu fokus dan sinartersebut menerpa sebilah pedang pusaka kerajaan yang hilang dan kini sudah dipangkuan Datuk Panglimo Tahan Akik asal Ranah Pagaruyung.
Singkat cerita terjadilah perebutan yang dahsyat, saling tendang, saling hempas menghempas. Tujuh hari berturut-turut perkelahian berlangsung tanpa ada tanda-tanda kalah atau menang dari kedua belah pihak. Setiap malam mendatang sampai terbit matahari mereka seolah sepakat digunakan beristirahat memulihkan kekuatan untuk melanjutkan pertarungan. Masa istirahat digunakan keduanya mencari dedaun dan apa saja yang dapat dimakannya setelah itu keduanya sama-sama beritirahat terlelap dalam kegelapan dinding goa.
Hari ketujuh medan lag beralih ke luar goa. Maka bertumbangan pohon terlibas baku hantam. Rata tanah tercukur babatan dan injakan kaki dua manusia yang berlaga mati-matian. Pada suatu kesempatan sekelebat mata Datuk Karungkung Bebulu berhasil menangkap kaki Datuk Panglimo Tahan Takik dan menghempaskannya. Bedegam bunyinya, bergetar bumi bak gempa dan terlepaslah pedang Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan dari pegangan dan mental melayang ke udara. Kesempatan yang berharga itu dimanfaatkan dan melayanglah Datuk Karungkung Bebulu menangkap pedang pusaka kerajaan Selado Sumai. Kemudian melesat meninggalkan medan laga. Tak hayal Datuk Panglimo Tahan Takik melesat pula. Saling berkejar-kejaran menampilkan ilmu lari cpat dan kelihatan kelit berkelit disela semak dan pepohonan. Binatang rimba berserabutan ketakutan. Tujuh lurah tujuh pematang telah mereka lalui. Di suatu ceruk sempit mereka terhenti, karena dihadapannya ternganga mulut seekor ular raksasa siap menelan apapun.
Entah
siapa yang memulai, didapat kesepakatan siapa yang sanggup membunuh ular itu,
dialah yang berhak atas pedang Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan.
Kesempatan pertama dilakukan oleh Panglimo Tahan Takik. Dengan sebilah keris panjang ditikamnya sekuat tenaga tubuh ular raksasa itu. Berdencing memekakan telinga. Keris itu bengkok dan patah karena beradu dengan kulit ular yang keras itu. Sang ular tak bergeming dan tak cidera sedikitpun. Tangan Panglimo Tahan Takik membengkak. Sendi-sendi pergelangan, siku dan bahunya terasa nyeri. Terangsang oleh gelak tawa Datuk Kerungkng Bebulu dengan hawa marah meledak-ledak Panglimo Tahan Takik menghunus keris pendek dari pinggangnya dan melesat kembali menghantam badan ular besar yang mengerikan itu. Berkali-kali terlihat percikan api disela keplan debu yang berterbangan. Akhirnya Panglimo Tahan Takik luruh bersimbah keringat. Tak jauh dihadapannya ular raksasa siap melahap sambil melilitkan lidah merah bercabangnya. Dengan langkah tegap penuh keyakinan Datu Kerungkung Bebulu berjalan sampai dihadapan ular raksasa. Mata merahnya mendelik seram menatao sang datuk yang berani mati berdiri beberapa depa di depan juluran lidahnya.
Sambil menghunus pedang pusaka kerajaan yang berhasil direbutnya dari Panglimo Tahan Takik, Datuk Kerungkung Bebulu menjulangkannya di atas kepala sambil melapal mantra-mantra sakti. Bersamaan dengan gelegar yang membahana dan kilat putih kebiruan keluar dari ujung senjata pusaka milik kerajaan Selado Sumai, melesat bayangan ke arah sang ular meliuk dan melilit tubuh raksasa yang tak sempat mengelak atau bergerak. Sebuah raungan menggeledek dan Datuk Karungkung Bebulu melihat ke arah ular yang berdebam bak gunung runtuh, tubuh ular raksasa menghantam bumi. Tubuhnya terkupas terpotong tiga. Bagian kepala menuju ke arah Panglimo Tahan Takik dan bagian ekornya seperti bernyawa meliuk ke arah Datuk Karungkung Bebulu.
Dengan sisa tenaga yang ada serta berselaput hawa marah dan kecewa yang amat sangat. Bagian kepala ular raksasa ditendang melambung ke udara dan lenyap dari pemandangan. Konon bagian kepala itu jatuh di Ngarai Si Anok dan mental kembali teronggok dua yang kemudian menjadi gunung Merapi dan Singgalang. Bagian ekornya yang melesat, ditangkap dan dibaling-balingkan kemudian dilemparkan jauh ke angkasa dan jatuh ke negeri Palembang mejelma menjadi Bukit Siguntang-guntang. Sedangkan bagian perutnya yang tertinggal di tempat itu dibiarkan dan akhirnya menjelma menjadi Bukit Siguntang. Kata-kata guntang dalam bahasa Sansekerta berarti terlindung atau pelampung pada pancing. Bisa juga kemungkinan guntang mengalami perubahan lafal dari kata buntang = bangkai, yakni bangkai/buntangnya ular raksasa. Berkat tekad dan kegigihan Datuk Karungkung Bebulu maka terlindunglah negeri Selado Sumai dari penjarahan Panglimo Tahan Takik dan amukan ular besar. Tak pelak lagi lingkungan Bukit Seguntang merupakan wilayah yang ideal bagi wisata paranormal karena menyimpan misteri magis.
Mitos tentang tokoh Datuk Kerungkung Bebulu ini merupakan salah satu cerita rakyat Jambi yang ada di daerah Kabupaten Tebo. Tokoh Datuk Karungkung Bebulu dipercaya masyarakat karena di daerah tersebut terdapat makam Datuk Kerungkung Bebulu. Dari tokoh mitos inilah kemudian muncul legenda tentang Bukit Siguntang. Oleh Junaidi T. Noor, mitos ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku Geografi Pariwisata Kabupaten Bungo Tebo (1999) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Bungo Tebo (pada waktu itu Bungo Tebo masih dalam satu kabupaten. Pada tahun 2000, otonomi daerah menyebabkan kabupaten itu terpisah menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Bungo dan kabupaten Tebo.
Nama : Melan Delvia
Nim :
A1B112043
Tidaklah lengkapji kaki tabelum mengenal atau mengetahui legenda Danau Kerinci.
Di provinsi jambi Danau Kerinci memang sudah banyak
yang mengenali,dan sekarang dijadikan tempat wisata
di daerah kelahiran saya ini.
Dan waktu saya berumur lebih kurang sekitar
10-11 tahun, saya pernah menanyakan kepada Almarhum nenek Aminah tentang Legenda Danau Kerinci. Berikut ceritanya.
Pada zaman dahulu Calupat dan Calungga dauber saudara kembar yatim piatu
yang tinggal di kaki gunung berapi (gunungKerinci). Mereka memiliki pusaka Merah Delima dan Batu Putih peninggalan
orang tuanya.Suatu hari Calungga pergi berburu seorang diri,
dalam perjalanan ia menemukan sebutir telur raksasa, Telur itu kemudian dibawa pulang hendak diperlihatkan kepada Calupat adiknya.Tapi akhirnya Calungga memutuskan untuk memakan telur itu seorang diri,
setelah menyantap telur raksasa,
Calungga kehausan.
Ternyata, kehausan Calungga berbeda,Ia meminum
air sungai sekitar gunung berapi
yang menyebabkan sungai menjadi kering.
Tubuh Calungga lama-kelamaan berubah,
memanjang dan memiliki sisik-sisik emas sebesar nyiru Calungga berubah menjadi seekor naga raksasa dengan batu mustika merah delima
di kepalanya. Untuk menguji kesaktiannya,
naga Calungga memohon kepada segala dewa
di bumi sakti alam Kerinci
agar dapat menggenangi lembah dengan
air sehingga terbentuklah danau besar. Putaran tubuh naga tersebut membentuk sebuah danau,
yang sekarang disebut Danau
Bento di kaki GunungKerinci.
Calupat adik Calungga tak kuasa hidup seorang diri,
ia
minta naga Calungga mengantarkannya ke perkampungan penduduk
di sebelah Timur matahari terbit
agar ia dapat hidup berdampingan dengan penduduk.
Maka ditiup oleh
sang naga sebuah muara dengan angin asakti
yang sekarang ini menjadi sebuah sungai
yang dinamai Sungai Muara Angin (Sungai
BatangMerangin). Kemudian air menyusut karena terbawa arus naga Calungga
yang menghilir keTimur, sehingga berobah menjadi sebuah lembah
yang dinamai Renah Kerinci dan sebuah danau yaitu Danau Kerinci sekarang. Pada saat kedatangan mereka dihadapan penduduk sepanjang aliran sungai besar,
Calupat duduk di atas kepala naga. Maka penduduk saat itu juga langsung menobatkan Calupat sebagai
raja yang bergelar Sang Hyang Jaya Naga.
Demikianlah cerita singkat Legenda Danau kerinci yang saya
dapatkandari nara sumber Alm.nenek Aminah. Walaupun singkat tapi cerita
ini,dulu hingga sekarang saya dapat mengabadikan ceritaini kembali. Terima kasih J
Dituturkanoleh:
NenekAminah_alm, Sungai Penuh
Cerita berikutnya yaitu Puti senang, cerita ini juga berasal
dari daerah kerinci.tapi cerita yang ini saya dapatkan dari nara sumber yaitu
nenek saya sendiri. Sejak saya menduduki bangku kelas 5 SD sampai 2SMP sebelum
saya tidur siang, saya selalu di sajikan dengan cerita yang sama setiap
harinya, sehingga sampai sekarang cerita puti senang tidak asing lagi di
telinga saya. Walaupun di ceritakan secara berulang-ulang saya tidak pernah
bosan mendengar cerita Puti Senang ini, apalagi di ceritakan oleh nenek saya
langsung,
Berikut Cerita Puti
senang menurut saya,yang saya dapatkan dari nenek saya..
Pada zaman dahulu
di suatu dusun di
daerah Sungai Penuh,Hiduplah Sepasang Suami Istri dengan seorang anak gadis
yang cantik jelita, Saking cantiknya anak mereka, dan kulitnya begitu halus sehinga mereka tidak mau menyuruh anak gadisnya tersebut untuk bekerja walaupun membantu mereka sekali pun maka mereka menamakan anak gadisnya puti senang
(Putrisenang). Itu karena begitu cintanya mereka kepada putisenang.
Suatu ketika Ibu puti menderita sakit,
mau
tak mau terpaksa puti membantu mengantar Nasi untuk ayahnya
yang bekerja di sawah sekalian mencari kayu bakar. Di tenggah jalan secara tidak sengaja puti tersandung oleh batu sehingga makanan
yang di bawanya untuk di antar ke ayahnya berserakan ditanah. Namun demikian si puti terus juga melanjutkan perjalanannya untuk menemui
ayahnya di sawah sambil menangis, Kenapa puti? Tanya ayahnya kepada
dia. Ayah, panggil puti sambil menangis,
ada apa nak.. kata ayahnya,
makanan yang aku bawa buat
ayah dari rumah terjatuh dan sekarang makanannya sudah kotor dan tidak bisa
di makan ayah,
kata puti pada ayahnya. Mendengar Ucapan Puti tersebut Betapa marahnya ayah puti karena dari tadi menahan
rasa lapar dan haus sekali. Dasa ranak
yang tidak berguna lebih baik kamu pergi saja dari sini, kata ayahnya, baru
di suruh membawa nasi saja kamu tidak bisa..!!!
karena selama ini puti tidak pernah
di marahi atau di maki maka dia merasa sangat sedih atas ucapan ayahnya tersebut maka
dengan berlinang air mata dia pergi jauh, jauh sehingga sampai
di atas bukit sambil duduk
di atas batu dia memandang kebawah melihat rumah mereka dengan
air mata yang masih berlinang dan menahan kesedihan puti tiba-tiba batale (bernyanyi).
tinggai-tinggai.....
kau bateu....
kau kuminyok..
kau kusikat...
kau kukasea....
tinggailah tinggai...
lah kaubateu...
buelahbadonrinaikalanggaikngan tinggai..
Pada akhirnya semakin tinggi batu
yang membawa puti kelanggit sehingga puti hilang dan tidak kelihatan lagi. Sekarang hanya ada batu-batu
yang berserakan di bukit tersebut bekas reruntuhan batu
yang membawa puti kelangit.
Dan sampai sekarang batu ini masih bias kita jumpai
di tempat tersebut, masyarakat di sana biasa menyebutnya dengan nama Batu Putai senang.
(LegendaPutiSenang)
Dituturkan
oleh nenek saya : Hj.Aminah
Demikian
lah beberapa cerita legenda yang saya
ketahui yang berasal dari kerinci ( Jambi). Apabila terdapat kesalahan mohan maaf, baik dari cerita, maupun tulisan, Karena
saya
juga
dalam
tahap
belajar.Semoga
yang membaca nya dapat terhibur dan mengambil nilai positif dari dua cerita da
atas, serta pesan-pesan yang terdapat dalam cerita tersebut.
Terima Kasih J
Terima Kasih J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar